Tabik, Neptunus.
Aku telah dilemparkan dan dihempaskan ke sebuah keadaan yang entah. Entah. Kau
tahu, Neptun, aku lebih suka mengatakan entah daripada aku harus tahu keadaanku.
Boleh jadi aku ingin mengutuk keadaan itu dengan kutukan turun temurun. Tapi
agaknya aku akan kualat sebab yang aku kutuk adalah keadaanku sendiri.
Aku menyebut mereka kaum langit, kaum yang tinggi dan ditinggikan. Dengan tanganku
ini, tangan yang buntung dan tak bisa panjang, bagaimana aku mampu menggapai
langit?
Neptun, beribu maaf aku ucapkan untukmu. Kali ini aku datang menemuimu dengan menjejalimu cerita-cerita dan sedikit teka-teki atau basa-basi.
Neptun, beribu maaf aku ucapkan untukmu. Kali ini aku datang menemuimu dengan menjejalimu cerita-cerita dan sedikit teka-teki atau basa-basi.
Baiklah. Aku akan mulai dari yang paling mendasar dari ceritaku ini. Kau tahu
apa yang aku sebut dengan cinta? Cinta adalah penyumpal segala macam kasta dan
martabat. Aku mengandaikan definisi ini dengan melihat apa yang pernah aku
lihat sebelumnya. Cinta adalah pemersatu dua perbedaan. Perbedaan; tentu kau
tahu apa yang aku maksud dengan perbedaan. Bila mana perbedaan itu melebur
dalam laci cinta, kekuatan apapun luruh seketika.
Dari cinta, dan dari pengertian cinta itu, mari kuajak kau untuk lebih
memahami keadaanku.
Keadaanku, keadaan yang tiap suku katanya merupakan hantaman keras, telah
tak memberiku kekuatan untuk tidak bermimpi. Aku telah bermimpi. Bermimpi kadang
bisa jadi siksa. Dengan berimimpi aku berharap. Dengan berharap aku sakit. Dengan
sakit aku lebur dan mati.
Aku mencintai langit, Neptun. Dan langit itu mereka yang langit yang bukan
bumi. Bagaimana aku adalah langit sementara aku bumi?
Inilah keadaanku. Keadaan yang aku katakan entah. Aku mencintainya, dengan
segenap kata yang patah di bibir dan dengan sepenuh ucapan yang mampat di
lidah. Aku mencintai langit yang bukan bumi. Ah! Andai aku setega itu
menariknya rebah ke bumi; menanggalkan darinya apa yang sering aku sebut
sebagai sayap putih para penghuni kahyangan. Tapi aku tak mungkin setega itu,
Neptun. Aku masih mencintainya sampai saat aku menulis surat ini. Dan, aku
berencana tetap mencintainya sampai aku tak sanggup lagi menuliskan surat
untukmu.
Tapi dengan mencitainya, Neptun, keadaanku yang entah itu, terhijab dan
terhalangi oleh ingatanku akan cinta. Ini memang bukan soal mudah. Sesekali aku
memang harus melepaskan diri dari kemudahan menuju ke beberapa kesulitan agar aku
dapat memahami yang sulit bahwa yang sulit pun adalah sebagian dari hidupku. Neptun,
dalam bercinta, pilihan kata adalah yang diam-diam menjaga hubungan. Sedang,
dalam mencintai, pilihan kata sama sekali seperti perih yang tak mungkin
pulih...
Agenmu,
M.S. Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar