Pages

Surat Neptunus (2)


Tabik, Neptunus.

Aku telah dilemparkan dan dihempaskan ke sebuah keadaan yang entah. Entah. Kau tahu, Neptun, aku lebih suka mengatakan entah daripada aku harus tahu keadaanku. Boleh jadi aku ingin mengutuk keadaan itu dengan kutukan turun temurun. Tapi agaknya aku akan kualat sebab yang aku kutuk adalah keadaanku sendiri.

Aku menyebut mereka kaum langit, kaum yang tinggi dan ditinggikan. Dengan tanganku ini, tangan yang buntung dan tak bisa panjang, bagaimana aku mampu menggapai langit?

Neptun, beribu maaf aku ucapkan untukmu. Kali ini aku datang menemuimu dengan menjejalimu cerita-cerita dan sedikit teka-teki atau basa-basi.

Baiklah. Aku akan mulai dari yang paling mendasar dari ceritaku ini. Kau tahu apa yang aku sebut dengan cinta? Cinta adalah penyumpal segala macam kasta dan martabat. Aku mengandaikan definisi ini dengan melihat apa yang pernah aku lihat sebelumnya. Cinta adalah pemersatu dua perbedaan. Perbedaan; tentu kau tahu apa yang aku maksud dengan perbedaan. Bila mana perbedaan itu melebur dalam laci cinta, kekuatan apapun luruh seketika.

Dari cinta, dan dari pengertian cinta itu, mari kuajak kau untuk lebih memahami keadaanku.

Keadaanku, keadaan yang tiap suku katanya merupakan hantaman keras, telah tak memberiku kekuatan untuk tidak bermimpi. Aku telah bermimpi. Bermimpi kadang bisa jadi siksa. Dengan berimimpi aku berharap. Dengan berharap aku sakit. Dengan sakit aku lebur dan mati.

Aku mencintai langit, Neptun. Dan langit itu mereka yang langit yang bukan bumi. Bagaimana aku adalah langit sementara aku bumi?

Inilah keadaanku. Keadaan yang aku katakan entah. Aku mencintainya, dengan segenap kata yang patah di bibir dan dengan sepenuh ucapan yang mampat di lidah. Aku mencintai langit yang bukan bumi. Ah! Andai aku setega itu menariknya rebah ke bumi; menanggalkan darinya apa yang sering aku sebut sebagai sayap putih para penghuni kahyangan. Tapi aku tak mungkin setega itu, Neptun. Aku masih mencintainya sampai saat aku menulis surat ini. Dan, aku berencana tetap mencintainya sampai aku tak sanggup lagi menuliskan surat untukmu.

Tapi dengan mencitainya, Neptun, keadaanku yang entah itu, terhijab dan terhalangi oleh ingatanku akan cinta. Ini memang bukan soal mudah. Sesekali aku memang harus melepaskan diri dari kemudahan menuju ke beberapa kesulitan agar aku dapat memahami yang sulit bahwa yang sulit pun adalah sebagian dari hidupku. Neptun, dalam bercinta, pilihan kata adalah yang diam-diam menjaga hubungan. Sedang, dalam mencintai, pilihan kata sama sekali seperti perih yang tak mungkin pulih...


Agenmu,
M.S. Arifin


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram