-M.S. Arifin
Meski
tidak mudah mengatakannya, tapi kita patut mengkui bahwa terkadang puisi yang
kita lahirkan adalah merupakan puisi yang lahir dari puisi lain. Jika puisi
kita itu dinakaman anak puisi maka puisi yang melahirkan dinamakan induk puisi.
Jika puisi kita dinamakan puisi keturunan maka puisi yang melahirkan
dinamakan puisi moyang.
Namun,
bukan masalah nama yang menjadi penting. Kita harus berani mengakui hal ini.
Kredo yang sering kita dengar adalah kredo tentang kekreatifan anak zaman
sekarang yang diragukan. Kita tidak semena bisa meyakini hal itu. Memang
bukanlah rahasia kiranya apa yang lahir waktu ini tidak bisa dilepaskan dari apa
yang telah lampau lahir. Bukankah kita sama-sama tahu bahwa tak selama yang
lahir dahulu itu lebih baik dari yang sekarang.
Analogi
sederhana, jika ada anak pohon tumbuh lebih besar dari induknya, maka kita
tidak bisa mengatakan bahwa yang membesarkan pohon ini adalah induk pohonnya.
Bukan! Yang membesarkan pohon itu adalah lingkungannya; tanah yang subur, pupuk
yang memadai, cahaya matahari yang rutin, dan air yang cukup. Begitu pun puisi.
Bisa jadi, anak puisi akan lebih besar daripada induk puisi. Hal ini wajar
terjadi. Dan bukan hal yang langka!
Proses
melahirkan puisi ini dinamakan taulid;
melahirkan ulang. Atau, bisa saya namai inkarnasi puisi. Yakni puisi yang
menjelma dalam bentuk lain. Bisa jadi yang dipinjam adalah tekniknya,
susunannya, gayanya, atau apa saja yang berkait-erat dengan bagaimana puisi itu
lahir.
Layaknya
bayi, anak puisi itu harus mendapatkan gizi yang cukup agar bisa tumbuh dengan
sehat. Dan, dalam membesarkan anak puisi itu, kita perlu berkawin dengan
keadaan sekitar. Sebagaimana Widji Tukul, puisi yang lahir daripadanya
barangkali tak bisa dikatakan hebat. Yang justeru membuatnya hebat adalah
sejarah yang melingkupnya. Berupa aksi dan perlakuan riil dari sang penyair
bersangkutan.
Sebagai
amsal sederhana; Sapardi diklaim sebagian penyair yang meniru gaya dari Kahlil
Gibran. Dengan menggunakan kesederhanaan kata-kata, gaya bertutur yang memukau,
dan sedikit memasukkan unsur ceritawi. Ini adalah dalam rangka taulid;
inkarnasi puisi. Nyatanya, apa yang dilakukan oleh Sapardi mendapatkan respon
positif dari penikmat puisi.
Inkarnasi
seperti ini pernah saya coba. Dan beginilah kira-kira gambarannya:
Sapardi
dalam Aku Ingin:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
1989
M.S.
Arifin dalam Aku Tak Ingin:
Aku tak
ingin mencintaimu dengan sederhana:
sebab cintaku
sesempurna api yang membakar kayu
yang tiada segan
meleburkannya menjadi abu
Aku tak
ingin mencintaimu dengan sederhana:
sebab cintaku
sesempurna isyarat awan kepada hujan
yang tiada enggan
membawanya ke dalam ketiadaan
2014
Ini
hanyalah contoh sederhana. Sebuah puisi bisa melahirkan puisi yang lain. Puisi
Sapardi dinamakan induk puisi, sedangkan puisi M.S. Arifin dinamakan anak
puisi. Inkarnasi puisi bisa berlangsung sepanjang ada koneksi antara pembuat puisi
(yang juga pembaca) dengan puisi yang menjadi induknya (tentunya puisi yang
pernah ia baca).
Puisi Sapardi itu juga melahirkan puisi yang lain: Saut
Situmorang dalam Aku Ingin:
aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta –
dengan sebotol racun yang diteguk romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi
aku ingin kau mencintaiKu dengan membabi buta –
dengan sebilah belati yang ditikamkan juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi
1999
Menarik. Jika kita cermati sangatlah menarik. Apa yang
terkandung dalam tiga puisi di atas adalah upaya melahirkan puisi dengan
menggunakan struktur yang sama. Mungkin hal di atas bisa dikatakan puisi
plesetan, tapi saya tak hendak menyebutnya demikian. Puisi adalah keseriusan
yang hadir dari nurani yang dalam. Tak ada puisi plesetan. Yang justeru ada
adalah sebuah usaha untuk menertibakan kata sesuai dengan keinginan hati.
Tiga puisi di atas bertahun beda dengan terlentang-paut
waktu yang cukup lama. Artinya, puisi mampu melintas dari satu zaman ke zaman
yang lain. ‘Aku Ingin’ milik Sapardi bertahun 1989, ‘Aku ingin’ milik Saut bertahun 1999, ‘Aku Tak Ingin’ milik
M.S. Arifin bertahun 2014.
Alangkah, keterpautan yang jalin-menjalin antara satu penyair dengan
penyair lainnya. Yang membahagiakan dari dunia sastra adalah tak lekangnya
sebuah karya meski tergerus masa. Yang membahagiakan dari puisi adalah
tumbuhnya tunas-tunas kata dari induk yang sama. Pada posisi ini, kita patut
berbangga dan berbahagia.
‘Puisi yang baik adalah puisi yang selalu bunting!’.
Barangkali begitu adanya. Puisi yang baik itu, tak akan bosan untuk bunting dan
melahirkan kata-kata baru. Darinya akan lahir anak yang juga berkembang sesuai
dengan intensitas dan integritas puisi itu sendiri yang tentunya tak lepas dari
peranan sang penyair dan lingkungannya.
Menolak imitasi sama saja menolak kreatifitas. Tak ada
kreatifitas yang lahir tanpa imitasi. Boleh jadi, hampir tak ada yang asli di
dunia ini kecuali ia adalah gabungan dari beberapa imitasi. Kita tak hendak
menolak puisi imitasi. Yang harus kita tolak adalah plagiasi dan korupsi
kata-kata. Demikianlah! **
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar