Tabik, Neptunus.
Sebentar lagi lebaran. Kau tahu, aku tak mungkin,
setidaknya untuk beberapa tahun ini, berkumpul dengan keluargaku di rumah:
sambil bersenda-gurau, saling melempar kebahagiaan, saling berjabat-tangan
menanam kasih sayang, saling berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain
untuk menawarkan kata maaf. Semuanya seolah makin mempertebal rasa kangen dan
seolah aku bisa jadi sebal sendiri. Begitulah lahirnya kenangan, Neptun.
Dimulai dari kejadian dan berakhir pada sebuah ingatan yang tak hilang.
Kau perlu tahu apa yang biasanya aku lakukan bersama
keluargaku menjelang lebaran, Neptun. Di pelosok Demak, kota terindah yang
pernah aku lihat (mungkin karena aku tak pernah menganggap kota lain indah
selain kota Demak dan Blora), akan ada pajangan yang menghiasi sepanjang
jalanan kampung, biasanya terbuat dari bambu yang melengkung menaungi jalan.
Bambu itu akan dihiasai kertas warna-warni; hijau, merah, kuning, dan entah
warna apa lagi.
Menjelang lebaran, membersihkan rumah adalah suatu
kewajiban bagi keluargaku. Aku mengatan hal ini sangatlah aneh. Rumahku tak
pernah dipel kecuali menjelang lebaran. Rumput-rumput depan rumah, yang
mengganggu pemandangan, tiba-tiba saja digunduli oleh abahku, dan jadilah
pelataranku bersih. Belakang rumah yang penuh dengan semak belukar, dibabat
habis oleh abahku, padahal abahku tahu belakang rumahku bukanlah tempat yang
sering dilihat orang. Setidaknya memang pemandangan bersih itu buat kami
sendiri sekeluarga.
Lebaran adalah sebuah perayaan yang tiada duanya.
Kebahagiaan bagi orang yang berpuasa adalah ketika lebaran atau berbuka dan
ketika bertemu dengan Tuhan esok di hari kiamat. Begitu Rasul bersabda. Dan,
kebahagiaan yang kentara bisa dilihat adalah kebahagiaan orang desa. Khususnya
desaku yang indah itu. Neptun, sesekali aku ingin mengajakmu berkunjung ke
rumahku waktu lebaran agar kau bisa menyaksikan sendiri keindahan itu.
Sehari menjelang lebaran, keluargaku akan menyembelih
kambing dengan ukuran sekadarnya sekiranya pas buat perayaan lebaran. Kau tahu,
Neptun, mungkin, kebahagiaan paling puncak, salah satunya berdasar akan hal
ini. Kami tak terbiasa, dan memang tidak sanggup terbiasa, makan daging selain
lebaran. Itulah sebabnya aku katakan menyembelih kambing adalah salah satu
bagian dari puncak kebahagiaan keluarga kami saat lebaran tiba. Siang sebelum
lebaran, aku, kakakku, dan adikku begitu bersemangat memotong daging,
menusuknya dengan bambu dan membakarnya: itulah sate, Neptun: makanan favorit
keluargaku saat buka terakhir.
Saat buka terakhir, saat gema takbir saut-menyaut dari
satu toa mushola ke toa mushola lainnya, kami akan berkumpul di ruang keluarga,
lesehan, menonton televisi, menonton siaran seadanya, sambil tak letihnya
mensyukuri tiap nikmat yang Tuhan anugerahkan. Aku paling bersemangat membuka
tutup botol Sprite atau Fanta, menuangkannya ke gelas yang
sebelumnya telah aku masukkan es.
Usai berbuka, kami akan berkumpul di ruang tamu,
menyediakan beras untuk zakat fitrah. Anak-anak ngaji akan datang
berduyun-duyun sambil membawa satu plastik beras. Mereka akan menzakati diri
mereka satu-persatu. Aku sering geli sendiri waktu mendengar mereka dituntun
melafalkan niat zakat fitrah oleh abahku, begini: nawaitu an ukhrija zakatal
fitri ‘an nafsi lillahi ta’ala. Mereka akan terbata-bata waktu melafalkan
ini. Dan aku biasanya menahan tawa sambil sesekali memungut sisa-sisa daging
yang nyelilit di gigiku.
Setelah prosesi mengeluarkan zakat fitrah, aku, adikku,
dan kakakku akan saling lirik-melirik. Aku tahu lirikan mereka menandakan: ayo,
kapan kita sungkeman sama ayah dan ibu?
Dan atas aba-abaku, kami akan menghampiri abah dan ibuku yang tengah
duduk santai kemudian sungkem dan menciumi tangan mereka sambil mengadukan
kesalahan kami supaya mendapatkan maaf dari mereka. Kau tahu, Neptun, aku
pernah menangis di depan ibuku waktu mengucapkan maaf padanya. Aku memeluknya
erat, merasakan tiap-tiap tulangnya yang telah rapuh itu sambil menahan nafas
dan kemudian menghelanya sangat panjang. Ada sisa-sisa kegelisahan dan
kegundahan yang aku bagi kepada wanita yang telah melahirkanku itu. Waktu itu,
aku melihat ibuku menangis, Neptun...
Malam lebaran, kawanku akan menghampiriku di depan rumah
dan mengajakku: ayo, kita menonton pesta kembang api di lapangan! Ini
pula waktu yang aku tunggu: perayaan kembang api yang meriah. Malam lebaran
serasa lengkap dengan pesta kembang api. Malam lebaran serasa indah dan tiada
duanya dengan adanya pesta yang diadakan oleh ikatan remaja masjid yang
bersemangat itu.
Setelah selesai menonton pesta itu, sekitar pukul dua
belas malam, aku dan kawanku itu akan pulang. Kami akan ke mushola untuk takbiran
dan klotekan sampai menjelang subuh, sampai habis suara. Setelah itu,
kami pulang ke rumah masing-masing untuk persiapan shalat ied dengan membawa
kantuk yang bersarang di mata.
Neptun, barangkali cerita ini tak mewakili rasa bahagia
yang aku rasakan waktu lebaran di rumah dulu. Barangkali pula, aku tak mampu
membawamu ikut merasakan rasa bahagia itu. Dengan keterbatasanku ini dan dengan
membawa rasa sedih ini, aku akhirnya kalah dari kata-kata. Kata-kata tak mampu
tunduk kepada keinginanku, tapi ia justru tunduk kepada perasaanku.
Neptun, biarkan aku melarung kesedihan ini ke pangkuan
abah dan ibuku. Ibuku, kau tahu Neptun, tak akan mampu menahan airmata ketika
mendapati anaknya tidak ikut lebaran bersamanya. Ibuku, kau tahu Neptun, adalah
wanita yang mempunyai hati lautan. Ibuku, kau tahu Neptun, telah mewariskan
hati lautan itu kepadaku. Maka ketika ibuku menangis, aku akan ikut menangis
bersamanya. Atau ketika aku menangis, ibuku akan ikut menangis bersamaku. (*)
Agenmu,
M.S. Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar