Pages

Surat Neptunus (1)


Tabik, Neptunus.

Ada keinginan untuk meloncat dari jendela kamar flatku di lantai tiga ini, tiapkali kuingat bagaimana aku seringkali menjadi orang lain. Tik-tok jam bobrok di luar kamarku, yang selalu berdehem tiap jarumnya menyentuh angka dua belas, tak pernah mau menjadi orang lain. Ia selalu menjadi dirinya sendiri, yang angkuh, disiplin, dan tepat.

Tapi, ah, Neptun. Pagi yang menyisakan bau bayangan malam, mencibirku yang berdiri di tubir jendela. Angin, udara yang sesak, menjatuhkan dirinya sendiri dari lantai paling atas. Dan kudengar dentuman begitu keras di kepalaku, seolah ubin dan batu-batu di bawah sana adalah otakku sendiri yang menyimpan darah orang-orang lain yang tak mau menjadi dirinya sendiri.

Begitupun aku, Neptun—penguasa yang angkuh!

Kau lihat, darahku tumpah dan menggenang di kubangan-kubangan kecil samping jalan raya. Kemudian, sekelompotan anjing-anjing berkudis dan kurap, menjilatinya hingga habis. Darahku telah menjadi minuman lezat anjing-anjing.

Neptun, di pesimpangan jalan gami’ sana. Ada orang gila yang selalu tertunduk lesu di pinggir jalan. Matanya melihat sendiri jemarinya yang ia mainkan. Jemarinya kumuh, kumal dan berdebu. Setiap dua menit sekali, ia tertawa sendiri, tersebab entah apa (bukankah sebab adalah milik orang waras?). Aku suka memperhatikan matanya, Neptun. Matanya begitu jujur dan lugu seperti mata bayi. Aku rasa, tiada yang lebih jujur di dunia ini ketimbang orang gila itu.

Jujur?

Ya, jujur. Lihatlah, makanan yang ia kais dari tong sampah, ia makan bersama kucing dan anjing liar. Ia akan ndeprok seenaknya di samping hewan-hewan itu, mencomot sisa roti yang terlihat remah saat ia gigit. Lalu, di tengah-tengah makan itu, ia akan ngobrol santai dengan anjing kurapan serta kucing nakal. Ia selalu jujur, jujur untuk tidak menjadi orang lain.

Ya, jujur. Perhatikanlah cara ia makan. Ia tak butuh piring apalagi sendok untuk memasukkan makanannya ke dalam mulutnya. Ia cukup mengambilnya dengan tangan, memainkannya sebentar, kemudian tanpa buang waktu, masuklah makanan itu ke lambungnya yang karatan. Ia jujur, jujur untuk tidak meniru orang lain.

Neptun, apakah aku harus menjadi gila untuk menjadi orang jujur?

Ada dusta yang musti benar-benar kita kemas. Dusta yang musti kita simpan dalam hidup ini. Tidak semua yang jujur adalah baik, Neptun. Kami, bangsa manusia, bisa menjadi manusia juga karena dusta yang kita simpan di saku celana kita. Simaklah, Neptun, dusta yang aku maksud adalah dusta yang dikatakan Sapardi dalam sajaknya:

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang
waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-sela
geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Neptun, terbit tenggelamnya matahari adalah sebuah pencarian. Segala bentuk merupakan simbol. Dan simbol mempunyai makna yang abstrak. Pencarianku di antara terbit matari dan berjumbuhnya rembulan, adalah simbol dusta paling jujur yang pernah aku lakukan. Tak mengapa, Neptun, aku rasa semua itu lebih baik dibandingkan kejujuran yang mengantarkanku meloncat dari jendela kamar flatku di lantai tiga.


Agenmu,
M.S. Arifin


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram