Arus hidup sedikt banyak bisa diibaratkan dengan kali. Airnya mengalir dari bukit turun ke lembah, ke hulu, ke hilir, ke muara, sampai ke laut. Di perjalanan, arus air tak selalu tenang, kadang menerjang bebatuan, kayu, menyeret pasir-pasir kali dan kadang, menenggelamkan anak kecil yang sedang berenang. Arus hidup tiada banyak beda dengan itu. Anak kecil, yang tengah bermain asik, tengah berenang santai, tengah menyelam menantang adrenalin, harus ditenggelamkan oleh kali, oleh hidup. Sungguh malang nasibnya.
Inilah negeri ibu tiri. Anak-anak banyak menggantungkan
nasibnya di pinggir jalan dengan menadahkan tangan meminta belas kasihan.
Kelas-kelas masyarakat terbelah-belah sangat bersenggang dan bertenggat.
Sebagian harapan dan cita-cita mampat di negeri ini. Banyak citra-citra luntur
di negeri ini. Keyakinan bisa jadi tumbang seketika sesaat sebentar setelah
membaca aspal jalan raya. Di sini, orang menghibur diri dengan menertawakan
keadaan yang humoris. Semua serba tak dinyana. Apa yang kau nyana baik, boleh
jadi adalah buruk. Dan sebaliknya.
Barangkali aku masih bisa mengingat nasehat dari Kiai
Sahal: santri tidak boleh gumunan atau kagetan. Aku masih
mengingatnya. Tapi lain halnya dengan anomali negeri ibu tiri ini. Orang sangat
aneh untuk tidak kaget, orang akan sangat tidak normal untuk tidak gumun.
Bagaimana demikian? Di sini, hidup bisa sangat menjadi permainan yang serius.
Orang berpendidikan lebur di tanah batu pasir dan orang bodoh berkeliaran
disangka orang pintar. Orang-orang tua merangkaki gunung ketidakpastian dari
hidup yang tidak bisa dijamin. Jaminan hidup mereka adalah kematian yang tiada
disangka dan kemudian dikuburkan tanpa diantar sanak keluarga.
Di sini, berbagi adalah soal murahan yang tidak heroik.
Berbagi adalah menentang kerja keras dari hidup. Kaum dhuafa dan fakir tercekik
udara yang beracun. Mereka dipaksa hidup dengan menjual malu. Mereka dituntut
hidup dengan menggadaikan muka di depan khalayak.
Prof. Dr. Quraish Shihab pernah diberi tahu oleh salah
seorang gurunya sesaat sebentar sebelum ia menuntut ilmu di sini: ya man
dakhola mishra, mitsluka katsir, wahai orang yang masuk ke negeri Mesir,
orang yang sepertimu banyak sekali. Kalau kau penjahat, di sini sangat banyak
yang sepertimu. Kalau kau ulama, di sini tak kalah banyak yang sepertimu. Kalau
kau mahasiswa, apalagi. Mesir adalah gudang kedaulatan Tuhan. Di sini, banyak
tuhan-tuhan yang hilang di hati orang-orang, dan banyak pula tuhan-tuhan yang
kekal di otak orang-orang.
Demi mengatasi anomali dan kerasnya hidup di negeri ini,
mahasiswa-mahasiswa mencari penguat diri dengan mengartikan kata Mesir: Mim,
Shod, Ro’. Mim mereka artikan masyaqqoh, banting tulang; Shod:
shobr, sabar; Ro’: rahmat, kasih sayang. Dengan ini, sedikit
banyak mereka akan kuat. Kuat dalam arti yang tidak main-main. Mahasiswa memang
hihadapkan dengan kerasnya kehidupan di sini. Mulai dari musim, makanan, lokasi,
biaya hidup, transportasi, pergaulan, dan seabrek kesulitan-kesulitan yang
lainnya.
Mereka dituntut untuk menjalani kesulitan hidup dengan
banting tulang, dengan sabar menghadapi cobaan. Lantas begitu, mereka akan
sangat yakin bisa mendapatkan rahmat dari negeri ini: berupa bekal buat
menjalani kehidupan di negeri kandung, Indonesia Raya.
Di sini, mahasiswa hidup dengan menantang bahaya. Rumah yang
mereka huni adalah sasaran empuk para bajingan. Baru saja malam tadi, satu
rumah mahasiswa dibobol para bajingan itu. Alhasil, kepiluan menjelma sesuatu
yang lumrah tapi dikutuk. Bahaya mengintai dari seluruh arah mata angin.
Mahasiswa yang tak sanggup menguatkan dirinya, akan benar-benar hancur.
Maka mereka yang hancur itu perlu mendengar aforisme dari
Nietzche ini: “Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan
kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefahrlich
leben)!” Ini semacam sebuah kepastian, tapi, seperti dunia, kau tak bisa
mencari kepastian sebelum semuanya terjadi. Satu detik sebelum detik ini,
adalah hal yang belum pasti. Nietzche, sedikit banyak menginspirasi para
penentang hidup. Sisi nubuatnya adalah pesan moral yang dapat dipetik: kau
hidup maka tiada pilihan lain kecuali menjadi kuat.
Arus hidup sedikit banyak memang seperti kali yang airnya
pasti menuju ke laut. Kita menuju laut, yang oleh Nietzche diibaratkan Monster.
Kita para penghuni laut, pada akhirnya. Perihalnya adalah, apakah kita mau
menjadi salmon yang menantang arus kali demi bertelur di arus yang lebih tenang
dan menghasilkan bibit-bibit keturunan yang siap menantang sang monster, atau
tidak? Aku rasa, kita yang harus menjawab pertanyaan itu agar kita tidak
menjadi anak kecil yang malang sekali nasibnya karena ditenggelamkan oleh arus
kali. []
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar