Potret Penyair di Dinding Siria
“Syair adalah tindakan awal tanpa akhir,” teriaknya.
Dan kini, usia tuanya seolah tak mampu menyudahinya menjadi juru bicara penyair
Arab Kontemporer. Penyair yang lahir di desa Qassabin, Lakasia, Siria pada
tahun 1930 ini bernama lahir Ali Ahmad Said Asber. Sejak kecil telah diajari ilmu
agama oleh ayahnya yang seorang imam masjid bermazhab Syiah. Di usia belianya,
ia telah menghapal al-Quran dan beberapa puisi Arab klasik. Pada usia yang
terlambat, yakni 13 tahun, ia baru bisa mencicipi sekolah formal. Meskipun
begitu, bakatnya dalam bidang sastra—terkhusus puisi, sudah kentara di usianya
yang relatif belia. Bahkan ia telah membacakan puisinya di depan presiden Siria
Shukri al-Quwatli pada usia 14 tahun dan membuat sang presiden terpesona dan
mengirim anak muda itu ke sekolah Prancis di kota Tartus.
Ali Ahmad Said lebih terkenal dengan nama Adonis. Ada
dua riwayat yang menjelaskan asal-usul kenapa ia diberi nama Adonis. Pertama,
pada usia 17 tahun, ia mengirimkan puisinya ke sebuah majalah Sastra dengan
menggunakan nama asli. Tetapi—entah atas dasar apa, dugaan Adonis adalah karena
masalah nama—puisinya itu ditolak oleh redaktur. Setelah tragedi penolakan itu,
ia mengirim lagi puisinya dengan nama pena Adonis dan tepatnya pada tahun 1947,
puisinya dimuat di sebuah majalah ternama.[1]
Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Adonis. Kedua, pada tahun 1940-an Adonis
bergabung dengan partai nasionalis Siria yang dipimpin oleh Anton
Sa’adah—sebuah partai yang memiliki misi mempersatukan tanah Siria, Iraq dan
Lebanon. Oleh Anton, Ali Ahmad Said diberi nama Adonis (dewa dari mitologi
Babilonia kuno).[2]
Adonis hidup dalam keadaan eksil. Hidupnya berpindah
dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal lainnya. Bahkan dalam salah satu
puisinya, ia pernah berucap: “Aku bukan dominasi/ Darahku adalah hijrah”. Lagi:
“Dan kini aku di sini, cemas dan jadi alum/ Tak tahu bagaimana tinggal/ Tak
tahu bagaimana pulang”. Ketika di Siria perang saudara berkecamuk, pada
tahun 1985 ia pindah ke Paris bersama istrinya dan menetap di sana sampai hari
ini. Tapi meskipun begitu, tak bisa ditampik bahwa darahnya adalah darah Siria,
dan di sanalah, di tembok negeri konflik itu, potretnya tergambar.
Dialektika Puisi dan Wahyu
Benarkah kebenaran telah menjadi final paska turunnya
wahyu? Boleh jadi ini adalah pertanyaan sentral yang melahirkan banyak persepsi
dan kajian. Adonis mengawalinya dengan mempertanyakan itu. Setelah turunnya
wahyu—yang tentu sebagai wahyu penutup dan pembawanya, sang nabi, disebut
sebagi khatam al-anbiya’ (penutup para nabi)—maka kebenaran yang dulunya
diperoleh orang Arab dari kesenian terkhusus syair, tak ayal kemudian terkikis.
Dominasi wahyu, dengan suara lantangnya mengatakan bahwa penyair telah sesat
(Al-Syuara’: 26: 224-227).
Sejak saat itu, menurut Adonis, puisi tersingkirkan dan tersembunyi di tengah
periode wahyu agama.[3]
Jika benar yang terjadi demikian, maka epistemologi
Arab pasca-islam beralih dari mempercayai kebenaran puisi (yang oleh Adonis
dinilai memiliki kekuatan gaib dari “jin”) menuju kebenaran yang telah berhenti
dan final. Dalam pada itu, peran para penyair tidak lain menjadi semacam budak
agama. Muatan syair mereka adalah muatan yang mendukung nalar agama dan enggan
menyimpang darinya. Dalam posisi ini, ada dua pertentangan yang diyakini oleh
dua pihak yang berbeda. Pihak kaum agama meyakini wahyu adalah kebenaran mutlak
yang tak bisa diganggu-gugat. Pihak penyair, yang dalam hal ini diserukan oleh
Adonis, masih meyakini bahwa puisi memiliki kebenarannya sendiri. Kebenaran
dalam puisi tidak tetap, tidak pernah final dan senantiasa samar. Puisi dalam
makna ini berada di luar kebenaran agama dan menembus batasnya.[4]
Dengan demikian, dua kebenaran ini menjalani semacam
dialektika. Puisi sebagai tesis dan wahyu sebagai antitesis. Dengan mengutip
Freud, Adonis mengatakan: “Kita tidak akan pernah mampu ‘membunuh’ ide Allah;
yang bisa terjadi adalah mengubah ide dan cara pandangnya.”[5]
Setelah tesis dan antitesis, lalu apa? Adonis mengisyaratkan (sekali lagi
“isyarat”, artinya menyebut dengan tidak gamblang) adanya pihak yang mampu
mengkompromikan dua kebenaran itu. Mereka adalah para sufi, penyair dan filsuf.
Dengan sangat bangga, Adonis menyebut beberapa nama penyair yang dinilainya
menghadirkan suatu pembaharuan dalam hal puisi: Abu Nuwas, Abu Tamam,
al-Mutanabbi dan al-Ma’ri. Dalam pandangan Adonis, penyair-penyair yang telah
disebutkan tadi telah melahirkan suatu hal yang baru dan membangun dunia
pemikiran dan ungkapan yang khas yang belum diketahui sebelumnya.[6]
Dengan membandingkan pembaharuan dalam agama, Adonis berpendapat bahwa
pembaruan yang terjadi di sana tidak berlangsung secara radikal. Dalam arti,
pembaruannya masih terpaku pada teks kanon yang dipandang memiliki kebenaran
yang tak bisa diubah. Sehingga, pemahaman ini membawa umat Islam pada
kejumudan yang akut dan membanggakan teks-teks masa lalu sebagai acuan dasar.
Untuk meminimalisir perdebatan ke arah yang lebih jauh
mengenai kebenaran puisi dan kebenaran wahyu, tulisan ini akan berangkat dari
sintesis tasawuf (seperti nama yang sering Adonis banggakan: Ibn ‘Arabi dan
Rumi) sebagai hasil dari dua tesis (puisi) dan antitesis (wahyu). Perihal
menjembatani tulisan ini, kita harus berangkat dari sebuah pemahaman yang
fundamental bahwa dalam diri seorang sufi, terpancang dua kubu yang berlawanan:
penyair dan agama. Itulah mengapa kita perlu menghadirkan pengalaman spiritual
para sufi di tengah-tengah pembicaraan kita. Jika demikian, lalu apa yang
menjadi anasir eksistensi sufi sebagai penengah antara agama dan penyair?
Jawabannya adalah al-quwwat al-khayaliyyah (kemampuan berhayal). Dengan
mengetahui hal ini, kita akan menarik pembahasan ini ke arah yang lebih
spesifik, yakni mengenai epistemologi khayal antara kaum penyair dan
kaum sufi. Kemudian, pada inti pembahasan kita, tulisan ini akan kembali kepada
Adonis sebagai juru bicara melalui puisi-puisi yang ia tulis.
Khayal Al-Ashufi dan
Khayal Al-Syair
Tidak banyak diketahui oleh khalayak bahwa yang
membedakan manusia dari hewan, selain akal, adalah daya untuk berkhayal. Adalah
manusia itu sendiri yang seolah steroip terhadap kata khayal. Seakan-akan, apa
yang disebut khayal adalah kegiatan yang tanpa dasar epistemologi yang kuat dan
tidak menghasilkan apa-apa kecuali angan-angan. Ilmu modern, pada kenyataannya,
banyak yang terilhami dari dunia khayal (seperti alat eksekusi berupa pemenggal
yang dikenal sekarang, terilhami oleh salah satu Cerpen Edgar Allan Poe). Selain
itu, pada tradisi tasawuf, sesungguhnya khayal memerankan skenario yang sangat
penting. Tak kalah penting, kekuatan khayali menjadi pondasi tak terelakkan
bagi para penyair untuk menuliskan puisi-puisinya. Lalu apa perbedaan antara Khayal
Sufi dengan Khayal Penyair?
Berangkat dari Ibn ‘Arabi, seorang sufi agung itu, kita
akan menggali lebih jauh apa perspektif khayal menurut kaum sufi. Tentu kita
akan menemukan keistimewaan Khayal menurut Ibn ‘Arabi. Baginya, Khayal adalah
sebuah esensi kesempurnaan yang tanpanya, manusia tak bisa dibedakan dari
hewan.[7]
Kemampuan berkhayal adalah kemampuan khas Anak Adam (manusia) yang dapat
memisahkan spesies ini dari spesies lainnya. Khayal tidak hanya berhubungan
dengan kecerdasan akal, tetapi berkaitan pula dengan kepekaan merasa (dzauq)
dan pengalaman indrawi (hissy). Menurut Kaum filsuf, hanya orang tertentu
seperti nabi dan orang-orang pilihan yang sanggup mengaktifkan daya khayal
sampai pada titik kulminasi. Dengan demikian, apakah daya khayal bisa
dipelajari? Kita akan lebih dalam berkenalan dengan pemikiran Ibn ‘Arabi.
Ibn ‘Arabi membagi Khayal menjadi dua: Khayal
Munfashil dan Khayal Muttashil. Khayal yang pertama, yakni Khayal
Munfashil adalah khayal yang berada dalam tingakatan Ilahi. Sementara Khayal
Muttasil, berada dalam tingkatan manusiawi. Lebih jauh, Ibn ‘Arabi
membedakan antara (1) Khayal yang berhubungan dengan eksistensi sesuatu yang
dikhayalkan (Al-Maudhu’ Al-Mutakhayyal) dan disandarkan atasnya (dan ini
dinamakan Khayal Muttashil) dan (2) Khayal yang eksis dengan sendirinya
tanpa bantuan dari sesuatu yang dikhayalkan (dan ini dinamakan Khayal
Munfashil).
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, Khayal melampaui
pengertian oposisi biner (dalam bahasa Derrida), yakni pemahaman antara dua hal
yang bertentangan. Akan hal ini, Ibn ‘Arabi berkata: “Khayal tidak ‘ada’ dan tidak
pula tiada, tidak diketahui dan tidak pula tidak diketahui, tidak negatif dan tidak
pula positif.”[8]
Khayal dalam hal ini berada pada hal yang tiada tetapi ia ada. Keberadaannya
tidak diketahui sekaligus diketahui. Dengan demikian, Ibn ‘Arabi menjadikan
Khayal sebagai raja dari kemampuan manusia yang bisa dieksplorasi sesuai
keinginan dan sanggup melampaui naluri kebinatangan yang ada di dalam diri
manusia dan sanggup dijadikan untuk mengubah badannya sekehendak yang ia mau.
Bukan dalam rangka hiperbolik, Ibn ‘Arabi menempatkan Khayal dalam identitas
kesufiannya. Sebab menurutnya, dari dimensi Khayal, terbitlah sebuah ungkapan
kontroversial khas wahdat al-wujud, yakni: “Maha suci saya dan
sesungguhnya saya adalah Allah.”[9]
Pandangan Ibn ‘Arabi di atas, seolah menempatkan
Khayal pada dimensi yang tak terjamah dan tak terpahami (majhul).
Tetapi, akan lebih adil jika kita teruskan mengeksplorasi pendapatnya dengan
menengahkan pendapatnya melalui penafsiran akan alam indrawi (mahsusat).
Yakni, menurut Ibn ‘Arabi, Khayal tak akan bekerja kecuali setelah
berkolaborasi dengan indera dan melakukan kontak dengannya.[10]
Lebih gamblangnya, Khayal adalah perpaduan antara dua hal: indera dan makna.
Indera bekerja dalam tataran apa yang terjadi (waqi’) dan makna
mengalih-bahasakannya sehingga Khayal mampu terpahami. Orang yang paling mampu
memadukan keduanya adalah Nabi. Nabi merupakan penengah antara apa yang
diwahyukan Allah kepadanya dengan apa yang terjadi secara aktual sehingga ia
mampu mentrasformasikan bahasa wahyu guna dipahami oleh manusia.[11]
Dengan demikian, Khayal menurut kaum sufi berada di antara dimensi
transendental dan dimensi imanen.
Sementara itu, Khayal dalam perspektif penyair
memiliki karakteristik yang khas. Ada perbedaan penggunaan derifasi dalam
pemaknaan Khayal. Menurut Jabir Usfur, kata Khayal tak bisa terwakili oleh—misalnya
dalam bahasa keseharian kita—apa yang disebut dengan Imajinasi. Justru, kalimat
yang sepadan dengan imajinasi adalah kata derifasi dari Khayal yaitu Takhayyul.
Dalam istilah kontemporer, Khayal berarti: kemampuan menciptakan imej atas
sesuatu yang absen dari kemampuan indera.[12]
Sedangkan dalam kosa kata Arab Klasik, penggunaan Khayal tidaklah menunjukkan
kepada kemampuan menggambarkan apa-apa yang inderawi dan merekonstruksinya
ulang setelah absen dari kenyataan, tetapi menunjukkan kepada bentuk, gambaran,
dan bayangan.[13]
Seperti yang telah disinggung di muka, kosa kata yang
dipakai dalam peristilahan modern untuk menyebut Imajinasi adalah kata
takhayyul. Secara sederhana, Takhayyul berarti suatu usaha menciptakan imej dan
merekonstruksinya kembali.[14]
Dalam masyarakat kita, kata takhayyul mengalami penyempitan makna. Ia dipakai
untuk menyebut sesuatu yang tidak terjadi dalam dunia nyata—bisa berupa mitos,
kepercayaan, atau misteri. Tetapi, apapun kata yang digunakan untuk menyebut
Khayal, penyair (dan tentu juga kritikus seperti Jabir Usfur) memiliki tolok
ukur yang rigid dan perspektif yang khas yang membedakannya dari yang
lain—seperti pemahaman kaum sufi yang telah dipaparkan sebelumnya.
Tak bisa ditampiik
bahwa dalam hal pemahaman tentang puisi, terjadi transfer ide antara filsuf
dengan penyair. Tentu kita bisa memulainya dari Aristoteles (bukan Plato,
karena ia telah menganggap puisi sebagai kesesatan—menjauhkan manusia dari dunia sesungguhnya). Dari Aristo, pemahaman itu
bergerak ke ruang Filsuf Arab (jika enggan menyebutnya filsuf muslim) seperti
Alkindi, Alfarabi dan Ibn Sina. Oleh sebab itu, menurut Jabir Usfur, pemahaman
sastra beralih dari yang dulu di tangan para filsuf ke tangan para sastrawan.
Sampai-sampai, dalam satu fragmen perkataannya, Jabir berpendapat bahwa:
“Tidaklah mungkin istilah-istilah sastrawi (termasuk di dalamnya istilah
Khayal) sampai ke tangan orang Arab tanpa bantuan dari para filsuf yang
menyatukan antara nalar filosofi dan nalar sastrawi.”[15]
Hampir serupa dengan
apa yang dipahami kaum sufi, Jabir Usfur menganggap bahwa penyair—dengan
kemampuan Khayalnya—diperbolehkan untuk berkhayal atas apa yang tidak terjadi
di dalam alam nyata. Hanya saja, jika menyangkut tentang hal yang mustahil (Al-Mustahilat)
dan hal yang mungkin (Al-Mumkinat), terdapat perbedaan antara penyair
dan sufi. Menurut Jabir, penyair diharapkan berkhayal atas apa yang mungkin,
bukan mustahil. Di sini perlu dibedakan antara mustahil dan mumtani’.
Yang bisa diterima dalam tataran keduanya adalah mumtani’, sebab ia
mungkin dikhayalkan meskipun tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Sedangkan mustahil,
ia tidak bisa diterima karena ia tidak bisa dikhayalkan sekaligus tidak mungkin
terjadi dalam dunia nyata. Seperti mustahilnya membayangkan dua benda yang naik
dan turun secara bersamaan.[16]
Sedangkan di sisi lain, Ibn Arabi berpendapat bahwa Khayal mampu mengungkapkan
dimensi Muhal dan Wajib dari fenomen yang ada.[17]
Lebih jauh lagi, Khayal
tidak disyaratkan harus benar. Dalam ilmu balaghah kita menganal Kalam Khabar.
Yaitu, perkataan yang mengandung kebenaran atau kesalahan. Jabir berpendapat
bahwa puisi hanyalah kerja imajinasi saja, ia tidak harus menjanjikan kebenaran
sesuatu dan menuntut orang untuk yakin. Jika kebenaran adalah sesuatu yang
bersandar pada kesesuaiannya dengan kenyataan, maka tidak begitu halnya yang
terjadi dengan Khayal. Unsur Khayal boleh berupa sesuatu yang benar, boleh
sesuatu yang bohong. Itu tidaklah penting. Yang terpenting adalah bagaimana
dampak Khayal ini kepada para pembaca (Al-Multaqi).[18]
Dengan melihat
kompleksitas pemahaman mengenai Khayal, yakni antara sufi dan penyair, pada
bagian terakhir, kita akan berhadapan langsung dengan objek kajian kita:
Adonis. Kita akan meninjau ulang puisi-puisinya dari segi penggunaaan dimensi Khayal,
mengingat bahwa ia adalah penyair yang mengagumi dan menaruh simpati pada kaum
sufi. Ekspektasinya, dimensi Khayal yang dipakai Adonis mampu mendialektikakan
antara Khayal sufi dengan Khayal penyair. Semoga!
Dimensi
Khayal dalam Puisi Adonis
Sebagai pijakan, saya
akan memakai teks puisi Aghani Mihyar Al-Dimasyqi. Ada dua pertimbangan
kenapa saya memakai acuan buku puisi ini. Pertama, buku puisi ini terbit
pertama kali di Beirut, Lebanon, pada tahun 1961. Secara periodisasi, buku ini
merupakan masa awal-awal kepenyairan Adonis (meskipun kita tahu ia telah
menulis puisi sejak sangat muda). Dengan mengetahui periode awal sebagai
periode pembentukan, kita bisa menilai pijakan ontologis dari puisi-puisi
Adonis. Kedua, buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ahmad
Mulyadi dengan judul Nyanyian Mihyar dari Damaskus dan diterbitkan oleh
Durakindo Publishing pada tahun 2008. Hal ini lebih memudahkan saya dalam
memahami puisi-puisi Adonis dan mencari dimensi Khayal seperti yang saya
kehendaki dalam tulisan ini.
Yang pertama menyita
perhatian saya dari kumpulan puisi ini adalah keberanian Adonis ketika
mengungkapkan apa yang dianggap tabu oleh kebanyakan orang: yakni masalah
ketuhanan. Hal ini wajar mengingat bahwa Adonis, oleh sebagian orang, dianggap
sebagai ateis khas timur. Kita bisa melihatnya dari puisi yang berjudul Al-Ilah
Al-Mayyit (Tuhan yang Sudah Mati):
Hari ini telah
kubakar
fatamorgana Sabtu dan fatamorgana Jum'at
Hari ini telah kulempar topeng rumah itu
dan telah aku ganti Tuhan batu buta
dan Tuhan hari-hari tujuh
dengan seorang Tuhan yang sudah mati.
fatamorgana Sabtu dan fatamorgana Jum'at
Hari ini telah kulempar topeng rumah itu
dan telah aku ganti Tuhan batu buta
dan Tuhan hari-hari tujuh
dengan seorang Tuhan yang sudah mati.
Kita tak perlu
mempersoalkan muatan puisi ini. Kita bisa melihat dari penggunaan Khayal yang
dimodif dengan pengungkapan alegoris. … kubakar/ fatamorgana Sabtu dan
fatamorgana Jumat. Meski samar, fatamorgana Sabtu akan kita pahami sebagai
hari yang disucikan oleh orang Yahudi dan fatamorgana Jumat adalah hari yang
diagungkan oleh umat Islam. Pemakaian bakar untuk mengobjek kata hari
merupakan pengungkapan yang unik. Bukan hanya karena ketidak-mungkinan ungkapan
itu dimaknai secara hakiki, dan ketidak-mungkinan hal itu terjadi, tetapi ia
unik sebab muatan Sufistik terkandung di dalamnya. Kita tentu tahu, pemikiran Wahdat
Al-Adyan versi Rumi yang menganggap bahwa agama adalah wasilah menuju
Tuhan, bukan tujuan. Upaya pembakaran fatamorgana hari-hari yang dikultuskan
umat manusia itu, adalah upaya menghindari penghambaan terhadap wasilah
(perantara).
Seorang Tuhan yang
sudah mati. Ini adalah frasa yang tidak mungkin ada dalam alam Khayal. Tuhan
sebagai entitas yang tak terjamah itu, dibayangkan telah mati. Saya rasa, ini
bukan soal kemustahilan membayangkan Tuhan telah mati, tapi kemustahilan
mengkhayalkan kematian Tuhan itu sendiri sebagai sesuatu yang nyata terjadi.
Makna yang lebih relevan bahwa, Tuhan yang sudah Mati adalah tuhan konsep yang
selama ini dipahami oleh kaum Teolog. Teologi negatif Ibn Arabi menghendaki
tuhan sebagai tuhan itu sendiri (min haitsu huwa huwa), yang tak
terkatakan (not-saying) dan yang tak terjamah oleh bahasa apapun. Upaya
untuk mengkonsepkan Tuhan adalah sia-sia belaka dan akan mengantarkan Tuhan pada
kematian. Sungguh, manusia tak mampu sampai pada hakikat ketuhanan dengan
menggunakan konsep. Yang bisa dilakukan oleh manusia semacam itu adalah
kesia-siaan yang tiada henti. Seperti dalam satu frasa puisi Adonis: Aku
telah bersumpah/ untuk hidup bersama Sisypus. Sisypus adalah lambang
keabsurdan manusia.
Pada puisi yang lain,
kita mampu melihat betapa lihainya Adonis membuat Khayal menjadi hidup. Dalam
puisi yang berjudul Kilat, ia berkata: Sebuah kilat menangis/ dan tidur di
rimba prasangka. Personifikasi semacam ini hampir tak mungkin muncul tanpa
adanya Dzauq yang kuat dari sang penyair. Mau tidak mau, sebelum kita
menafsirkan fragmen puisi di atas, kita terlebih dulu membayangkan kemungkinan
hakiki dari kilat yang menangis. Di atas telah disinggung mengenai Khayal versi
Sufi. Ialah perpaduan antara indera dan makna. Penjelasannya demikian: kilat
yang menangis adalah permainan inderawi yang dihadirkan penyair. Yaitu,
indera pendengar dan indera penglihatan. Kita bisa mengetahui orang itu
menangis dari dua indera ini, baik melalui suara tangisan maupun luh yang kita
lihat menetes ke pipi. Tapi indera tak sanggup menjelaskan segalanya. Bisa
jadi, suara tangisan yang kita dengar bukanlah tangisan yang sesungguhnya. Bisa
jadi, luh yang kita lihat menetes dari kelopak mata bukanlah luh tangisan
melainkan karena infeksi.
Berangkat dari sana,
permainan indera akan lengkap jika disertai dengan makna. Rimba prasangka
adalah kosa kata yang tidak menghadirkan inderawi, tetapi maknawi. Kita tak
pernah bisa mengindera sebuah prasangka. Kita hanya mampu melihat
tanda-tandanya. Daya Khayal yang saya sebut ini, telah melampaui dua pengertian
khayal menurut penyair dan sufi. Napas khayal yang lain bisa kita temui dalam
puisi berjudul Musafir: Kutinggalkan wajahku di corong lampu. Fragmen
ini secara terpisah—yakni terpisah dari keutuhan puisi—memuat ajaran-ajaran
sufistik yang sangat tinggi. Dalam pembahasan mengenai Khayal penyair di atas,
kita telah mengetahui bahwa Khayal seharusnya tidak dalam ranah kemustahilan.
Dalam imajinasi kita, menaruh wajah di corong lampu adalah hal yang bisa
dibayangkan, meskipun dalam kenyataannya sulit terjadi. Inilah kelihaian sang
penyair. Ia mampu menciptakan sebuah dimensi Khayal yang bisa dibayangkan
sekaligus memuat tafsir yang beragam. Tafsir sufistik? Kita bisa memaknai
fragmen itu dengan kepasrahan yang tunduk, kepasrahan yang khusyuk sebagai hamba
Tuhan (ingat, sekali lagi, fragmen itu harus terpisah dari keutuhan puisi).
Menurut Shalah Fadhl,
Uslub Adonis sedikit banyak menggunakan uslub tasawuf.[19]
Bukan hanya terbatas uslub, menurut saya, pada banyak puisinya, Adonis
menggunakan pengandaian-pengandaian sufistik yang baligh (tinggi). Kita
bisa mengambil satu contoh puisi Ibn Arabi dan kita lihat, bagaimana nanti
pengandaian-pengandaian itu muncul pada puisi Adonis.
Sungguh
hatiku telah menerima segala bentuk
Ia
bagai padang rumput bagi sekawanan rusa
Biara
bagi rahib-ranib kristen
Dalam puisi ini, kita
bisa merasakan napas-napas yang lembut. Tak ada nada pemberontakan, tak ada
suku kata kegelisahan. Puisi itu menyiratkan tingkat kedalaman spiritual Ibn
Arabi yang tak lagi memandang perbedaan sebagai perbedaan. Sebab, ada yang
lebih puncak dari identitas manusia, yaitu manusia itu sendiri. Sementara itu,
Adonis, dengan bahasa yang gusar, menawarkan cara berspiritual yang berbeda
(meskipun dengan maksud dan tujuan yang sama dengan Ibn Arabi). Dalam salah
satu puisinya ia berkata:
Kita mati jika
tidak kita ciptakan Tuhan.
Kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan.
Kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan.
O, kerajaan batu cadas, kebingungan.
Kita adalah
generasi percakapan panjang
antara puing-puing dan tuhan.
antara puing-puing dan tuhan.
Kebingungan, kegusaran,
kegundahan. Itulah tawaran-tawaran yang melelahkan dari Adonis untuk para
pencari spiritual. Ia tak menawarkan cara Ibn Arabi mengayomi semua manusia,
tapi ia mengajak manusia untuk bingung bersamanya. Kebingungan? Kebingungan
bukan terma yang negatif dalam pengalaman spiritual. Kita pernah membaca doa
nabi yang berbunyi: “[Tuhan…] Buatlah aku semakin kebingungan pada-Mu.”
Kebingungan adalah jalan untuk menuju makrifat yang hakiki. Secara singkat,
kita bisa membacanya dari pengalaman para sufi dalam kehidupan mereka, salah
satunya Al-Ghazali.[21]
Pada pembahasan lain,
baik di dalam terminologi tasawuf maupun sastra, khayal adalah bermain-main
dengan dua hal: tingkatan kreatif (Mustawa Al-Ibda’) dan tingkatan
penerimaan (Mustawa Al-Talaqqi).[22]
Keduanya memerankan skenario yang imbang. Penerimaan sebuah gambaran (surah)
melalui indera akan memupuk daya kreatif kita ketika mengungkapkan Khayal ke
dalam bahasa puisi. Adonis agaknya tak melupakan keduanya. Lihat, geliat
maju di balik puing/ Dalam iklim aksara baru, ia
persembahkan puisinya/ untuk angin sedih/
untuk angin kasar/ untuk angin menyihir/ untuk angin bagai tembaga. Tingkatan penerimaan kata kerja
untuk angin sangatlah beragam dalam puisi ini. Sedih, kasar, menyihir, bagai
tembaga, merupakan kata untuk menyifati angin. Bagaimana cara kerjanya sehingga
bisa menghadirkan tingkatan kreatifitas? Karena ia bahasa bergelombang/ di
antara tiang-tiang kapal/ Karena ia
ksatria kata-kata asing. Yaitu karena dimensi Khayal adalah bermain-main
dengan realitas untuk dipadukan dengan yang surealis.[23]
Pada salah satu puisi deskriptifnya, Adonis
menghadirkan dimensi Khayal dan mengajak pembaca untuk membayangkan sekaligus
mencari maknanya. Ia berkata: Daun yang pulas tertiup angin adalah kapal luka/ Zaman
terkutuk ini adalah kemuliaan luka/ Pohon
menjulang di bulu mata kita adalah lautan luka. Kita lihat,
Adonis bermaksud mempermainkan logika kita. Ketika ia memakai metafora daun
yang pulas tertiup angin untuk menggambarkan luka; ketika ia memakai metafora
pohon menjulang di bulu mata kita; ia sebenarnya tengah membolak-balikkan logika
kita. Dimensi Khayal semacam ini tak bisa dikatakan tidak sah. Ia bisa terjadi
dalam angan kita, meskipun ia tak akan pernah ada dalam kenyataannya. Kepada
bahasa lonceng yang tercekik/ akan kuhadiahkan suara luka. Bagi khalayak
sastra Nusantara, saya pikir, Adonis mendapatkan perhatian yang lebih dibanding
sastrawan-sastrawan Arab kontemporer lainnya.
Dimensi Khayal
puisi-puisi Adonis mampu menjembatani dua pemahaman Khayal menurut penyair dan
sufi. Puisi-puisinya semacam menjadi sintesis antar keduanya dan menjawab
kemungkinan-kemungkinan paling radikal dalam pengungkapan puisi.[24]
Kita bisa membaca Adonis dari arah yang bervariatif. Bahkan, kita bisa meminjam
fragmennya untuk menghinanya semau kita: Siapakah engkau?/ Sebuah tombak kebingungan/ Seorang Tuhan yang hidup tanpa sembahyang.
Siapakah Adonis? Tidaklah ia selain bukan siapa-siapa. [*]
[2] Lihat: Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Khairon Nahdiyyin, vol. 1, (Yogyakarta, LKiS, 2007)
[3] Adonis, Al-Haqiqat
Al-Syi’riyyah wa Al-Haqiqat Al-Diniyyah. Sebuah makalah yang disampaikan
oleh Adonis pada Festival Salihara, Senin, 3 November 2008. Dialih-bahasakan
oleh Mohamad Guntur Romli dengan judul “Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama.
[4] Ibid,.
[5] Ibid,.
[6] Ibid,. Adonis bermaksud membangun citra penyair yang dalam kurun waktu
beberapa abad pasca turunnya wahyu menolak nalar ibda’ (kreasi) dan
memilih untuk ittiba’ (imitasi) terhadap keyakinan agama dan terbelenggu
oleh dogma. Usaha seperti ini perlu diapresiasi dan dikaji lebih lanjut.
[7] Muhammad
Ali Salamah, Ta’wil Al-Syi’ri ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Majlis Al-A’la
li Al-Tsaqafah. Kairo, 2011, hal 183.
[12] Jabir Usfur, Al-Surah Al-Fanniyah fi Al-Turats
Al-Naqdi wa Al-Balaghi ‘inda Al-Arab. Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-Arabi,
Beirut, Cet 3, 1992, hal 13.
[16] Ibid., hal 61. Terkadang kita menemukan sebagian kritikus
sastra yang menganjurkan karya sastra sesuai dengan kenyataan. Anjuran ini bisa
kita pahami sebagai pola pengalaman yang dialami kritikus yang biasanya adalah
penyair. Lagi-lagi, di sini perlu dibedakan antara mumtani’ dan mustahil.
Dalam pengertian yang hampr serupa, mumtani’ diartikan sebagai: “Sesuatu
yang tidak ada, tapi dapat kita bayangkan.” Ambillah contoh misalkan, kita
membayangkan seoarng manusia berkepala srigala, atau seekor srigala berkepala
manusia. Meskipun hal ini tidak terjadi di alam nyata, tapi ia bisa
dibayangkan. Berbeda dengan mustahil, atau tanaqudh. Mustahil
adalah sesuatu yang tidak ada dan tidak mungkin bisa dibayangkan. Seperti
membatangkan suatu benda yang bergerak ke kiri dan ke kanan secara bersamaan.
Hal seperti itu tidak mungkin terjadi dan tidak bisa dibayangkan dalam benak
kita. Ibid., hal 55.
[17] Muhammad Ali Salamah, Ta’wil
Al-Syi’ri ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Majlis Al-A’la li Al-Tsaqafah. Kairo,
2011, hal 184.
[19] Shalah Fadhl, Asalib Al-Syi’riyyah
Al-Mu’ashirah. Dar Al-Baqa, 1996, hal 277.
[20] Muhammad Ali Salamah, Ta’wil
Al-Syi’ri ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Majlis Al-A’la li Al-Tsaqafah. Kairo,
2011, hal 248.
[21] Baca:
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dlalal, sebuah autobiografi yang mengupas
tentang perjalanan kesufian Al-Ghazali dari mulai mempercayai suatu terminologi
ilmu (yakni ilmu teologi: apakah akan mampu mengantarkannya kepada Tuhan?),
sampai meragukan kebenarannya.
[22] Muhammad Ali Salamah, Ta’wil
Al-Syi’ri ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Majlis Al-A’la li Al-Tsaqafah. Kairo,
2011, hal 210.
[23] Adonis
menulis sebuah buku yang berjudul Al-Shufiyyah wa Al-Suriyaliyyah.
[24] Menurut Ibn Arabi, ada perbedaan antara
pengejawantahan (ta’bir) dengan refleksi (‘ubur). Ta’bir
bisa sempurna atas dasar menghadirkan fenomen dengan Khayalan. Sedangkan ‘Ubur
hanya bisa sempurna hanya dengan penglihatan murni (Al-Ru’ya Al-Mujarradah).
Lihat: Shalah Fadhl, Asalib Al-Syi’riyyah Al-Mu’ashirah. Dar Al-Baqa,
1996, hal 279-280..