Abstrak
Beralihnya fokus manusia dari yang semula memperhatikan alam semesta ke
memperhatikan dirinya sendiri menandai dimulainya ilmu-ilmu baru. Fenomena ini
bukan tanpa sebab dan bukan tanpa faktor. Banyak faktor yang mendorong manusia
untuk mengalihkan (atau mengarahkan?) perhatiannya kepada dirinya sendiri.
Perhatian yang berpusat pada alam dinamakan kosmosentris. Sejak zaman
yunani, dimulai dari bapak filsuf, Thales, pemusatan semacam memunculkan
pandangan—yang pada akhirnya mengarah pada ilmu, yang beragam serta bervariatif
dengan ditandai dengan merebaknya perdebatan mengenai arche (unsur
asali) dari alam semesta.
Zaman bergulir dan manusia makin pandai. Fokus manusia tidak lagi pada
alam, meskipun tidak begitu saja meninggalkan
ilmu kosmos. Manusia mulai memikirkan dirinya sendiri. Inilah yang dinamakan
antroposentris. Yunani telah memulainya. Dan mencapai puncaknya pada masa Plato
dan Aristoteles.
Manusia mulai meninjau dirinya sendiri dari berbagai aspek, mulai dari
asal-usul, ilmu tubuh, kejiwaaan dsb. Asal usul manusia menggiring perdebatan
sengit. Dan perdebatan itu akhirnya bermuara pada hakikat manusia. Hakikat manusia,
dengan segenap penalaran dan ilmu batin (kasyf) sangat menarik untuk
dikaji. Demikianlah, tulisan ini akan menyajikan pandangan kaum sufi serta beberapa
bantahan mereka terhadap pandangan kaum filsuf mengenai hakikat manusia.
Wujud Mutlak dan Wujud Muqayyad
Bertolak dari pengertian wujud, tulisan ini akan membawa pemikiran kita
kepada wujud murni, yakni Tuhan. Hakikat Tuhan tidaklah tersusun, dan tidak
pula terbagi. Tuhan adalah tuhan itu sendiri, yang tidak menerima definisi
kecuali dalam rangka tanzih atau mensucikan dirinya. Namun andaikata
definisi itu dilakukan, Tuhan tetap tidak mampu dijangkau oleh kata. Tuhan
adalah Tuhan itu sendiri (Allahu huwa huwa) dan wujud Tuhan adalah
dzatnya (Wujuduhu huwa dzatuhu).
Tuhan adalah wujud mutlak. Wujud mutlak bukanlah wujud yang muqayyad
atau nisbi. Mutlak di sini dalam arti bahwa wujud Tuhan tidak membutuhkan
apapun untuk wujud. Sedang wujud muqayyad, adalah wujud yang tanpa
sesuatu yang mewujudkan, ia tidak akan wujud. Seperti alam dan isinya yang
mencakup manusia di dalamnya.
Pengertian semacam ini dirasa urgen. Sebab, manusia dalam pengertian wujud muqayyad
memiliki kaitan erat dengan wujud mutlak. Manusia tak akan mewujud tanpa
adanya wujud yang mewujudkannya. Maka berbicara mengenai manusia dalam bingkai ia berada, sama saja berbicara soal wujud yang membuatnya berada.
Dualisme Konsep Manusia
Jika tuhan adalah wujud yang mana wujudnya dalah dzatnya, maka tidak begitu
adanya dengan manusia. Manusia mempunyai hakikat yang berlainan dengan
wujudnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang penjelasannya amat panjang:
Pertama, hakikat manusia adalah eksistensinya yang tetap (arab: a’yan
tsabitah). Pengertian a’yan tsabitah adalah sesuatu yang tidak ada dan
tidak diciptakan, yang disandarkan serta eksis dalam ilmu Tuhan di zaman azali.
A’yan tsabitah adalah sesuatu yang tidak ada. Tidak ada, sebab ia tidak
wujud dan tidak bisa dikatakan ada. Ia berada dalam ilmu Tuhan. Tuhan tahu
bahwa akan ada makhluk yang bernama manusia. Kemahatahuan Tuhan ini membungkus
hakikat manusia. Manusia eksis tapi sekaligus tidak ada.
Oleh karena manusia ada di dalam ilmu Tuhan, maka ia tidak diciptakan. Karena
ilmu Tuhan adalah Tuhan itu sendiri dan tidak lepas darinya serta tidak
diciptakan oleh dirinya sendiri.
Ini sekaligus membantah anggapan para filsuf yang mengatakan bahwa a’yan
tsabitah berupa sesuatu atau wujud yang diciptakan dalam ilmu Tuhan. A’yan
tsabitah selamanya tidak ada dalam nalar, apalagi dalam kenyataan. Sebab, di
zaman azali tidak ada barang sedikitpun yang berupa nalar.
Tuhan telah berifirman dalam surat Al-Baqarah ayat 117: “(Allah) Pencipta
langit dan bumi”. Menciptakan (ibda’) adalah mewujudkan sesuatu yang
belum ada sebelumnya. Maka jika anggapan filsuf dibenarkan, Tuhan bukan lagi
sebagai pencipta. Di sini ditegaskan sekali lagi bahwa tidak ada bentuk atau
surah yang wujud dan diciptakan di dalam ilmu Tuhan.
Ditegaskan lagi dengan pendapat Ibn Arabi dalam Fusus Al-Hikam halaman 37: “A’yan
tsabitah dalam keadaan tiadanya adalah berupa dzat nisbi yang tiada
bentuknya.”
Manusia dalam konsep pertama ini menempati kerangka yang rumit sekaligus
unik. Manusia adalah sesuatu yang tetap di dalam ilmu Tuhan. Hakikatnya adalah antara
ada dan tiada.
Kedua, sedangkan wujud yang disandarkan pada manusia adalah
wujud yang melimpah dari hakikat alam. Ia mewujud dengan memperhatikan kesiapan
A’yan tsabitah. Dengan pengertian semacam ini maka benang merahnya
berada pada kata kunci: A’yan tsabitah tidaklah diciptakan dalam bingkai
eksistensinya tapi ia diciptakan dalam kerangka wujudnya di dunia.
Berkenaan dengan ini, Imam Asy’ari berkata: “Wujud segala sesuatu adalah
hakikat dirinya.” Imam Qodhi Al-‘Ijiy menjelaskan perkataan ini dengan
gamblang. Menurutnya, kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia pernah wujud
sebelum ia wujud, karena itu akan memunculkan daur. Kita juga tidak bisa
mngatakan bahwa manusia wujud sesudah ia wujud, karena ini akan memunculkan tasalsul.
Sementara daur dan tasalsul adalah sesuatu yang mustahil, baik
menurut akal maupun syara’.
Manusia telah menerima wujud, dan wujud ini merupakan hakikat dirinya. Dengan
begitu dapat dibedakan tiga hal yang mendasar. Pertama, ada Mahiyyah,
yaitu menyebutkan sesuatu dari segi dirinya sendiri. Kedua, ada Hakikat,
yaitu menyebutkan wujud disertai dengan keberadaannya. Ketiga, ada Huwiyyah,
yaitu menyebutkan wujud dengan menyertakan perwujudannya dalam nyata. Manusia,
ditinjau dari tiga hal mendasar ini, menempati nomor tiga. Ia adalah nyata
ketika ia wujud, dan wujud inilah hakikat dirinya. Karena kita tidak menerima
dua hakikat dalam satu wujud.
Ibn Arabi berkomentar pula soal ini: “Sesuatu yang tetap dalam ketiadaannya
tidak bisa mencium aroma wujudnya. Ia berada dalam keadaan tidak adanya serta
menerima bentuk dalam wujudnya.”
Lebih tegasnya, a’yan tsabitah belum pernah wujud dan tidak akan
pernah wujud dalam kenyataan. Tetapi ia meninggalkan atsar (peninggalan)
dan ahkam (identitas) yang berupa bentuknya yang nyata dalam wujud yang
nyata.
Penutup
Itulah dualisme konsep manusia menurut ajaran tasawuf. Secara garis besar
bisa disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah a’yan tsabitah yang telah
lampau ada di dalam ilmu Tuhan. Tapi ketika a’yan tsabitah itu menerima
wujud yang melimpah dari hakikat alam, maka wujud manusia itulah yang adalah
hakikatnya.
Tinjauan semacam ini barangkali pernah dibahas oleh pihak selain kaum sufi.
Tapi sekiranya boleh dikatakan, mereka yang tidak menerima cahaya langsung dari
Tuhan seperti kaum sufi, tidak mampu berbicara dengan menggunakan beberapa
pendekatan. Baik itu nalar, wahyu, maupun ilmu kasyaf. Dengan demikian,
pengetahuan kaum sufi—dalam tanda kutip—‘lebih’ unggul dibandingkan yang
lainnya berkenaan dengan fokus kita kali ini.
*Tulisan ini disari dari kitab Al-Maslak Al-Jaliy fi Hukm Syath Al-Waliy
karya Imam Burhanuddin Ibrahim Ibn Hasan Al-Kuraniy Al-Madaniy terbitan Darat
Al-Karaz Kairo, cet. 1, 2011
Kairo, Ramadhan, 1435
Kairo, Ramadhan, 1435
Tidak ada komentar:
Posting Komentar