“....di manakah puisi tinggal?”
Puisi; mimpi mengenai waktu yang kediktatorannya tumbang
di lengan kata-kata. Kau menyebut puisi adalah seorang demonstran yang
menyuarakan kebebasan berkreasi dan berekspresi. Puisi mencari jalannya. Puisi
mencari rumah untuk bermukim. Mungkin di semak belukar, di padang ilalang,
savana jauh, gurun pasir, lautan, lembah, atau entah; puisi tak punya rumah.
Puisi; di ujung rokokkah ia bermukim, menjelma melalui
asap-asap tua yang menari di udara yang mandek. Puisi, bermukimlah ia—mungkin,
di setetes tuak yang digelonjorkan seorang penyair ke dalam lambungnya yang
putus asa. Puisi, di dalam lambung waktu ia seperti asmara yang kena asma.
Puisi mencari jalan pulang; di mana ia tak punya tempat tinggal; di mana ia tak
punya sodara; di mana ia tak punya bapa.
Puisi; bermukimkah ia di kloset kamar mandi ketika ada
seseorang bermigrasi ke sana, menghijrahkan imajinasi di antara tinja dan tisu
basah di sebelah kloset yang sengsara. Puisi, mana beda antara ia dengan tisu
yang dibuat membersihkan kotoran dengan ia yang menjadi semacam masturbasi
kata-kata.
Puisi; dalam kertaskah ia bersemayam atau jangan-jangan
ia hanya membayang kayak bayangan seorang lelaki yang berdiri di depan matahari
pagi hari. Puisi, malamlah ia, sianglah ia, pagilah ia. O, puisi, embun di
ujung daun, matahari di tengah hari, senja di labuh cakrawala, rembulan yang teronggok
termenung di atas batu. O, puisi berkisaran di antara puing-puing, reruntuhan
tembok sejarah, masjid-masjid tua, tombak-tombak hujan. Puisi, ritual semadi
paling tak terperikan!
Puisi; mengalun di sesela lagu-lagu yang gugur di
daun-daun musim semi. Udara adalah puisi yang sesak di dada seorang gadis cilik
yang membuang muram di dubur sebuah bis kota. Bangkai mobil, puisi yang hampir
stabil. Anjing-anjing gonggong, puisi melolong. Bermikimlah puisi, mungkin, di
sepanjang lajur metro yang mengantarkan besi dari satu tempat ke lain tempat.
Puisi, kutu dan kecoa yang menjengkelkan!
Puisi; kata-kata yang patah, dikoyak-koyak sepi. Mampus!
Hangus dipanggang bara tinggal rangka. Puisi, bermalam ia di gedung tua tempat
hantu berpesta. Puisi, cericit burung kecil yang menari di ujung ranting pohon
randu. Puisi, printer yang ngos-ngosan mencetak kenangan dan masa lalu.
Diabadikannya rindu dalam puisi. Diabadikannya pedih dalam puisi. Diabadikannya
sedih dalam puisi. Puisi, gudang segudang-gudangnya!
Puisi; paragraf yang mandek, tak selesai. Puisi tak usai.
Ia adalah tindakan awal tanpa akhir. Di jalan bernama ‘tak bernama’,
barangkali, puisi tinggal. Tapi perihal ini juga tak pasti. Puisi, bisa jadi,
tak butuh tempat tinggal. Ia murni gelandangan, di jalan, di hujan, di kelam,
di malam. Puisi, mimpi buruk anak kecil yang mainannya tercebur ke kali. Puisi,
remah-remah roti di mulut seorang perempuan tua di jalan menuju sorga.
Puisi; nama di sebuah nisan tua di pekuburan pahlawan di
jaman penjajahan di antara reruntuhan monumen di segala perjanjian antara
penyair dan presiden. Puisi, ia kasi tangannya, ia kenang yang tua, ia kobarkan
yang muda. Puisi, semacam kartu ramalan masa depan tentang rumah seorang
penyair muda (y.a.d). Puisi, mantra yang hidup di bibir seorang penyair
kawakan. Puisi, kata-kata sederhana. Puisi, sebuah pertanyaan kecil tentang hal
maha-agung. Puisi, di tak rumahmu, semua bermukim?!
Puisi; otoritas seorang penggumam. Puisi diadon dengan
onggokan kata-kata dalam kamus. Kau sebut, ia adalah puisi kertas. Puisi
dicipta dari berpersen-persen pahitnya kenyataan. Kau menyebutnya sebagai puisi
realitas. Puisi, tak bernama pun ia adalah puisi. Puisi adalah cinta yang
bersarang di bibir anak muda yang tengah menggenggam tangan kekasihnya dengan
erat di suatu malam minggu yang pengamen-pengamen selalu mengganggu kemesraan
mereka. Puisi, ilusi seorang penyair. Puisi, rekaman sejarah tentang yang
entah-entah!
Puisi; kata-kata yang bagai bara di kursi para penguasa.
Puisi, sebuah pestol berpeluru ganda, menembus dan mengoyak jantung seorang
diktator kelas kakap. Puisi, renungan seorang napi yang termenung memandang
purnama melalui celah-celah besi di jendela yang tak sanggup mengurai udara.
Puisi, menarilah ia di kitab tuhan, di sela-sela ayat-ayat, surat-surat,
juz-juz, dan doa-doa. Puisi, pohon kaktus yang tak kenal bau musim. Puisi, oase
di sebuah gurun tandus. Puisi, lebih dan akan senantiasa lebih dari sekedar
rumus!
Puisi, ah, pusi, surga dan buah khuldi dan ampunan ilahi.
Puisi, lebih dulu meluncur dari mulut tuhan menjadi kun fayakun; dan yang tiada
menjadi ada, yang bukan puisi menjadi puisi. Puisi, beralamatkah ia di
semuanya?
Kairo, 2014
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar