Pages

Empat Kesalahan Terminologis ‘Tuhan Membusuk’: Diskursus Fundamentalisme dan Kosmopolitanisme



Belakangan ini, dunia akademik kembali goncang dengan beredarnya foto spanduk “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan”. Tema yang diusung oleh senat Mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya dalam acara Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) itu memunculkan banyak tanggapan, hujatan, maupun cacian dari berbagai pihak. Paling gencar, hujatan datang dari media sosial yang dengan cepat memosting spanduk itu dan meresponnya.

Jika kita masih ingat, sesungguhnya, apa yang dilakukan oleh Senat Mahasiswa Ushuluddin itu membangkitkan polemik purba. Polemik islam liberal yang serba kontroversial dan sarat tanda tanya. Hal seperti itu hanya dilakukan oleh segelintir orang, namun menjadi konstitusional karena memakai nama sebuah institusi. Lagi-lagi, almamater yang jadi korban; lagi-lagi, institusi yang memakan getahnya.

Tapi tak adil rasanya jika kita menghujat dan menolak tanpa menyebutkan kesalahan terminologis ‘Tuhan Membusuk’ itu.

Ulil Abshar-Abdalla pernah menulis sebuah artikel di Kompas yang berjudul: “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dan dikonter oleh mertuanya, Gus Mus dalam sebuah tulisan. Menurut Gus Mus, setidaknya ada empat kesalahan yang dilakukan oleh Ulil dalam tulisan itu. Saat Gus Mus ditanya oleh Andy dalam acara Kick Andy mengenai kritiknya atas tulisan Ulil, Gus mus berkata: “Yang saya kritik bukan isinya, tapi caranya.”

Gus Mus menyatakan pula, dalam tradisi pesantren, ada namanya Musyakalah. Musyakalah adalah membalas sesuatu dengan yang setimpal. Dalam upaya menyerang kaum fundamentalis, Ulil menggunakan kritik yang kurang lunak dan dilakukan di waktu yang kurang tepat. Kebenaran kadang menjadi garing jika tidak diletakkan pada tempat dan waktu yang sesuai.

Dalam pada itu, berkaitan dengan spanduk kontroversial di atas, ada setidaknya empat kesalahan yang menimbulkan hujatan dari berbagai pihak yang merasa tersinggung dengan redaksi ‘Tuhan Membusuk’ itu. Empat kesalahan itu adalah sebagai berikut:

Pertama, redaksi itu ditempatkan tidak pada waktu dan tempat yang sesuai sehingga bisa menimbulkan fitnah. Tema ‘Tuhan Membusuk’ dirasa terlalu keras dalam hal penuturan. Dan secara leksikal, tak ada kesan lain yang ditimbulkan dari redaksi itu selain menghadirkan kontroversi atau fitnah. Sahabat Ibn Abbas R.a. pernah berkata: “Jangan bicara di depan kaum yang akal mereka tidak bisa mencerna pembicaraanmu. Sebab, hal itu akan mendatangkan fitnah di antara mereka”.

Tema itu disampaikan pada masa orientasi mahasiswa baru. Dari sini kita bisa tahu, titik lemah tema itu adalah pada ketidak-sesuaiannya dengan objek atau sasaran. Tidak semua mahasiswa yang datang dalam acara itu bisa memahami redaksi ‘Tuhan Membusuk’ secara baik. Alhasil, yang dituai dari tema itu adalah kerancauan redaksi dan kelemahan pemilihan diksi. Dalam bahasa sederhana, mereka terlalu ‘sembrono’ dalam memilih kata.

Kedua, spanduk itu membangkitkan lagi ingatan kita akan banyaknya mahasiswa Universitas Islam yang justru menghancurkan islam dari dalam. Kita tentu ingat pepatah yang mengatakan: “Satu musuh di dalam benteng lebih berbahaya ketimbang seribu musuh di luar benteng”. Inilah potret ketergesa-gesaan para aktivis kampus dalam memahami suatu terminologi dan situasi. Boleh jadi mereka pandai dalam memaknai suatu redaksi tapi mereka tak begitu pandai melihat situasi dan kondisi masyarakat tempat mereka tinggal.

Kita masih ingat, mahasiswa UIN Bandung pernah membuat ungkapan “Anjungku Akbar” dan “Area Bebas Tuhan”. Kita tentu masih ingat, jurnal Justisia IAIN Walisongo Semarang pernah secara gamblang mengkritik al-Qur’an dalam beberapa artikel yang dimuat di dalamnya. Kita juga masih ingat, salah satu dosen di UIN Surabaya secara terang-terangan menginjak lafal Allah dalam beberapa kesempatan saat mengajar di depan mahasiswanya.

Semua ingatan itu menjubel lagi; menghadirkan polemik ke tengah-tengah masyarakat. “Tuhan Membusuk” barangkali lebih keras dibandingkan “Tuhan Sudah Mati” miliknya Nietzche. Membusuk artinya lebih dari sekedar mati. Tuhan sudah mati, dan membusuk di sana. Secara etimologi, kaitan antara ‘Tuhan Membusuk’ dengan ‘Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan’ juga kurang sesuai. Salah seorang mahasiswa yang bertanggungjawab atas spanduk itu menuturkan bahwa islam di Indonesia telah diwarnai dengan aksi saling kafir-mengkafirkan antar satu golongan dengan golongan yang lain. Dengan demikian, nilai ketuhanan telah membusuk di dalam tubuh umat islam.

Mengaitkan antara nilai ketuhanan yang membusuk dengan Tuhan Membusuk sangat tidak bijak. Mereka kurang memperhatikan pemilihan kata; antara kata benda dan kata sifat. Akibatnya, muncullah kontroversial di antara masyarakat awam yang pada akhirnya mengorek lagi ‘ingatan lama’ mengenai kelakuan oknum-oknum akademik islami yang justru terkesan memperburuk citra islam meskipun tujuan mereka baik. Seharusnya, tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara dan sarana yang baik dan benar.

Ketiga, penggagas Islam kosmopolitan seperti Gus Dur tak pernah mewartakan membusuknya Tuhan dalam pengertian yang dipahami oleh para Senat Mahasiswa Ushuludin itu. Gus Dur, tak pernah mengatakan perihal Tuhan yang Membusuk ketika mengembangkan pemikiran multi-kulturalisme-nya, sekalipun dalam bukunya yang berjudul: “Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan” yang diterbitkan oleh The Wahid Institute pada tahun 2007. Buku itu justru sangat menghargai pemahaman orang lain. Sikap menghargai inilah yang seharusnya ditransformasikan oleh pihak yang mengaku aktivis islam kosmopolitan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

Rekonstruksi paham islam fundamentalisme memang perlu dilakukan, sejauh tidak dengan cara yang salah dan menodai kebebasan berpendapat. Bahkan jika pun seorang kosmopolis berlaku salah dengan menyalahkan kaum fundamentalis, apa bedanya mereka dengan yang mereka salahkan? Mereka masih terjebak dalam paham saling menyalahkan satu sama lain. Di sini, belumlah tumbuh sikap saling menghargai pendapat orang lain. Dengan demikian, nilai-nilai yang coba diajarkan oleh islam kosmopolitan jadi tidak terealisasi sesuai harapan, tersebab ketidak-mampuan pengikutnya untuk memahami nilai-nilai itu dengan baik.

Keempat, sikap geram akan mempersempit pandangan kita dalam melihat suatu objek. Mereka yang mengaku aktivis islam kosmopolitan seharusnya tidak berlaku geram dengan paham sebelah mereka, fundamentalisme. Sikap geram bisa menghadirkan berbagai sikap negatif, mengacaukan pikiran jernih, dan bisa membuat orang berlaku yang berlebihan. Gus Mus menyindir Ulil dengan ungkapan seperti ini: Kaifa yastaqim al-dzillu wa al-‘audu a’waj? Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkatnya bengkok. Bagaimana kita akan meluruskan jika kita sendiri kacau?”.

Jika maksud mereka adalah untuk amar ma’ruf dan bermaksud menunjukkan jalan yang mereka yakini benar, seharusnya mereka membaca tiga nasehat dari Imam Ghazali: Pertama, al-‘Ilmu; yang berarti harus mengetahui duduk masalah. Kedua, al-Wara’. Ketiga, Husnu al-Khuluq. Nasehat pertama dan kedua tak ada artinya tanpa nasihat yang ketiga. Hendaknya, membenarkan suatu perkara musti didasari dengan akhlak yang baik; menggunakan pendekatan yang tidak menyakiti hati lain pihak; menggunakan tutur kata yang sopan dan terdidik; menggunakan adab dalam berdebat dan berargumen; dan dengan menghargai pendapat orang lain.

Itulah empat kesalahan terminologi ‘Tuhan Membusuk’ menurut Mohamad S. Arifin. Semoga tulisan ini sedikit-banyak bisa memberi manfaat bagi para pembaca. Allahu A’lam.

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram