-Usman
Arrumy
Mantra Pembuka
Mendedahkan tinta,
melumerkan rasa, menitipkan makna pada penggal kata, itulah menulis. Ia adalah
kegiatan untuk meragukan sesuatu dengan berdasar keyakinan akan sesuatu.
Menulis adalah upaya uzlah dari
keramaian kata-kata menuju kesunyian rasa. Sebagaimana melukis, menulis berarti
melakukan reka ulang apa yang sudah ada dalam alam pikir, alam rasa, alam hati.
Apa yang kita pikirkan
belum tentu menggambarkan apa yang kita rasakan. Tapi, apa yang kita rasakan
tak pernah luput dari pikiran kita. Di sana, kita melihat menyatunya dua palung
diri manusia sebagai tabiat yang niscaya. Dua palung itu adalah rasa (syu’ur) dan pikir (fikr).
Rasa, membuka kemungkinan
sebuah dialektika antar-causa. Artinya, sebuah rasa tak mungkin meng-ada tanpa
bersinggungan dengan dua sebab yang melatari terjadinya perasaan. Dua sebab
itu, satu sama lain saling berkait-gandeng, berkerat-erat, dan menyatu-padu.
Dimungkinkan bagi adanya perasaan, sesuatu yang sesungguhnya tabu untuk
diungkap, sebab akan ada unsur privatif yang dijamah, dibredel, dan diungkap
secara gamblang serta blak-blakan.
Sesuatu itu adalah
kenangan.
Seno, pernah mengawali
cerpennya dengan kalimat seperti ini: “Terbuat dari apakah kenangan?”. Dalam
kalimat ini terdapat ketukan rasa yang amat berbeda di setiap pembaca. Hal ini
dikarenakan adanya pembacaan yang melemparkan pembaca kepada masa lalu (past) yang satu sama lain sama sekali
berbeda. Meskipun berbeda, namun pembaca, pada akhirnya, bertemu pada satu
titik yang sama. “Kenangan telah lampau terbuat. Tidaklah penting dari apa
kenangan itu dibuat. Yang justeru penting adalah aktifitas mengenang itu akan
menghasilkan apa”. (Pada kalimat inilah akan dibahas Usman Arrumy dan buku yang
lahir dari rahimnya).
Pikir, berfungsi sebagai
stabilisator kenangan dan rasa. Merasa tanpa berpikir sama dengan hewan.
Berpikir tanpa merasa sama dengan robot. Selain sebagai stabilisator, pikir
juga berfungsi sebagai kontrol diri yang simultan. Meski kontrol itu bersifat
gradual, tapi kita pantas merasa aman jika kita masih memiliki kecerdasan pikir
itu. Sebab, sepanjang pengamatan, merasa seringkali mendesak pikir, mendupak
dan mengusir kejelian tentang berbagai kenangan yang tersusun rapi dalam bagasi
memori.
Akan sangat mudah kita
deteksi, mana rasa yang benar-benar menjawab sapaan pikir dan mana yang tidak.
Kalimat yang mewakili perkara ini adalah: “Berpikir mereduksi alam kenangan.
Pun berpikir sama dengan meredifinisi makna kenangan dalam diri seseorang.
Pemaknaian ulang inilah yang akan menjatuhkan penyair dalam diri istilah yang
lahir daripadanya”. (Pada kalimat ini akan dibahas mengenai rahasia (M.A) yang
merah).
Usman; Diri dan Ketiadaan
Betapa suntuk penyair ini
bergulat dengan kenangan. Di hadapannya, ada hamparan kesangsian yang kian
marajai bahkan di semua bagian hidupnya. Baginya, kenangan kadang berbentuk
karunia yang tidak diakui. Baginya, kenangan adalah simbol dari takdir yang perlu
dirayakan.
Penyair ini, telah
melampaui diri dan ketiadaan. Pada entah di bagian mana, ia hampir sampai pada
kesimpulan yang purna tentang kenangan yang berhasil ia rekam dalam setiap
sajaknya. Ia seperti mendekat rapat-rapat serta kembali menjumpai kenangan itu
dengan berbagai kosekuensi yang bakal ia hadapi; pedih, perih, dan segala
kenyataan yang pernah merajamnya. Ia begitu saja merasa rela dengan ketiadaan
diri; melapuknya dinding-dinding masa depan yang akan ia takhlukkan dengan
sajaknya yang merekam seluruh kenangan. Ia benar-benar telah melampai
ketiadaan.
Bagaimana ia mendefinisikan
kenangan?
Kenangan adalah ikhtiar
untuk merekam tiap jejak dari takdir yang pernah ia alami. Lebih jauh, kenangan
menderu-deru melalui kepekaan ia merasai sebuah kedatangan rasa yang
terpikirkan dan pikir yang dirasakan. Pada ujung cerita, setiap yang pernah
menamakan dirinya kenangan, tersimpul mati pada tonggak sajak-sajak yang
terkumpul dalam buku Mantra Asmara.
Buku itu adalah hasil dari
aktifitas mengenang. Seperti yang telah lalu disampaikan, tidak terlalu penting
terbuat dari apa kenangan itu. Kenangan tetaplah dalam bentuknya yang asali,
terpecah, terserak, dan ia justeru tersusun dari aktifitas mengenang. Kenangan,
pada hal ini, berulang kali muncul dalam bentuk ratapan, rindu, tangis, tawa,
canda, dan semua anasir yang membungkus kepekaan manusia sebagai manusia.
Buku itu merupakan hasil
dari apa yang disebut ‘kasidah diri dan ketiadaan’. Kasidah ini telah lampau
dilantunkan dalam diri penyair dan telah mendahului ketiadaan yang bersifat
parsial. Manakala takdir membawanya ke puncak insiden, maka ia akan segera
menemui bentuknya yang majemuk. Bentuk majemuk inilah yang pada akhirnya
menjatuhkan pilihannya dalam kata-kata. Penyair, pada banyak masa, membentuk
kata dengan kasidah ini.
Sekali lagi, Mantra Asmara
adalah rekaman kenangan yang seringkali ajaib. Meski terkadang takdir
melaksanakan kehendaknya yang lain, kenangan tetap tak mampu menerima
perubahan. Ia ada dan mengada dalam diri dan ketiadaan sang penyair.
Tentang (M.A) dan Beberapa Rahasia
Setiap penyair memiliki
rahasia yang sengaja ia sembunyikan di antara puing-puing sajaknya. Pun pada
setiap huruf yang turut menjaga keruntutan makna. Tak terkecuali apa yang
terjadi dalam belantara sajak Mantra Asmara. Pada cover depan, kita telah
disuguhi begitu banyak tanda tanya. Bila boleh saya sebutkan, kira-kira
pertanyaan tersebut seputar berikut ini: Pertama, apa maksud dari judul Mantra
Asmara? Kedua, apa maksud dari desain covernya yang bergambar wayang? Ketiga,
pada bagian judul, terdapat dua huruf yang berbeda warna yakni huruf M.A dalam
kata Asmara. Apa gerangan maksud dari pembedaan warna tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu
mempertebal kegelisahan pembaca. Di sana, pembaca disuruh mencari jawaban atas
pertanyan yang muncul. Meski diakui bahwa rahasia penyair seringkali susah
untuk ditebak, toh pembaca masih
mempunyai ruang untuk menafsiri dan menginterpretasi. Pada bagian inilah,
pembaca mengambil batu pijakan.
Rahasia-rahasia yang
diselipkan penyair merupakan hasil pikir yang mendalam. Setelah sebelumnya rasa
mewarnai kenangan dengan huruf dan kata. Pada bagian rahasia, pikir
melaksanakan tugasnya. Rahasia akan sangat indah jika diletakkan pada
tempatnya. Seperti halnya saat penyair mulai meletakkan kata perkata pada
penggalan sajaknya. Diharuskan adanya ketepatan menempatkan kata agar nantinya,
rahasia-rahasia bisa diletakkan pula pada tempatnya.
Pada huruf M.A kita bisa
menebak berbagai kemungkinan rahasia yang dikandungnya. M.A barangkali adalah
inisial, barangkali adalah mantra, barangkali adalah seperti ayat mutasyabihat, barangkali adalah yang
lainnya. Dugaan itu bentuk-membentuk dalam diri pembaca, hingga pada akhirnya,
entah pembacaan akan berujung dengan penyimpulan atau pun tidak. Semua kembali
kepada pembaca. Yang jelas, penyair ini telah berani memberikan rumus yang akan
mengantarkan pembaca kepada makna dari rahasia-rahasia yang sengaja ia
rahasiakan.
M.A yang merah saga. Apakah
merah berarti darah? Dan karenanya akan bisa dimaknai dengan kesakitan?
Mantra Pamungkas
Betapa hasrat kadang bisa
meletup-letup dengan dahsyatnya. Dalam diri seseorang, hasrat menjadi semacam
penjara yang paling nyaman. Hasrat itu menemui kehendak. Dan kehendak menjadi
nyata dengan dialog antar ada-tiada. Yang pernah ada menjadi kenangan, yang
belum ada bisa ada akibat kenangan. Hasrat untuk mengenang terbukti telah
melahirkan sebuah karya yang bakal menjadi semacam pembacaan terhadap takdir.
Mantra Asmara dan Orang
yang melahirkannya merupakan bukti dari aktifitas mengenang. Taraf yang kita
bicarakan adalah tentang aksiologi, bukan ontologi dan atau epistemologi yang
masih berputar-putar pada puting ‘ada’ (being).
Benar adanya,
kenangan—bagaimanapun bentuknya, kerap mencirikan dirinya sebagai penggugah para
penyair untuk menulis. Bagi yang menganggap menulis adalah wujud dari kehendak
untuk mengabadikan kenangan, ia sebenarnya telah sampai pada kesimpulan tentang
dirinya sendiri. Meskipun, ia menyadari bahwa ia masih berkutat di dalam
penjara kenangan yang mengurungnya.
Kairo, 2014
Setelah membaca ulang catatan ini, saya tak menemukan apapun kecuali sebaris kalimat berikt:
BalasHapus" Aku tak lebih dari sekadar sendiri, Sul".