Entah secara tiba-tiba, di tengah menderunya pikiran yang
koyak-moyak memikirkan yang seharusnya tidak musti dipusingkan, saya teringat
tentang ‘memaafkan’—yang bagi saya, belakangan ini, serasa sangat sakral dan
bersifat nir-realitas (meskipun dianggap realistis).
Pada satu kesempatan, entah di kali apa, kata ‘memaafkan’
didefinisikan sedemikan tidak wajar oleh seseorang yang entah (saya memang
benar-benar lupa siapa ia). Tapi, subjek saya rasa menjadi tidak penting pada
suatu waktu; tentu hal ini tak bermaksud mewartakan perihal kematian subjek.
Justreru yang bisa dibilang tersirat adalah bahwa cara subjek itu memaknai
‘memaafkan’ sebagai sesuatu yang lain, yang barangkali, pada satu kesempatan,
bisa dikatakan tidak membumi dan tidak manusiawi.
Analogi sederhana dari upaya mendefinisikan memaafkan
dengan cara yang lain adalah seperti analogi pemberian cahaya oleh matahari
kepada bumi. Matahari tak pernah bermaksud apa-apa dalam memberi. Memberi maaf,
seperti yang kita pahami dan kita praktikkan, adalah memberi maaf yang
mengandung maksud dan tujuan. Dikatakan oleh seseorang yang saya sebutkan di
atas, bahwa pemberian maaf semacam ini adalah pemberian maaf (memaafkan) yang
tidak benar-benar dan serius.
Memberi maaf, katanya, adalah upaya tanpa tujuan dan
tanpa imbalan apapun. Ketika ada seseorang yang memaafkan kesalahan orang lain
seraya berkata: “Aku memaafkanmu, tapi lain kali jangan kau ulangi kesalahan
itu.” Pernyataan ini, menurutnya, bukanlah pemberian maaf, karena masih
terdapat motif di dalamnya. Penyertaan motif inilah yang akhirnya menganulir
kata ‘memaafkan’. Memaafkan menjadi semacam barang kesepakatan yang mengandung
unsur untung-rugi, berkisar pada kegunaan, dan bersifat utilitarian (bertuajuan
terhadap sesuatu).
Pemikiran dan praktik semacam inilah yang menjadi objek
kritik dari seseorang itu.
Tapi selain bahwa saya mengamini apa yang diungkapkannya,
peristiwa dan pengalaman, toh pada akhirnya harus saya libatkan dalam
hal ini. Saya sadar betul bahwa terkadang, ada satu sisi dari pemikiran
seseorang yang kita amini, dan ada satu sisi yang kita marjuhkan (kita
anulir dan kita tolak). Terkadang pula, secara selintas, ketika kita mendapat
penawaran baru mengenai suatu hal, kita mudah terpesona dengan sesuatu baru
itu, namun pada kesempatan yang lain, kita menjadi lebih kritis terhadap apa
yang kita kagumi tersebut. Saya menyebut hal kedua ini dengan ‘kesepakatan
temporal’.
Kesepakatan temporal inilah yang saya alami sekarang.
Mendengarkan lagi serta menelaah lebih dalam pemaknaan ulang terhadap
‘memaafkan’, melemparkan pikiran saya kepada Tuhan. Ada banyak ayat dalam
al-Qur’an yang secara eksplisit menyitir kata memaafkan (atau dalam bahasa lain
mengampuni). Seperti QS:02:199 yang menyebutkan bahwa Allah maha pengampun lagi
maha penyayang.
Lantas bagaimna Allah mengampuni? Apakah tanpa syarat dan
tanpa sebab?
Dua jawaban ini akan menjadi tolok ukur tercapainya
maskud saya nanti. Pertama, jika Allah maha pengampun, dan jika
ampunan-Nya tak terbatas dan bahkan melebihi nalar kita, maka apa fungsi dari istrighfar
(permohonan-ampun) dari seorang hamba sementara pada satu sisi Tuhan pun
memerintah hambanya yang melakukan kesalahan untuk memohon maaf. Seperti dalam
QS:04:106. Kedua, jika ampunan Tuhan bersyarat dan ke-bersyarat-an itu
dihubungkan dengan seorang hamba, maka bagaimana fungsi QS:02:199 sementara
ampunan yang terbatas adalah hanya milik makhluk bukan khalik.
Lalu seperti apa langkah kita untuk mengurai kontradiksi
di atas?
Kasus pertama adalah pemikiran orang yang terkesan
membatasi rahmat dan ampunan Tuhan, sedangkan kasus yang kedua terkesan
menyepelekan ampunan Tuhan sehingga berdampak pada sikap sembrono. Kasus
pertama kontras dengan pemikiran seseorang yang saya bahas di muka. Sementara
kasus kedua menjustifikasi Tuhan sebebas yang kita mau.
Langkah yang bisa kita tempuh adalah dengan metode
dialektika. Dialektika, seperti yang dibawa dan dipopulerkan oleh Hegel, adalah
upaya mendamaikan tesis dan antitesis. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
dengan menunda konflik antara tesis dan antitesis. Kita kesampingkan dahulu
konflik atau pertentangan antara kedua kasus di atas. Hal kedua adalah dengan
menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis. Artinya, kita tak
memungkiri, secara emosional dan intuisi, kedua kasus di atas sama-sama terjadi
dan masuk akal. Maka, kita simpan dulu elemen kebenaran dari kedua kasus
tersebut. Hal ketiga adalah dengan mengunggguli perlawanan dan meninggikan
konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.
Konflik yang terjadi dalam dua kasus di atas adalah
seperti ini:
Antara pengampunan Tuhan yang bersyarat dan pengampunan
Tuhan yang tak bersyarat meluruskan jalan perspektif kita mengenai
kontradiksi-leksikal. Pengampunan Tuhan yang bersyarat mengandaikan adanya
pencapaian kesalehan sosial dan individu. Jika tanpa memohon maaf kepada Tuhan
dosa kita sudah diampuni, lantas fungsi dan bukti dari kesalehan kita ada di
mana? Kehidupan akan kocar-kacir dan tanpa kendali jika demikian adanya.
Pengampunan Tuhan yang tak bersyarat mengandaikan
kebesaran dan keluasan Tuhan itu sendiri. Tuhan yang demikian, menurut mereka,
adalah Tuhan yang tak bergantung dengan seorang hamba. Ia adalah Tuhan yang
benar-benar menjadi ‘yang-lain’. Upaya pembatasan ampunan Tuhan hanya akan
memunculkan kesan bahwa Tuhan lemah dan butuh permohonan-ampun dari seorang
hamba yang melakukan kesalahan untuk mengampuni.
Kebenaran tendensi dari kedua kasus di atas kita simpan
dahulu untuk kemudian akan kita munculkan sintesis; kebenaran yang lebih
tinggi. Dan hal ini bisa ditempuh dengan penyatuan antara kedua kasus di atas.
Begini:
Kasus pertama, kita ulangi lagi pelafalanya: ‘ampunan
Tuhan adalah bersyarat’; ‘ampunan Tuhan yang bersyarat membatasi sifat ghafur-Nya’;
sementara jika dikatakan ampunan Tuhan bersyarat, Tuhan juga punya sifat yaf’alu
ma yasya’: melakukan apa yang ia kehendaki. Maka, ‘ampunan Tuhan yang
bersyarat tidak membatasi sifatnya karena ia tetap bebas berkehendak’. Inilah
sintesis; kebenaran yang lebih tinggi.
Kasus kedua, kita ulangi lagi pelafalannya: ‘ampunan
Tuhan adalah tak bersyarat’; ‘ampunan Tuhan yang tak bersyarat memangkas fungsi
istighfar’; sementara dikatakan bahwa perintah Tuhan kepada hamba untuk
beristighfar, memohon ampun, adalah sebagai bukti kemurnian dari perintahnya
yang tanpa paksaan dari siapapun. Maka, ‘ampunan Tuhan yang tak bersyarat tidak
menganulir fungsi istighfar sebab Tuhan sendiri senantiasa tak diatur
dan justeru mengatur’. Inilah sintesis; kebenaran yang lebih agung.
Syahdan, saya tiba-tiba tersadar dan mendapati diri saya
tengah menyelesaikan tulisan ini. Dan ketika saya membaca ulang tulisan ini,
saya menyadari bahwa: ampunan manusia memang berbeda dengan ampunan Tuhan;
kehendak manusia memang berbeda dengan kehendak Tuhan; kekuasaan manusia memang
berbeda dengan kekuasaan Tuhan. Maka, dengan menyadari yang demikian, saya jadi
lebih pantas mengatakan: “Maafkan jika dalam tulisan ini banyak sekali
kesalahan.” Dan pembaca jadi sangat pantas mengatakan: “Saya maafkan, asalkan
tulisan ini diperbaiki lagi.” Bukankah hal ini indah?