Aku ingin melepaskan diri dari yang pasti,
dan memastikan diri pada yang lepas.
—M.S. Arifin
Sebagian dari kita, sadar atau tidak sadar, pernah
merasakan suatu keadaan yang begitu de javu. Keadaan seperti ini kita
rasakan seperti sebuah kemandegan situasi di sekitar kita. Semua jadi
serba pernah kita rasakan. Pada akhirnya, kita hanya akan menebak apa yang
mungkin terjadi (the impossible thing), mengharap
yang ada (being) dalam alam pikir (idea) kita menempatkan diri
pada kenyataan (reality). Hal inilah yang saya rasakan selepas membaca
pendahuluan dari buku Ibn ‘Arabi, sebuah kritik Metafisika Ketuhanan, yang
ditulis oleh penulis muda potensial, Muhammad Fayyadl. Secara tiba-tiba saya
merasakan ada yang menggelitik alam ide saya, menjadi sebuah ruang konsep
tentang apa yang akan terjadi. Lebih jauh, suatu ide (baca: ilham) hendak
merangkak mengganggu pikiran saya, kemudian meledak menjadi kata-kata, seperti
yang saya tuangkan di atas.
Saya kemudian memposisikan diri menjadi “Saya” yang
sesungguhnya. Yang dalam artian, saya menyadarkan diri bahwa apa yang ada dalam
alam pikir saya kadang bukanlah saya. Kata-kata dalam alam pikir saya ini
kemudian saya bahasakan, menjadi rangkaian huruf-huruf yang menjadi sebuah
kata, dan kata-kata itu terangkai menjadi kalimat. Dengan terbahasakannya alam
pikir saya ini, maka memunculkan peluang untuk mengkritisi. Hal ini pernah
terjadi dalam sejarah perkembangan filsafat Yunani, yang dimulai dari dongeng,
kemudian dongeng itu ditulis oleh sastrawan, sehingga memunculkan peluang untuk
mengkritisi dongeng tersebut karena ia telah terbahasa-tuliskan.
Pertanyaan besar muncul: benarkah statemen alam pikir
saya ini? Baik, saya akan menjawab pertanyaan ini menggunakan pendekatan yang
struktural: Pertama, kalimat: “Aku ingin melepaskan diri dari yang
pasti”, mungkin akan menjadi ambigu bila saja kalimat ini tidak dipenggal dan
menjadi satu kesatuan dengan kalimat selanjutnya. Tetapi, akan lebih adil kalau
saya mengulasnya satu persatu kemudian, pada gilirannya, akan memunculkan
pendapat baru tentang kalimat yang utuh itu. Kata yang paling misterius dari
rangkaian kalimat itu adalah ‘yang pasti’, sebab kata ini akan memunculkan
banyak takwil (interpretation).
Kata ‘yang pasti’ yang dimaksud adalah Tuhan, sebab di
dalam dunia yang serba maya ini, pemegang hak kepastian adalah Tuhan. Ini
mungkin terkesan beraliran jabariyyah, tapi tunggu sebentar, argumen
tentang ‘yang pasti’ ini saya kompromikan dengan pendapat Thomas Aquinas
tentang kausalitas. Benarkah di dunia ini ada ‘yang pasti’? Saya rasa tidak!
Seperti sebuah contoh: api bersifat membakar. Apabila api didekatkan dengan
kertas, misalnya, maka kertas itu pasti terbakar. Inilah hukum kausalitas yang
dianut oleh filsuf-filsuf paripatetik
zaman klasik. Dari contoh ini, apakah bisa dicapai kesimpulan bahwa api
bersifat ‘pasti’ membakar? Jawabannya
tentu saja tidak kalau dilihat dari kaca mata al-Ghazali. Al-Ghazali dengan
tegas menolak ke-universal-an hukum kausalitas sebab ia meyakini tidak adanya
kekuatan pada benda-benda (api, dalam contoh) selain karena kehendak Tuhan.
Pendapat ini senada dengan Thomas Aquinas yang menolak
hukum kausalitas. Kalau api merupakan sebuah ‘sebab’ dan sifat ‘terbakar’
adalah akibat maka akan muncul ketidak-berhentian dalam kausalitas. Dan
ketidak-berhentian itu akan memunculkan daur dan tasalsul, yakni
ketidak-terputusan. Dan daur dan tasalsul tidak logis menurut
akal. Sehingga harus ada penyebab awal, yakni Dzat yang Mutlak, Tuhan
yang Maha Pasti. Jadi, begitu jelas, ‘yang pasti’ hanyalah Tuhan yang
menciptakan kepastian dan memastikan kepastian.
Setelah mengurai tentang ‘yang pasti’, mari kita mengurai
keseluruhan kalimat itu. Bisakah ‘aku’ melepaskan diri dari ‘yang pasti’? Ini adalah
pertanyaan mendasar yang kontroversial. Aku dalam kalimat itu ingin
melepaskan diri dari Tuhan. Tuhan di sini adalah tuhan yang konseptual, yang
mana telah dirumuskan oleh para teolog. Tuhan para teolog, menurut Ibn Arabi,
adalah Tuhan kepercayaan (ilah al-mu’taqad), Tuhan yang dipercayai (al-ilah
al-mu’taqad), Tuhan dalam Kepercayaan (al-ilah fi al-i’tiqad), Tuhan
yang dipercaya (al-haqq al-i’tiqadi), Tuhan yang dalam kepercayaan (al-haqq
alladzi fi al-mu’taqad), dan Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan (al-haqq
al-makhluq fi al-i’tiqad). Tuhan yang telah disebutkan di atas merupakan
tuhan konsepsional, dalam pandangan Ibn Arabi, bukan tuhan yang sebenarnya.
Maka bukan bermaksud menganut wahdat al-wujud, ‘aku’ dalam kalimat itu
ingin melepaskan diri dari kungkungan dogma yang menghadirkan Tuhan yang
absolut dalam dunia yang absurd. Sehingga realitas diri melebur bersama Tuhan,
yang dalam istilah Ibn Arabi adalah al-ilah al-majhul.
Kedua, “Aku ingin
memastikan diri pada yang lepas”. Setelah mengetahui penjelasan kalimat
pertama, maka akan sangat mudah menjelaskan kelimat kedua ini. Kata ‘yang
lepas’ tentu adalah tuhan itu sendiri, yang bersifat transedental, yang tidak
menempati ruang dan waktu. Tuhan sebagai ‘yang lepas’ adalah tuhan yang luput dari
pendekatan ma’rifat, sebuah pendekatan yang melepaskan diri dari ilmu
kalam yang dogmatis dan doktriner. Tuhan ‘yang lepas’ dari para teolog yang
mana mendasarkan keimanan mereka kepada kungkungan polemik adalah tuhan yang
sebenarnya. Yaitu tuhan yang tak terdefinisikan, yang lepas dari kata dan
kalimat, yang mutlak (absolut) dan bukan Tuhan yang dalam akal kita.
Untuk memastikan diri pada ‘yang lepas’, Ibn Arabi
menggunakan pendekatan non-teologis, atau lebih dikenal dengan teologi negatif.
Yaitu bertuhan yang didasarkan pada pengelanaan spiritual tertentu, sehingga
bisa menemukan tuhan tidak melalui konsep tetapi tuhan yang tidak terkonsep itu
melebur dengan diri sehingga bisa disebut wahdat al-wujud. Pendek kata,
‘aku’ yang mana ingin memastikan diri pada ‘yang lepas’, telah memijakkan kaki
di jalan lain yang tidak dilalui oleh para teolog, jalan yang berpangkal pada
realitas tuhan, realitas yang diatas realitas. Allahu A’lam.
Semarang, 09 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar