-buat
Sutardji Calzoum Bachri
Puisi Sutardji bertajuk ‘Luka’ adalah puisi
terpendek yang pernah saya temui. Presiden penyair ini, yang menurut H.B.
Jassin adalah merupakan pemarkarsa sebuah gaya berpuisi yang baru sama sekali,
dengan jargonnya yang terkenal: mengembalikan kata pada makna aslinya, menulis
puisi yang bagi sebagian orang dikatakan sembrono dan terkesan main-main.
Bagaimana tidak? Simaklah puisi bertajuk ‘Luka’ berikut:
Luka
ha ha
Hanya ada ada tajuk ‘Luka’ dan empat huruf ‘ha ha’
dengan dua huruf yang sama ‘h’ dan ‘a’. Barangkali entah, pikiran kita mungkin
tak semena-mena bisa spontan menjangkau maksud dan makna dari puisi itu. Tapi,
jika kita mau lebih detail dan teliti, puisi ini bisa begitu hebat dalam hal
bertutur maupun kandungan amanatnya.
Puisi yang bertahun 1976 itu—yang tak tahu pada
posisi dan keadaan apa penulisnya menuliskannya, termaktub dalam antologi
berjudul “Amuk” (Sajak-sajak tahun 1973-1976). Termaktub pula di dalam antologi
“O Amuk Kapak”. Dari sekian puisi, puisi inilah yang paling menyita perhatian
saya. Itulah kenapa saya tertarik untuk menuliskan catatan mengenai apa yang
saya pahami tentang puisi ini. Catatan ini bukan bermaksud memberi kesimpulan.
Bagai sebuah pecahan, catatan ini tak mungkin utuh tanpa catatan-catatan yang
lain.
**
Luka. Bagaimanapun, apa yang kita pahami tentang
luka adalah berbeda satu sama lainnya. Namun, kita akhirnya menemui setidaknya
kesepakatan yang tanpa sengaja kita sepakati: luka adalah sakit. Puisi itu,
dengan tajuk yang itu, seakan mau menganulir apa yang kita sepakati barusan.
Luka bukan berarti harus menemui sublim kesepakatan berupa kesakitan atau
kepedihan.
Terbukti dengan empat huruf yang menjadi isi dari
puisi itu: ha ha. Lebih dekat, ha ha kita maknai secara tekstual
dengan makna kebahagiaan. Sebab, ia ha ha adalah tawa yang mana ia
merupakan sebuah simbol dari kebahagiaan. Jika disimpulkan secara tergesa, maka
kita akan menemui hal semacam ini: luka, kadang malah membuat kita bahagia.
Tapi kesimpulan itu terlalu tergesa-gesa. Kita
masih punya lagi beberapa hal yang barangkali akan mendasari kesimpulan yang
sama sekali lain atau barangkali malah menguatkan kesimpulan yang tadi.
Meskipun merupakan sebuah simbol, ha ha di
situ menyiratkan pula arti yang sangat artistik. Artistik berkenaan dengan
pemaknaan kita terhadap ketidak-biasaan mengambil sikap jika sedang dihadapkan
pada ‘Luka’ atau kesedihan/kepedihan. Jika luka adalah akibat dari sebab-sebab
yang menguntit sebelumnya, maka kita juga mempunyai respon terhadap sebuah
sebab itu. Dan respon itu bersifat ikhtiari (pilihan).
Kita boleh saja memilih respon yang positif (ijabiy)
atau respon yang negatif (salbiy). Ketika pada suatu waktu kita pada
akhirnya harus memilih apa yang tak ingin kita pilih, atau dengan kata lain,
kita tak punya pilihan, semisal kita dihadapkan dengan hanya pilihan untuk
terluka dan bersedih, maka kita layak mengembalikan kesemua itu kepada sebuah
pemahaman yang positif pula. Kadang, apa yang kita tak sukai (dalam hal ini
berupa kesedihan) adalah sebuah kebaikan. Seperti apa yang tertera dalam QS:02:216.
Sutardji, dengan puisinya ini, hendak bertutur jauh
melampaui apa yang bisa dikatakan oleh kata. Puisinya yang kebanyakan sarat
akan ajaran sufistik membawa pembaca ke dalam jauharul ma’any (inti dari
makna). Meskipun seringkali, makna itu sesara begitu jauh dari teks puisi
bersangkutan.
**
Jika bisa dikatakan puisi ‘Luka’ itu adalah puisi
yang serenyah roti, maka tak ada salahnya kita meremahnya dengan sangat
hati-hati dan dengan takaran olesan sandwich yang pas. Luka di sini bisa pula
kita maksudkan seperti saat kita meremah roti dengan olesan sandwich. Saat kita
meremah roti dengan olesan sandwich itu, kita tak akan lebih jauh menyadari
kenapa tekstur roti yang menyumpal mulut kita waktu itu tidak sekasar ketika
kita memakan krupuk.
Pemahaman yang demikian seperti sebuah upaya
mengetengahkan ketidak-sadaran yang kita sadari. Puisi ‘Luka’ yang dengan
tekstur jenaka sekaligus tragis itu kita remah dan kita kunyah begitu saja
tanpa berpikir lebih jauh kenapa puisi itu bisa hanya dengan uslub
(tekstur) yang seperti itu. (Tentunya dengan membandingkannya dengan puisi yang
lain, yang lain pula dalam uslub/tekstur).
**
Kejenakaan yang tragis. Inilah kenapa kita bisa
sangat terhenyak waktu membaca puisi ‘Luka’ itu. Luka kadang bisa sangat jenaka.
Luka pada satu giliran bisa menjadi semacam parodi yang kita mainkan dan kita
nikmati sendiri. Dan bagai melihat dalam cermin, kita dan bayangan kita di
dalamnya akan menirukan gerakan dan mimik kita. Pun ketika kita tertawa
mensyukuri luka: ha ha. Luka.
Kairo, 2014
SCB Nggak ada duanya emang
BalasHapus