Pages

Kepercayaan dan Lagu Nina Bobo


  -buat m.n.u

Nina bobo
Oh nina bobo
Kalau tidak bobok
Digigit nyamok

Saya tak pernah ditembangkan nina bobo oleh ibu saya waktu kecil. Atau mungkin saya sudah tak ingat lagi apakah saya pernah ditembangkan lagu itu. Tapi terlepas dari pernah tidaknya, saya, dan mungkin semua orang yang pernah menjadi anak kecil, dijamin percaya dengan lagu itu. Lagu itu hanya sebuah titik tolak dan amsal dari kepercayaan yang lugu dari anak kecil.

Angan saya terlempar jauh ke sebuah masa waktu kecil dulu, betapa saya patuh dengan ibu saya hanya dengan ditakut-takuti sesuatu yang tak perlu ditakuti. Misalnya, waktu tenarnya sinetron Mak Lampir, anak kecil yang suka keluar malam dan bermain-main waktu malam mendadak tak berani keluar ketika meraka ditakut-takuti oleh ibu mereka bahwa ketika mereka keluar malam, mereka akan diculik oleh Mak Lampir dan dijadikan makan malam oelehnya.

Kami begitu saja percaya. Kami berlindung di bawah ketiak ibu kami sepanjang malam sambil sesekali terbangun dan bermimpi buruk diculik oleh Nyi Lampir dan dijadikan makan malam olehnya. Kepercayaan itu tak begitu sulit kami dapatkan. Seolah hanya dengan satu ucapan yang bernada menakuti, kami tak perlu lagi menggunakan otak untuk berpikir bahwa sesuatu yang dijejalkan kepada kami itu adalah hayalan dan mitos belaka.

Saya telah beranjak dewasa. Ingatan tentang masa kecil, pada suatu kali, memberi saya pengertian baru. Otak manusia berkembang dan tahayul dan mitos tergerus masa. Kini, untuk membangun sebuah kepercayaan saya harus membangunnya dari hal-hal yang rasional. Atau kalau tidak, saya harus, paling tidak, merasakan suatu peristiwa yang mengantarkan saya pada kesimpulan yang mana kesimpulan itu akan membangun kepercayaan saya.

Nilai juang seperti ini kadang berdampak positif. Tapi sering juga berdampak negatif. Manusia jadi lebih sering menyandarkan sesuatu pada rasio dan meninggalkan selainnya. Padahal tak semua yang rasio itu nyata dan tak semua yang tahayul itu tidak terjadi. Saya mengalami kejadian yang merobek rasio saya. Dan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, seorang perempuan yang menanggalkan rasionya demi keutuhan sesuatu yang jauh dari rasio: cinta.

Cinta menjangkiti wanita itu. Bukan dengan rasio ia melihat dunia melainkan dengan hati dan ketabahan jiwa. Ia wanita yang sangat tidak biasa. Ia tak pernah mewartakan karma meski ada lelaki yang menyakiti hatinya. Ia adalah perempuan dengan hati baja. Keyakinannya mendarah bukan karena ia telah dewasa dan bisa berpikir rasional. Ia tetap menyandarkan keyakinannya pada yang bukan rasio, dan mencantolkan kepercayaannya pada yang intuisi: cinta.

Barangkali ia pernah membaca Rumi, yang fasib bicara cinta dalam syairnya:

Luluhkan dirimu
Luluhkan dirimu dalam cinta
Ketika kau luluhkan dirimu dalam cinta
akan kau temukan segalanya

Ia luluhkan dirinya dalam cinta. Tak peduli sedalam apa ia sakit karenanya. Malamnya dihitamkan oleh cinta. Fajarnya diremangkan oleh cinta. Siangnya dicahyai oleh cinta. Sorenya diseluetkan oleh cinta. Ia wanita berkalung asmara dan bercincin cinta. Ia tahu kapan harus terluka dan ia tahu kepada siapa ia harus cinta tanpa terluka.

Saya tak tahu apakah pada waktu kecil dulu, wanita itu sering ditembangkan lagu nina bobo oleh ibunya. Dan saya rasa itu tak penting. Sebab yang menjadi penting adalah bahwa ia secara murni adalah merupakan wanita yang beda, yang melihat sesuatu bukan dengan mata. Mata seringkali menipu. Sering membiaskan yang bukan sebenarnya. Ia telah menyadari sepenuhnya menganai hal ini jauh sebelum saya menyadarinya kemaren. Ya, saya baru menyadarinya kemaren, dan wanita itulah yang mengajari saya. Saya berharap bisa memliki wanita itu dalam kehidupan di entah kapan. (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram