Lelaki yang pada akhir hidupnya gila itu ikut
bersuara dalam pemilu Indonesia. Nietzsche. Gagasannya mengenai Kehendak untuk
Berkuasa (der Wille zur Macht/Will to Power) menengahi laju politik di
belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Kehendak menggeliat di antara jutaan
rakyat, merambat melalui suara-suara penyeruan, dan melaju sebegitu cepat dan
kencang menerjang segala aspek kehidupan.
Kehendak melengkungkan busur panah, melemparkan anak panah kekuasaan ke target yang diinginkan. Pada satu waktu, dalam tradisi filsafat Schopenhauer, kehendak yang menjadi kekuatan manusia bagi filsuf ini harus dipadamkan demi mencapai kehidupan yang jauh dari penderitaan. Kehendak bagai bui. Kehendak bagai belati.
Tapi tidak bagi Nietzsche, kehendak itu justru sangat dibutuhkan, atau
justru selalu tampil di segala bidang kehidupan. Hidup, bagi Nietzcsche, adalah
Kehendak untuk Berkuasa. Kehendak haruslah tampil secara utuh dan penuh. Dalam
kasus ini, Nietzsche hendak membaca manusia dari segi manusia. Manusia yang
berkehendak, manusia yang menyadari potensi pada dirinya.
Indonesia 2014. Politik seperti demam. Menular. Menjalar. Membiak. Politik
2014 memberikan warna baru berkenaan dengan cara berpikir rakyat Indonesia yang
mengarah ke kedewasaan. Politik, tak pelak melibatkan Kehendak, kehendak untuk
berkuasa. Para pelaku politik, yang hibuk itu, yang berkoar-koar itu, tengah
mencoba menjadi manusia dengan berkehendak. Kehendak tentunya berbeda dengan
keinginan. Jika keinginan adalah keinginan yang tidak disertai ambisi, kehendak
lebih dari itu. Ia mengandung ambisi. Mengandung aksi riil untuk mewujudkan apa yang
dikehendaki. Pelaku politik sedang berkehendak untuk berkuasa.
Kehendak untuk Berkuasa memang terlalu sempit jika diidentikkan dengan politik.
Politik, seperti bagian dari kehidupan lainnya, adalah sebagian kecil dari jangkauan Kehendak untuk Berkuasa. Kehendak
untuk Berkuasa terjadi di aspek mana saja dalam kehidupan manusia. Tukang becak
memiliki kehendak ini, kehendak untuk berkuasa atas dirinya sendiri agar dapat
narik becak sepanjang hari. Tukang parkir pun demikian.
Kehendak untuk Berkuasa menghidupkan nilai. Dan nilai terasa diafirmasi
dengan label universal. Kehendak untuk Berkuasa memang hadir di setiap hidup
tapi dengan kemasan dan objek yang berbeda-beda. Pelaku polotik tentu berbeda
kehendak dengan pelaku modal usaha. Pelaku politik tentu berbeda ambisi dengan
pekerja serabutan. Area dan atau medan kehendak yang membedakan antara Kehendak
satu dengan yang lain.
Kehendak untuk Berkuasa merambat pula di dua calon presiden: Jokowi dan Prabowo.
Dalam ranah sebesar Indonesia, kehendak bisa sangat berbahaya. Secara kasat,
Jokowi, dalam beberapa kesempatan, tidak mengenakan jubah ambisi dalam
pemilihan presiden kali ini. Sementara Prabowo, dengan segala apa yang ia
tunjukkan kepada rakyat, jelas terlihat ambisi yang meledak-ledak untuk,
(katanya) membangun Indonesia yang lebih bermartabat di mata dunia.
Dalam kasus Jokowi, intensitas pemakaian kehendak tidak mendomniasi penuh.
Artinya, kehendak itu ditopang oleh ‘yang-lain’, yang berasal dari luar dirinya
(dalam hal ini partai PDIP). Menurut Nietzsche, kehendak semacam ini, kehendak
yang mencari keutuhan bukan tersebab dari internal melainkan eksternal, adalah
kehendak yang cacat. Erat kaitannya dengan moralitas yang pula dirumuskan oleh
Nietzsche menjadi dua bagian: moralitas tuan dan moralitas budak.
Moralitas tuan dan budak bukan berdasar status sosial melainkan berasal
dari dalam diri individu, pelaku sosial bersangkutan. Menurut Nietzsche,
moralitas budak bahkan bisa jadi disandang oleh mereka yang dalam masyarakat
berkedudukan tinggi. Begitupun sebaliknya. Moralitas tuan justru banyak ditemui
dari kalangan menengah ke bawah.
Membaca kasus Jokowi sama saja menelusuri beberapa hal. Pertama, jika
pembacaan Nietzsche atas moralitas budak bertolak pada alasan bahwa budak tidak
pernah bertindak dari diri mereka sendiri, maka hal ini menegaskan sesuatu yang
bisa jadi sangat mengejutkan di pihak pendukung Jokowi. Ambisi Jokowi untuk
menjadi presiden bukan atas inisiatif (baca: kehendak) dirinya sendiri.
Kedua, latar belakang Jokowi yang dari Jawa dan peranan “Neriman Ing
Pandum”. Entah ini prinsip atau apa, yang jelas hal ini memunculkan jargonnya
yang terkenal “Aku Orapopo”. Dan jargon ini mendapat sambutan positif dari
rakyat. Mereka menaruh harap pada sikap tenang dari Jokowi. Ia diharapkan bisa
berbagi Kehendak untuk Berkuasa dan berbagi ambisi membangun negeri dengan
mereka. Bukan secara pribadi.
Demikian juga, kasus Prabowo menempati kerangka yang unik. Ia tampil
membawa dirinya sendiri yang totalitas dalam berkehendak. Tapi ia juga tak menampik
adanya peran kehendak di luarnya. Kehendak yang semacam ini, pada satu waktu,
memang berdampak positif. Ambisi bisa menjadi positif asalkan masih dalam porsi
yang seimbang. Takarannya juga berimbang, sehingga tidak menjerumuskannya ke
dalam labirin egosisme semata. Pada satu waktu pula, kehendak yang demikian
bisa sangat berbahaya. Bisa sangat tidak berimbang jikalau kehendak itu terlalu
mendominasi dan menguasai. Asal dari kehendak bukan lagi kehendak yang dikuasai
melainkan kehendak yang menguasai.
Memang, kekhawatiran semacam ini bisa jadi berlebihan. Tapi tidak ada
salahnya jika rakyat bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bahkan sulit
sekali untuk diramalkan. Anggap saja, tanggapan ini merupakan upaya pembacaan
tokoh dengan dosis filsafat dan pemikiran yang sehat. Biarpun bersifat
spekulatif, toh tak ada salahnya spekulasi dalam hal argumentasi.
Menghadapi pemilihan presiden 2014, rakyat bebas berkehendak. Kehendak
untuk menguasai dirinya sendiri demi menentukan pemimpin bangsa dengan tidak
mengesampingkan kehendak orang lain. Mereka bisa berkehendak tanpa saling
berkelahi. Rakyat tengah menyaksikan perhelatan akbar yang melibatkan semua
elemen. Rakyat adalah objek sekaligus subjek. Membaca pemilu presiden, rakyat Indonseia
sedang dalam rangka aktualisasi (dalam terminologi Nietzcse) ‘Kehendak untuk
Berkuasa’ dan ‘Kebutuhan untuk Percaya’.
Kita nantikan siapa yang paling kuat kehendaknya dan siapa yang paling dibutuhkan
untuk dipercaya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar