-buat GM dan PAT
Entah Nelson Mandela entah Gus Dur, kami tak tahu mana yang musti kami
lihat sebagai nilai kepedulian yang mutlak kami akui dan kami anut. Dalam
pusaran sejarah kekelaman Orba, kami bukan palaku, kami juga bukan korban.
Kami, anak zaman ini, hanya mampu menyimak, membaca, dan mengikuti arus sejarah
yang dituliskan dengan tinta darah. Kami tak mengalami, kami tak berkecimpung,
kami tak menjadi apa-apa di sana; tapi kami ikut merasakan.
Setelah menyimak surat terbuka dari GM untuk PAT yang terbit di Tempo edisi
3-9 April 2000, ada arti yang melerai mimpi-mimpi kami di masa mendatang. GM,
dengan tendensi suci dan seolah tanpa dosa, berharap PAT menyikapi permohonan
maaf Gus Dur, selaku presiden, dengan kepala dingin. Ia mengajak PAT menyusuri
sejarah Afrika Selatan dengan tokoh panutan Nelson Mandela. Semuanya memang tak
semulus yang diperkirakan. Sejarah, dengan berbagai bentuk yang melatarinya,
seringkali meninggalkan bekas luka yang tak lapuk di timbun masa.
PAT bukan Nelson Mandela yang malaikat itu, yang memaafkan demi terciptanya
keselarasan bersama. Ia menolak untuk menerima permohonan maaf dari Gus Dur.
Katanya, Gus Dur hanya berbasa-basi, atau barangkali mengibuli. Dengan menyertakan
sedikit peristiwa di masa lalunya, ia mencoba membuat suasana menjadi tragis
dan menegangkan. Separuh hidup yang ia habiskan di penjara dengan tidak adanya
peradilan dan pengadilan atas apa yang bisa membuatnya diperlakukan demikian,
memang luka yang tak lapuk ditimbun masa. Memang. Tapi tak ada anjuran untuk
menerima atau menolak permintaan bagi orang yang seteguh itu memegang prinsip.
Prinsip? Ya, prinsip. Bagi PAT, bukan permintaan maaf yang seharusnya
dilakukan, tapi tindakan. Permintaan maaf hanya menunda kesakitan, bukan
menyirnakannya. Baginya, Gus Dur, atau lebih umum pemerintah, harus serius
mengusut dan mengadili pelaku sejarah yang biadab itu dengan peradilan dan
hukuman yang setimpal agar tercipta keadilan seperti yang dituangkan dalam
Pancasila. “Bukan pendendam”, katanya, “Saya justru kasihan dengan penguasa
yang sangat rendah budayanya...” Dan benar pula, PAT mengutuk budaya penguasa
yang rendah itu. Ia sangat kecewa dengan Indonesia yang tidak menghargai
dirinya sendiri.
GM dan PAT biarpun berselisih, mereka mengangkat tujuan yang sama—meski
dengan sudut pandang yang berbeda. Sakit bukanlah soal rekonsiliasi fiktif.
Penawaran GM kepada PAT sungguh bagi PAT menodai keadilan. Keadilan bukan
barang jualan. Bukan perniagaan. Keadilan tidak akan bisa dibeli dengan
permintaan maaf. Pemerintah harus bertindak bukan berucap! Barangkali, ucapan
maaf tak lebih bermutu dari tindakan yang meski tanpa ucapan perminta-maafan.
Begitulah.
Dan kami, anak zaman ini, tak bisa berhenti menyimak.
Seperti ketika kami dihadapkan dengan pemihakan atau tidak. Kami tak tahu
harus berpihak kepada siapa. PAT telah disengsarakan oleh ibu sendiri
(Indonesia) padahal ia telah menyerahkan seluruh jiwa-raganya untuk ibunya.
Karyanya, karya yang baginya tak bisa diganti dengan apapun, mendapat perlakuan
yang hampir sama dengannya: dibuang, dikucilkan, dan berusaha dilenyapkan. Sungguh,
karyanya justeru mendapatkan tempat di hati ibu tiri, ibu yang tidak
melahirkannya.
GM barangkali tidak melihat ini. Ia mungkin silau dengan cahaya ucapan maaf
dari Gus Dur dengan mengesampingkan derita berpuluh-puluh tahun yang dialami
oleh PAT. Tapi baginya, derita yang menempati masa lalu tak harus menempati
pula di masa kini. Gus Dur dan GM, bagi PAT, mungkin sama-sama didikan Orba dan
sama-sama berbasa-basi. Tidak ada waktu lagi berbasa basi. PAT membutuhkan
kepastian dari tindakan dibandingkan dengan ucapan omong kosong.
Gus Dur, PAT, dan Nelson Mandela telah mangkat. Mereka dikenang oleh anak
zaman ini dengan kenangan yang berbeda-beda. Pilihan memang mengharuskan mereka
melaju di posisi yang adakalanya: (i) diziarahi karya dan jasanya, (ii) diziararahi
pusaranya. Bisa jadi, sebelum mangkat ketemu mereka bertiga, GM pun punya
pilihan tersendiri mengenai hal ini. (*)
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar