Pages

Membaca Manusia


  -Studi QS Yusuf: 31

Dalam rangka memenuhi hasrat, manusia bisa saja melakukan semau kehendaknya. Manusia yang meletakkan kehendaknya di atas akal sehatnya, maka bisa diragukan, apakah ia masih pantas dianggap manusia, atau jangan-jangan ia tak ubahnya seperti binatang. Manusia semacam ini memilih hal yang terlihat mata (dzahir) sebagai sesuatu yang mutlak diperjuangkan. Seekor binatang, ketika lapar, kemudian melihat mangsanya, maka ia akan melakukan apa saja demi bisa memakan mangsanya tersebut. Usaha yang buta semacam inilah yang banyak melanda manusia dewasa ini sehingga terjadilah kemerosotan (degradasi) moral yang sangat akut.

Seorang Politisi, ketika matanya dibutakan oleh hal yang bersifat lahiriyyah, harta misalnya, maka akan sangat mudah ia membenamkan akal sehat dan nuraninya demi memenuhi nafsunya semata. Pemenuhan akan hawa nafsu semacam ini sesungguhnya telah menyakiti dirinya sendiri tanpa ia sadari. Ketidaksadaran ini bisa terjadi apabila ia terlalu terlena dan meletakkan apa yang indah di mata sebagai tolok ukur dalam menilai keabsahan sesuatu. Persoalan semacam ini, telah memunculkan banyak tanggapan, baik kalangan agamawan, maupun non-agamawan.

Kaum agamawan, islam contohnya, menyarankan agar persoalan yang pelik ini ditangani dengan meneladani kepribadian nabi dan salafussholih. Dengan demikian, lunturnya moral seseorang akan segera terbangun kembali ketika mengkaji sirah nabawi dengan seksama dan mengambil pelajaran (i’tibar) atau teladan (uswah) dari sana.

Begitu juga kaum non-agamawan, mereka mengembalikan permaslahan ini kepada kultur bangsa kita yang didasari oleh pancasila dan UUD 45, yang dengan gigih menyarankan pemenuhan hak-hak individu maupun kolektif. Sehingga terciptalah masyarakat yang bermoral tinggi.

Sebagai kitab suci, al-Qur’an tidak henti-hentinya memberikan pelajaran perihal kemanusiaan seperti halnya fokus kita kali ini. Fokus kali ini kita arahkan kepada pesan moral yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 31 yang terjemahannya berbunyi:

Maka tatkala ia melihatnya, mereka sangat kagum kepadanya dan mereka memotong tangan mereka seraya berkata, “Maha suci Allah! Ini bukanlah manusia! Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”

Bagian terpenting yang ingin digaris-bawahi di sini adalah terjadinya pemotongan tangan oleh para tamu wanita yang diundang Zulaikha untuk menyaksikan sang pemuda tampan, Yusuf. Membaca manusia yang terlena dengan apa yang dzahir, bisa teraktualisasi dalam ayat ini. Atau bahkan, ayat ini yang teraktualisasi pada keadaan manusia sekarang ini.

Untuk lebih jelasnya, kisah tentang Nabi Yusuf ini telah ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan sangat apik. Ia membagi surat ini berdasarkan kronologis cerita. Ia juga membagi kisah ini dalam bentuk episode-episode yang berjumlah sepuluh.

Kejadian seperti yang tertulis dalam ayat di atas, berawal dari desas-desus penduduk kota, terutama kaum wanita, yang membicarakan Zulaikha. Zulaikha (atau dalam al-Qur’an disebutkan Istri al-Aziz), menggoda bujangnya (Yusuf) untuk menundukkan dirinya (kepadanya). Dan penduduk kota menganggap Zulaikha ini telah sesat dengan mengatakan, “Sungguh kami benar-benar memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” (QS Yusuf: 30)

Pesan yang dapat diraih dari rangkaian ayat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa manusia senang sekali mengolok-olok orang lain sedang ia tidak mengetahui hakikat yang dia olok. Namun ketika ia berada dalam posisi yang sama dengan yang ia olok, maka akan membuka kemungkinan bahwa ia bisa saja melakukan apa yang pada mulanya ia olok.

Kedua, terlena pada hal yang dzahir secara berlebihan akan mengakibatkan hal yang membahayakan (madharat) pada dirinya sendiri. Seperti yang banyak kita saksikan akhir-akhir ini. Para pejabat negeri kita sudah sedemikian rupa tergoda dengan uang sehingga mereka melakukan tindak korupsi dan suap-menyuap dan menghalalkan segara cara agar keinginannya tercapai. Padahal hal yang demikian ini akan mengantar diri mereka sendiri pada hal yang tidak diinginkan (seperti ketika para wanita itu memotong tangan mereka sendiri tanpa sadar).

Dua pelajaran ini sudah sangat pantas kita beri perhatian lebih. Manusia yang hakiki adalah ia yang menyadari bahwa ia adalah makhluk yang tidak hanya bertautan dengan hal yang dzahir tetapi ia juga berkaitan erat dengan sesuatu yang ghaib, sesuatu yang indah dalam pandangan mata hati nurani. []

Semarang, 2013


Arif

2 komentar:

Instagram