WACANA gender[1] merupakan
wacana yang sangat hangat dibicarakan pada zaman modern ini. Adanya tuntutan
zaman, tuntutan kesetaraan yang digembor-gemborkan kaum feminisme, dan
diskursus penentang kesetaraan gender, melengkapi kehangatan pembahasan ini.
Metode kritis telah digunakan oleh para aktifis gender untuk membela
argumen mereka. Termasuk menggalang kekuatan untuk mengkritisi hadis-hadis
misogini (hadis yang membenci perempuan). Mereka meletakkan dasar kesetaraan
dengan memberi kritikan terhadap hadis tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
membalikkan paradigma tentang patriarki (semangat yang meletakkan lelaki di
atas perempuan).
Sedikitnya ada dua masalah yang melatar-belakangi munculnya kaum feminisme. Pertama,
semangat kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Kedua, semangat
kesetaraan kedudukan perempuan di mata masyarakat. Masing-masing dari kedua
masalah ini telah begitu meresahkan. Kesetaraan hak yang didikotomi oleh agama
menjadikan gerak perempuan seolah-olah menjadi terbatas. Perempuan seolah-olah
hanya selalu menjadi objek dari laki-laki. Mereka tidak diberi ruang untuk ikut
mengatasi problematika mereka sendiri. Bahkan, yang paling memprihatinkan,
perempuan, dalam teks-teks agama disinyalir sebagai sumber fitnah dan senjata
bagi setan.
Perempuan menghadapi
dua masalah yang mengakar kuat dalam masyarakat. Pertama, secara
teologis, dalam teks-teks keagamaan, perempuan masih diletakkan jauh di bawah
laki-laki. Gerak dan langkah mereka tidak bebas dan terkesan dibelenggu. Mereka
tertindas dan merana. Hadir di dunia hanya sebagai pelengkap semata. Kedua,
secara sosiologis, mereka belum diberi ruang untuk menunjukkan eksistensi mereka yang sejati. Masih
adanya pengucilan akan peran perempuan ini menandakan bahwa dalam struktur
kemasyarakatan, perempuan tak ubahnya seperti barang usang yang enggan dipakai
dan dimanfaatkan kecuali untuk menangani hasrat kaum lelaki.
Hal inilah yang mengganggu pikiran para feminisme seperti Fatima Mernisi.
Ia adalah seorang aktifis feminisme. Berkerja untuk membela hak-hak perempuan.
Bisa dibilang ia adalah sang pembaharu dan revolusioner. Ia bermaksud
membebaskan perempuan dari masalah yang telah saya sebutkan di atas. Teori
pembaharuan itu dinamakan teologi feminisme (theology of feminism).
Teori ini adalah sebuah langkah dekonstruksi kepercayaan yang bias kelelakian.
Keyakinan yang mengakar di dalam tubuh islam itu harus diperbaharui untuk
mewujudkan kesetaraan gender.
Dalam kerangka akademis, Fatima Mernisi berusaha mencari sebab adanya
ketidakadilan gender. Menurutnya, ada tiga persoalan yang melanggengkan
terjadinya ketidak-adilan gender. Pertama, perempaun menjadi penanggung
jawab tegaknya islam di rumah. Akibatnya, pendidikan perempuan sebatas untuk
bekal pembinaan keluarga. Kedua, dominasi laki-laki terhadap penafsiran
teks-teks keagamaan mengakibatkan hasil penafsiran banyak berpihak pada
kepentingan laki-laki. Ketiga, legitimasi teologis yang berpihak kepada
laki-laki.
Untuk mendukung pemikirannya, mernisi melancarkan kritik terhadap dua hal. Pertama,
bangunan budaya yang tidak memberi peluang bagi perempuan untuk beraktualisasi
dalam kehidupan sosial politik. Hal ini karena perempuan tidak diberi ruang
untuk beraksi dalam pentas kehidupan yang sebenarnya sehingga perempuan tidak
dapat menemukan jati dirinya dalam membangun potensi yang dimilikinya.
Kedua, kritik terhadap hadis-hadis mesoginis. Menurut mernisi,
hadis-hadis misoginis sangat kontradiktif dengan sejarah Rasulullah dalam
memperlakukan perempuan. Nabi sangatlah penuh kasih sayang terhadap perempuan
dan sangat menghargai hak-hak perempuan. Jadi, adanya hadis misoginis itu, seolah-olah
bertentangan dengan pribadi Rasul. Dengan logika seperti ini, Mernisi menolak
bahwa Rasul pernah mengucapkan hadis semacam itu.
Kritik semacam ini juga dilayangkan oleh okoh feminisme bernama Riffat
Hasan. Ia berpendapat bahwa, akar ketidaksejajaran laki-laki dan perempuan
dalam tradisi islam mempunyai dua arah penting. Pertama, menyadari
pengaruh besar hadis terhadap kaum islam, terutama hadis-hadis yang ada dalam
Bukhari dan Muslim. Kedua, mengkaji naskah-naskah penting karya
feminisme ahli teologi Yahudi dan Kristen yang berusaha menggali asal-usul
teologis cara pandang dan sikap anti perempuan dalam tradisi mereka.
Menyadari akan pentingnya dua hal di atas, akan mengantarkan kita pada telaah
teks-teks keagamaan—baik Qur’an ataupun Hadis. Telaah itu bertujuan untuk
mengubah pandangan kita akan perempuan. Seperti yang telah dilakukan oleh
Hasan. Dia menggunakan mekanisme kritik matan dan kritik sanad hadis-hadis yang
dipandang lemah olehnya. Sebagaimana al-Qur’an, teks-teks hadis juga harus
memiliki porsi yang sama dalam kajian dan harus pula dilacak dari aspek akar
kata sampai makna kontekstualnya.
Aktifis gender lain, yang mengemborkan kritik feminisme adalah Ashgar Ali
Engineer. Namun berbeda dengan kedua tokoh feminisme sebelumnya. Ashghar
menggunakan pendekatan kritik interpretasi terhadap hadis maupun al-Qur’an.
Menurutnya, dengan mengembalikan unsur kontekstual dalam al-Qur’an dan hadis,
maka ideal moral atau substansi teks dapat menjadi acuan dalam mengkaji
kesetaraan gender. Dalam kerangka seperti inilah, Asghar memahami hadis-hadis
gender.
Wacana ini terus bergulir, membuka setiap kemungkinan yang mewarnai
feminisme. Bentuk-bentuk pendekatan dari padanya akan bertambah beragam. Artinya,
tidak hanya melulu kajian teologis dan sosiologis tapi lebih dari itu. Formula mengenai
rekontruksi paradigma masyarakat membutuhkan vitamin yang lebih banyak. Sebab,
untuk mengubah suatu paradigma yang telah mengakar dan diturunkan dari generasi
ke generasi memerlukan kerja yang sangat keras.
Sebagai manusia
modern, kita akan senantiasa menggali pemikiran demi kebutuhan kita sendiri.
Pemikiran itu demi memenuhi suatu kebutuhan khalayak. Dan dalam kaitannya
dengan rekonstruksi paradigma gender yang telah diuraikan oleh para feminisme,
setidaknya telah memberikan big-bang dan shok-teraphy yang membuat
publik tersentak. Mari berpikir kembali. []
[1] Kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris,
gender, yang berarti jenis kelamin. Sementara menurut terminologi,
gender adalah suatu konsep kultural yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan dipandang dari segi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Lihat: Agama, Relasi Gender, dan Feminisme, Kadarusman,
M.Ag., Penerbit Kreasi
Wacana, cet. pertama, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar