Pages

Topi Saya Bundar


Aku menginjak dedaunan kering yang jatuh dari tangkai pohonya, pohon randu besar yang berumur ratusan tahun. Suara yang ditimbulkan oleh derap kakiku itu memecah kesunyian yang mencekam. Di tengah hutan belantara ini, aku dan kelima kawanku—masing-masing bernama: Jarot, Wawan, Jambul, Udin, dan Eko—ditugaskan untuk membekuk perlawanan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Sudah hampir lima belas hari kami membelah hutan ini dan menginjak sudut-sudut belantara tak bertuan. Hanya rasa ngeri yang kami bayangkan ketika tanpa kami sadari nyawa kami di ujung tombak—terancam. Baik oleh binatang buas maupun oleh serbuan musuh yang bisa saja muncul secara tiba-tiba. Dibekali senapan resmi dari TNI angkatan darat—SPR-1, kami melindungi diri kami dari marabahaya. Namun senapan tidak akan ada artinya apabila kewaspadaan kami goyah sekejap saja.

Di hutan ini, kami tidak bisa beristirahat dengan tenang. Meski suasana yang sejuk membuat mata seolah ingin terpejam, namun sebenarnya itu adalah suasana yang menipu. Pernah suatu waktu, yakni dua hari yang lalu, kami semua merasa lelah sebab perjalanan panjang memaksa tulang-tulang kami nyeri. Ditambah dengan medan tempuh yang begitu kasar. Lengkap sudah kelelahan kami, tak dapat dihindari.

Saat itu, kami beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Udara siang yang sejuk, dan tanah hutan yang dilindungi cabang-cabang pepohonan yang seolah saling bergandengan tangan, membuat kami terhipnotis untuk terpulas. Dan aku yang dibebani untuk menjaga, hanya bisa menggerutu dalam hati. Sial!! Umpatku saat itu. Namun aku segera sadar, mereka pasti lelah. Apa aku tidak lelah? Lelah memang, tapi jaga seperti ini sudah terjadwal sebagaimana mestinya.

Semua kawan-kawanku sudah terlelap. Wawan—yang berasal dari Madura, mendengkur keras seperti suara kerbau. Dan empat kawanku yang lain semuanya tertidur pulas tanpa suara. Melihat mereka terpulas bagai bayi, nikmat nian, membuat mataku susah untuk dibuka. Aku disergap kantuk yang luar biasa. Aku di antara sadar dan tidur. Nyawaku belum sepenuhnya berkelana ke alam mimpi ketika samar-samar kudengar derap-derap sepatu yang menganiaya daun-daun kering. Seketika kantukku hilang, berganti dengan ketegangan.

“GAM datang!!” pekikku lirih.

Kawan-kawanku kalang kabut menyelamatkan diri. Sementara aku berlindung di semak belukar yang tingginya hampir satu meter. Kami melihat anggota GAM itu melewati jalan setapak. Kelihatannya mereka akan turun gunung untuk mengambil persediaan makanan dan peluru yang habis. Mereka berjumlah delapan orang, lengkap dengan senjata api laras panjang. Kami masih berdiam diri di tempat. Tak mungkin kami melakukan penyerangan dalam keadaan tubuh yang kurang fit. Maka, kami putuskan untuk melakukan penyerangan di markas mereka, di tengah hutan sana. Itulah kenapa kukakatakan bahwa kami tak bisa beristirahat dengan tenang. Bahaya bisa kapan saja datang menjemput nyawa.

*
Kesunyian hutan diramaikan oleh ocehan bermacam-macam burung. Ada burung Diiiku yang ocehannya membawa hawa mistis tersembunyi. Konon, burung itu adalah burung kutukan. Dari cerita yang diakui keshohihannya oleh para sesepuh desaku, yakni: Dulu, burung Diiiku adalah seorang pemuda yang ditugasi ibunya untuk menjaga adiknya yang masih kecil kerena ibunya ingin ke pasar. Namun, tugas itu ia abaikan begitu saja, alhasil adiknya hilang entah kemana. Mengetahui anaknya hilang, ibu tadi sangat murka dan menyuruh anaknya—pemuda itu—untuk mencari adiknya hingga dapat.

Lama sekali pemuda itu mencari adiknya hingga ke pinggir hutan, namun hasilnya nihil seolah keberadaan adiknya menjelma menjadi gaib. Ia kemudian memanggil nama adiknya itu sekeras-kerasnya, terus-menerus. Adiiiikku. Adiiiikku. Teriaknya. Namun, ia tidak menemukan jejak adiknya. Karena takut kena murka ibunya, ia tak berani kembali ke rumah. Dan di saat ia memanggil-manggil nama adiknya itu-lah, seorang Wali lewat. Ia dikutuk Sang Wali menjadi burung yang ocehannya mirip suara manusia. Maka dari itu, senjata ampuh para orang tua yang jengkel melihat kelakuan anak mereka yang nakal adalah dengan dalih seperti ini: Jangan nakal! Nanti kalau ada Wali lewat!! Dan biasanya, anak-anak nakal itu langsung berlari mencari selakangan ibunya masing-masing.

Ah, kenapa aku mendongeng yang tidak-tidak? Mungkinkah karena rasa rinduku pada buah hatiku?

Sebenarnya aku amat sedih harus meninggalkan keluarga demi menjalankan tugas ini. Namun, setelah diyakinkan oleh istriku bahwasanya ini adalah tugas mulia dari Negara, aku mantap untuk menerima tugas ini. Hatiku sedih tak terkira ketika terakhir kali mencium buah hatiku bernama Ardi Suwantobudi yang masih duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar itu. Aku masih sangat ingat saat ia bertanya dengan intonasi khas anak kecil—lugu dan jujur—menjelang keberangkatanku.

“Papa mau ke mana?”

Ah, anakku, sedang apa kau di sana? Istriku, jaga dengan baik buah hati kita, kataku dalam hati. Kenangan indah silih berganti berklebatan dalam otakku—tawa kecil, rengkek manja, nyanyian lucu dan segala perangkat keunikan dalam diri anak kecil, menyita pikiranku untuk melamun.

Aku juga teringat ketika ia menyanyikan lagu Topi Saya Bundar dengan lucunya sambil mempraktekannya dengan topi sekolah. Ia anak yang cerdas dan menggemaskan. Aku ingin suatu saat nanti ia tidak jadi tentara seperti aku yang nyawanya selalu di ujung tombak. Aku ingin ia menjadi pengusaha sukses yang dapat membanggakan orang tua ketika kami—aku dan istriku—sudah tua renta termakan usia.

Suatu ketika ia menanyakan padaku tentang masalah topi. Saat itu adalah hari cutiku. Ia bertanya seperti ini:

“Papa, papa punya topi tidak? Ardi punya banyak. Semuanya bundar...”

Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan lugunya. Agar tak membuatnya kecewa, aku menjawab:

“Punya, topi papa juga bundar lho.”

Dan saat itu aku membatin dalam hati, topi bundar yang kumaksud adalah topi tentara perlambang kesetiaan Negara. Ardi tersenyum manis. Kemudian kami berdua menyanyilan lagu Topi Saya Bundar bersama-sama.

Topi saya bundar
Bundar topi saya
Kalau tidak bundar
Bukan topi saya

*
Kami meneruskan perjalanan sambil kukenang buah hatiku itu. Kadang sedih tiba-tiba menyergapku, dan apabila dalam suasana seperti itu, biasanya kami saling mencurahkan isi hati. Kami semua telah mempunyai anak dan istri kecuali satu dari kami—Eko. Ia masih bujang, namun status bujangnya itu tidak membuatnya merasa terasingkan di antara kami yang telah memiliki jiwa kebapak-bapakan. Ia banyak mendapat pelajaran dari kami yang telah berumah tangga. Setidaknya untuk bekal hidupnya nanti.

Malam menjelang. Di bawah bukit kecil batu cadas, kami beristirahat. Bagiku, malam adalah saat-saat teror alam di pertunjukkan Tuhan. Sepi. Senyap. Hanya binatang malam yang sesekali memecah kesunyian. Suasana mencekam sudah biasa kami alami. Namun di malam ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Malam seolah menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Seram, buas, dan penuh kejutan. Semoga tak terjadi apa-apa, doaku dalam hati.

Malam ini adalah giliran Eko yang jaga, ia terlihat lebih fit dari yang lainnya. Maka ia menawarkan diri untuk berjaga. Ah, sungguh baik pemuda ini. Kucopot tas ranselku, kuletakkan ia di atas kepalaku sehingga menjadi bantal praktis. Dari tempat aku berbaring, bintang gemintang tak tampak karena tertutup dedaunan yang lebat. Hanya sesekali kerlipnya terlihat saat angin menyibak dedaunan hingga menari kesana-kemari. Alangkah indah bintang itu. Kupejamlakan mataku, kupaksa diriku untuk tidur. Namun, agaknya Insomniaku kambuh. Tak akan mampu kupaksa mata ini memejam. Kuputuskan untuk menemani Eko yang berjaga, kuhampiri ia yang sedang mengisap rokoknya dalam-dalam.

“Rokok,” tawarnya.

Aku menggeleng. Tidak biasa aku merokok tanpa ditemani kopi. Aku duduk di sebelahnya, kutekuk lututku meningkahi hawa dingin yang menusuk. Sunyi. Kami diam dalam pikiran masing-masing.

“Aku bangga bisa berjuang untuk Negara,” ujarnya memecah kesunyian. Aku menarik nafas panjang. Aku juga mengatakan hal yang sama padanya.

“Bila aku gugur dalam misi ini, kenanglah aku, kawan,” lanjutnya.

“Tentu.”

Kemudian kami bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidup kami mulai dari sebelum dan sesudah menjadi tentara. Kami juga berbicara tentang ketulusan hati menjalankan amanat Negara. Ia mempunyai tujuan yang amat mulia yakni: ia ingin seutuhnya membela Negara ini tanpa berharap materi atau pangkat. Baginya, pangkat hanyalah simbol palsu. Simbol sebenarnya adalah simbol keikhlasan dalam hati. Alangkah mulia hati pemuda ini. Meski usianya masih muda namun semangat juangnya bagai pahlawan empat lima.

Eko mengambil rokok kembali dan menyulutnya. Asap rokok itu ia hempaskan ke udara dengan kuat. Hawa dingin memaksa siapapun mencari kehangatan. Dan agaknya, ia terhangatkan oleh isapan rokoknya. Sementara aku, hanya menghempaskan udara kosong dari mulutku ke udara.

Senyap kembali menyergap. Di saat mataku tertuju pada sebuah bintang nun jauh di langit, Eko berteriak “Awas!!”. Ia mendorong tubuhku ke samping dengan kuat. Aku terjerembab, kudengar letupan senapan berkali-kali membelah kegelapan malam. Kulihat Eko tertembak beberapa kali yang menyebabkan ia tersungkur penuh darah karena luka tembak. Mendengar letupan senjata, kawan-kawan yang lain terbangun, mereka menyambar senapan mereka masing-masing. Pertempuran sengit terjadi di antara kegelapan. Aku berlari mencari senapanku. Hampir saja sebuah peluru masuk ke dadaku kalau saja aku tak gesit merunduk. Kemudian letusan geranat mengepung kami. Kami panik. Suasana yang semula senyap berubah menjadi riuh penuh desingan butiran peluru yang terlepas dari senapan.

Aku mencari Eko yang tertembak karena menyelamatkanku. Kubimbing ia menuju tempat yang lebih aman yaitu di sebuah pohon besar. Aku menidurkan kepalanya di atas lututku. Darahnya mengucur deras. Kurobek kain seragamku untuk membalut lukanya. Namun belum sempat lukanya kubalut. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Kebisingan membuat suaranya tertelan tak terdengar. Kudekatkan telingaku pada mulutnya. Dan lamat-lamat aku mendengar ia berkata: “Teruslah berjuang, kawan. Kalahkan mereka!!” Kemudian suara itu hilang seiring hilangnya detak jantungnya. Ia telah gugur, kawan yang baik hati itu telah gugur.

Kugenggam tangannya erat-erat. Kuikrarkan janjiku di depan mayatnya bahwa aku akan berjuang sekuat yang aku mampu. Dendam dan murka menyatu dalam hatiku. Kutinggalkan jasadnya. Aku mengakat senjataku tanpa gentar. Semangatku meletup-letup bak tentara Islam di perang Uhud. Kuberondong senapanku hingga peluruku tak tersisa. Kubabat habis satu persatu barisan GAM itu. Aku sungguh dikuasai dendam dan murka.

Suasana mendadak diam. Burung hantu mengoceh menertawakanku. Aku telah membubuh semua musuh-musuhku. Dan karena egoku yang tak mampu kukendalikan, aku tidak hanya membunuh semua musuh, semua kawanku tumbang terkena peluruku. Aku tidak sadar bahwa dendam akan mengantar seseorang pada penyesalan.

Kini aku seorang diri. Kujatuhkan lututku membentur tanah. Saat itu, kurasa aku ingin mengakhiri hidupku dengan meledakkan kepalaku dengan senapan. Namun aku teringat buah hatiku, Ardi. Ia masih sangat belia untuk kehilangan seorang Papa. Aku tak boleh mati. Aku ingin melihatnya sukses suatu saat nanti. Aku harus kembali. Ya, aku harus kembali.

*
Pagi menjelang, di depan lima buah liang lahat, aku berdiri. Itulah kawan-kawanku yang mati karena dendam kesumat meracuni hatiku. Maafkan aku, Jarot, Eko, Udin, Wawan, Jambul. Kataku sambil berlinang air mata. Penyesalan menjalar cepat ke pembuluh darahku, meluncur deras ke pusat jantungku, membuatku lemas tanpa daya. Mereka—kawan-kawanku dan kawan Negara—telah gugur bukan karena tangan musuh, namun karena tangan kotorku ini.

Setiap jengkal tanah yang aku timbunkah ke liang lahat mereka, mengiringi tangis pedihku. Aku telah berhianat pada kawan-kawanku sendiri dan juga Negara tercinta, Indonesia.

*
Itulah kisahku sembilan tahun silam. Kisah paling menyedihkan sepanjang karirku menjadi Tentara. Sebenarnya, sudah kubuang jauh-jauh ingatan itu dari otakku. Aku amat perih bila mengingatnya. Seakan-akan aku dihantui arwah kawan-kawanku. Namun sebuah ironi memaksaku mengorek kembali kisah pahit itu. Ya, seorang lelaki muda yang mengenakan topi bundar di depanku ini persis sekali seperti kawanku Eko. Ia mempunyai semangat juang yang tinggi terhadap Negara. Mataku sembab. Dadaku sesak seolah lahar merapi menyembur dengan deras mengisi paru-paruku.

“Kenapa papa menangis?”

Itulah suara pemuda itu, Ardi buah hatiku. Apa yang dulu aku bayangkan dan aku inginkan, berbalik arah seratus delapan puluh derajat. Ardi dalam anganku adalah seorang pengusaha sukses. Namun Ardi yang saat ini di hadapanku adalah seorang pemuda yang memakai topi bundar—tentara.

Kepalaku semakin berat ketika ia berpamitan mencium tanganku seraya berkata:

“Papa, Ardi mendapat tugas ke Jayapura menangani pemberontak di PT. Freefort. Di sana sedang terjadi perang sengit. Maka, kiranya Papa memberi ijin kepadaku untuk menjalankan tugas ini.”

Aku tak menjawab. Tidak mampu kubayangkan bagaimana kisah sembilan tahun yang lalu harus terjadi kepada anakku. Cukuplah aku yang mempunyai sejarah kelam itu. Biarkan anakku menghirup udara kedamaian tanpa dihantui rasa penyesalan.

“Papa, Ardi pamit.”

Ia kembali mencium tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tanpa sengaja terusap punggung tangannya. Ia pergi memakai topi bundarnya. Sementara aku hanya mampu memandang punggungnya tanpa berhenti menangis.

“Semoga kau selamat, nak, doaku lirih.

*Cerpen ini terilhami dari judul lagu anak-anak: Topi Saya Bundar

Kajen, 10 Mei 2012


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram