Pages

Hajat Pemilu dan Kualitas Kesadaran Pemilih


KENDATI hajat pemilu akan digelar sebentar lagi, agaknya geliat masyarakat kita masih dalam taraf yang bisa dikatakan rendah. Gerakan-gerakan politis justru lebih gencar dilakukan oleh para caleg dengan memasang poster-poster dan spanduk di pinggir jalan. Keadaan ini cukup mengkhawatirkan, mengingat lapisan masyarakat merupakan faktor urgen penentu terbentuknya demokrasi yang cerdas dan jauh dari money politik.

Bermunculannya caleg yang secara tiba-tiba nongol di televisi atau di baleho sepanjang jalan protokol, membutuhkan setidaknya perhatian dari masyarakat yang cerdas mengumpulkan informasi mengenai caleg bersangkutan. Sebab, terabaikannya profil seorang caleg atau kandidat akan berakibat fatal terhadap suatu penyelenggaraan demokrasi yang bersih.

Nilai survei dari Polling Center menyebutkan bahwa lebih dari lima puluh (tepatnya 52,1) persen pemilih akan menerima uang atau barang dari caleg. Nilai ini, meski bukan hal yang mengejutkan, mempersuram hajat pemilu yang akan berlangsung April mendatang. Jika hasil ini merupakan kontrak masyarakat yang tak bisa lagi diminimalisir atau bahkan dilenyapkan, maka bisa dipastikan, bangsa kita tak akan dicatat sejarah sebagai bangsa demokratis yang terbebas dari belenggu politik ‘Wani Piro?’.

Jika dalam penyelenggaraan hajat pemilu terdapat kolaborasi yang apik dari berbagai pihak yang bersinergi memberantas politik uang, maka sepertinya kita maklum bernafas lega. Sebab, kita melihat format masa depan bangsa kita tak pernah jauh dari kebusukan politik yang semakin tahun semakin berfusi bahkan dengan berbagai lapisan masyarakat kita. Sehingga kemungkinan paling riskan, hal itu menjadi kebiasaan yang dianggap wajar dan dalam tanda kutip yang dianggap ’waras’.

Kebiasaan Membentuk Mainstream

Berangkat dari suatu kebiasaan negatif, agaknya pikiran kita, secara langsung atau tidak, akan mulai ikut beranggapan bahwa kebiasaan negatif itu adalah suatu kewajaran. Berkenaan dengan money politik yang menjamur di dalam penyelenggaraan pemilu, masyarakat kita tidak lagi merasa bersalah jika memainkan praktek politik model ini.

Pada tahun 2010, di desa saya terselenggara pemilihan Kades. Praktek money politik mewarnai penyelenggaraannya. Setiap calon kades berlomba-lomba mengajak masyarakat untuk memilihnya dengan iming-iming uang. Dan terbukti, calon kades yang paling banyak memberikan uang, dia-lah pemenangnya. Praktek ini bukan hanya soal kebiasaan, tapi seolah-olah menjadi keharusan. Saat tetangga saya jagong di dalam suatu majlis, dia nyletuk dengan entengnya: “Saya tidak mau nyoblos kalau tidak ada uangnya!”. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang dibentuk oleh ketidak-pedulian dan jauh dari masyarakat pro-aktif.

Masyarakat layak bercermin pada pemilu 2009. Praktek money politik membawa dampak yang sangat serius. Para legislator yang terpilih, terjebak kasus yang bermacam-macam dalam karir kepemimpinanya. Bagaimana hal ini hendak diteruskan? Memang, persoalan semacam itu bukan hanya bertolak dari masyarakat kita. Peraturan pencalonan legislatif juga kurang memenuhi standar kriteria seorang pemimpin. Penyelenggara pemilu lebih mementingkan persyaratan administratif dibandingkan dengan kapabilitas dan kompetensi para legislator.

Persoalan meluas lagi dengan kurang selektifnya partai politik yang menjadi wadah para legislator. Alangkah banyak parpol yang secara terang-terangan mengedepankan popularitas dibandingkan integritas legislator. Parpol dianggap hanya sebagai wadah yang menjadi wahana legislator untuk memuluskan aksinya dalam pencalonan, bukan sebagai wahana penggodokan mental para legislator guna bersiap menjadi pemimpin yang bersih dan bebas dari korupsi.

Belakangan kita ketahui dari lembaga survei, bahwa masyarakat kita sudah mulai cerdas dalam memilih. Tercatat hanya ada 18,1 persen masyarakat yang akan memilih kandidat karena uang. Dan sebanyak 42,8 persen secara tegas akan memilih kandidat yang sesuai dengan keinginannya meskipun mereka akan menerima sejumlah uang dari para kandidat.

Survei ini membawa angin segar, terlebih dengan bermunculannya para tokoh panutan seperti Mahfud MD, Jokowi dan Dahlan Iskan, yang dipandang sebagai pelopor penggugah masyarakat agar melek terhadap aksi tidak bersih dalam pemilu. Kita perlu optimis dengan masyarakat kita kali ini.

Membangun Budaya Politik Bersih dari Akar Rumput

Seorang pakar politik dari Amerika Serikat, Prof. Austin Ranney merumuskan delapan kriteria pemilu demokratis yang salah satunya mengatakan bahwa pemilu yang demokratis akan terwujud jika tidak ada diskriminasi atau tekanan terhadap masyarakat yang memberikan suara. Hal ini senada dengan apa yang digembor-gemborkan di negara kita pada saat ini.

Jika seandainya survei dari suatu lembaga mengenai kecerdasan masyarakat kita dalam memilih benar-benar terealisasi pada pemilu mendatang, maka kita patut bermimpi negeri kita akan terbebas dari praktek politik yang tidak sehat. Sebab, hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat yang meskipun dibumbui intimidasi, mereka tetap memiliki kualitas kesadaran berpolitik yang memadai. Sehingga pada akhirnya, budaya politik yang bersih bukan lagi angan-angan belaka buat kita.

Masyarakat Pro-aktif dan Kualitas Kesadaran

Pro-aktif bisa diartikan dengan kemampuan memilih respon. Sebagai lawan kata dari reaktif, pro-aktif menjalin ijuk-ijuk omosi dalam diri masyarakat agar terkendali dan tersusun dengan rapi. Satuan masyarakat yang cerdas dan aktif menjadi syarat mutlak terbentuknya pro-aktif. Tingkat kesadaran bisa dimulai dari sini, dengan batu pijakan yang kokoh dan kuat. Manakala kesadaran ini terbentuk, semangat politik yang bersih tak akan lagi menemui jalan buntu.

Setidaknya ada tiga manfaat yang akan kita petik dari tangkai masyarakat pro-aktif. Pertama, tebentuknya opini publik yang bersih. Kedua, mendukung terciptanya pemilu yang bersih dan cerdas. Ketiga, membantu menciptakan situasi demokrasi yang terkontrol. Ketiga manfaat ini akan terealisasi secara gradual. Dan tidak lain, masyarakat sebagai syarat mutlak pengendali keberlangsungan sistem pro-aktif dengan landasan mayoritas yang efektif (effective majority).

Menilik apa yang telah lalu dibicarakan, kualitas kesadaran haruslah dalam kemasan pro-aktif. Sebab, masyarakat yang pro-aktif terhadap ahwal politik, akan membuka kesadaran berpolitik yang kualitatif. Artinya, politik bukan lagi hanya diukur dari kuantitas pemilih, tetapi juga melibatkan kualitas pemilih. Sehingga formulasi yang dibentuk dengan nalar seperti ini akan mengantarkan kita kepada penghayatan nilai demokrasi yang berlangsung dalam tubuh masyarakat.

Kualitas kesadaran pemilih menjalani fungsi sebagai kontrol pemilu. Lebih jauh lagi, ia juga berfungsi sebagai kontrol kebijakan pemimpin pada suatu saat nanti. Kualitas kesadaran pemilih menentukan terbentuknya suatu sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Dengan kesadaran inilah, kita mengharapkan Indonesia akan lebih cerah di masa mendatang.[]

*Opini ini meraih juara kelima dalam lomba menulis opini yang diadakan oleh PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) pada tahun 2014


Arif

2 komentar:

Instagram