en.wikipedia.org |
Agama pada mulanya dimulai dari hening,
sunyi, senyap (GM). Kesunyian senantiasa membujuk orang untuk iman dan percaya pada pencarian dan permenungan. Musa
ke puncak gunung untuk berdialog dengan Tuhannya. Budha mencari kesunyian untuk
menemukan siapa pencipta alam ini. Muhammad berkhalwat di gua yang maha sunyi
untuk menjawab panggilan Tuhannya. Agama—sebelum benar-benar jadi Agama dengan
“A” kapital, adalah kesunyian itu sendiri.
Sebelum jadi “A” besar, agama melampaui
keterpautan, nir-relasi. Ia murni sebagai keintiman antara Tuhan dengan hamba.
Ia murni sebagai jalan menuju yang maha sunyi. Tapi setelah itu, ketika agama
berelasi dengan banyak hal, ia mendadak ramai. Ketika ia dikaitkan dengan
negara, memunculkan banyak perdebatan. Ketika ia dikaitkan dengan ilmu dan
filsafat, memunculkan banyak klaim. Ketika ia dikaitkan dengan kebebasan,
memunculkan lebih banyak kegaduhan. Agama jadi pasar malam, di mana di sana ada
komedi putar, tong setan, dan bahkan judi temaram.
Di tengah keramaian itu, tentu ada yang
masih mengais-ngais kesempatan untuk bisa tetap sunyi bersama Tuhan; untuk
menenangkan diri dari pertikaian dan klaim kebenaran. Merekalah yang ingin
beragama sekaligus bertuhan. Mereka menghindari keberagamaan kaum ramai yang
lepas dari Tuhan; yang kuasa agama sekarang telah di tangan mereka karena kitab
suci ‘seolah’ terus membenarkan perkataan mereka. Di tengah keramaian itu,
masih ada orang-orang awam yang tak tahu apa-apa selain shalat tahajud di
tengah malam dan subuh-subuh pergi ke masjid. Mereka tetap sunyi bersama Tuhan
dengan cara mereka sendiri.
Di desa-desa, masih banyak orang yang tak
tahu ramainya agama. Mereka cukup tahu bahwa empat Khalifah pengganti nabi
adalah orang-orang hebat yang perlu dan patut dihormati. Tanpa mereka harus
tahu bahwa dari keempat khalifah itu, yang meninggal dengan wajar hanya satu
orang. Sedangkan yang lainnya, bersimbah darah baik oleh perang maupun
pembunuhan. Dalam hal ini, saya teringat satu ujaran: “Kadang, pengetahuanmu
akan sesuatu bisa membahayakanmu.”
Tak terhitung banyaknya, seorang
cendikiawan yang ilmunya selangit, yang mengetahui seluk-beluk dan
cabang-cabang ilmu keislaman—yang pengetahuannya malah menuntunnya pada
keraguan pada Tuhan. Ia diam-diam pasrah dengan serbuan Sartre: “Jika Tuhan
masih ada, manusia niscaya tidak bebas.” Pengetahuan keislamannya
terbentur-bentur oleh pemikiran yang mewah—filsafat eksistensialisme. Ia
melupakan alifbata yang pernah diajarkan kepadanya waktu kecil dan bagaimana
caranya shalat. Baginya, agama jadi soal perdebatan Mu’tazilah vs Asy’ariah.
Doa lirihnya hilang ditelan dirkursus.
Sampai sini, saya termenung sambil
mengingat lagi masa kecil saya sebagai orang desa.
Sebelum agama identik dengan banyak hal,
sebelum di kampung saya (sekarang) idul fitri identik dengan kembang api
besar-besar, saya teringat, dulu saya dan kawan-kawan selalu menghabiskan malam
idul fitri dengan takbiran sambil terbangan di surau kampung kami sampai larut
malam. Saya tak tahu apakah kebagaiaan orang di tiap zaman berbeda, atau hanya
caranya saja yang berganti. Yang saya tahu, saya ingin kembali mengaji alifbata
dan menghapal waktu shalat lima waktu. Saya ingin kembali mempersunyi pikiran
saya. [*]