Sekali lagi, kata ‘pulang’ bisa sedemikian perih; sedemikian misterius dan
sekaligus penuh rumus. Pulang berarti kembali, sekaligus pergi. Pulang kampung
berarti kembali ke kampung dan pergi dari tempat di mana ia tidak di kampung.
Tapi bagaimana jika masalahnya bukan pulang kampung? Lebih dari sekedar pulang
dan pergi. Di luar pergi ada yang tak pulang, meskipun sejatinya ia kembali
secara utuh.
Pulang kepada Tuhan atau berpulang. Pulang kepada Tuhan bisa menjadi
hantaman, juga rahmat tak terperikan. Yang semestinya pulang biarlah pulang!
Begitu kata orang menghibur diri. Tapi titik maslahnya bukan soal pengabaian
dan ketidak-pedualian akan yang pulang, melainkan tepat pada titik nadir dari
kesedihan, orang bisa jadi tak mengerti harus berbuat apa.
Titik nadir itu sampai pada puncaknya setelah beberapa Kiai Kajen ‘pulang’
kepada Tuhan. Kiai Maimun, Kiai Sahal, Kiai Syafi’; merekalah tiang kajen,
penjaga desa itu agar tetap kokoh. Mereka telah ‘pulang’. Dan pulang, sekali
lagi, bisa sedemikian perih bagi yang belum pulang. Kita berduka, kita merasa
kehilangan, sebab kita belum pulang. Mungkin, begitulah cara Tuhan menjaga
kehidupan. Kata orang lagi, menghibur diri. Demikian entengkah ucapan itu? Atau
cuma basa-basi dan ajang untuk menghibur diri yang sebenarnya perih?
Siapa yang pernah pergi, ia akan pulang kembali!
Kita semua pergi, dan mestinya, kapanpun itu, kita harus siap pulang
kembali meskipun sebagian dari kita tak menyukai itu. Di sinilah barangkali
letak makna dari hidup. Hidup bukanlah absurd (tak bermakna) seperti yang
didakwakan kaum absudisme dengan mendalihkan dan mempertanyakan tentang
kematian. Beginilah cara alam mempertahankan dirinya. Nilainya terletak tepat
pada bahwa keseimbangan alam adalah yang menjaga kehidupan.
Pulang telah melampaui kata tangis. Seperti pergi (lahir) yang telah
melampaui kata tawa. Begitulah semestinya manusia ada dan berada. Seperti dalam
syair indah ini:
Kau dilahirkan oleh ibumu dalam keadaan menangis
Sedangkan orang di sekitarmu tertawa bahagia
Buatlah hidupmu bermakna; maka ketika mereka
Menangis di hari pulangmu, kau bisa tertawa bahagia
Mereka, Kiai Kajen yang pulang telah membuktikan syair ini. Mereka pulang,
dan orang-orang di sekeliling mereka tiada henti bersedih, tiada henti menguras
airmata. Sedangkan mereka, di sisi Tuhan, telah mendapatkan tempat yang layak.
Diam-diam, mereka, yang pulang itu, telah mengajari yang belum pulang bahwa
untuk pulang, kita harus menyiapkan sebanyak-banyaknya bekal. Dan diam-diam
pula, jika kita mau peka, sebetulnya, kepergian mereka telah menjelma suara
halus bagi kita: “Kau bisa memilih untuk hidup bahagia. Maka pilihlah pula
untuk mati dalam keadaan bahagia!”
Kita, yang awam ini, barangkali perlu kata ‘pergi dan pulang’ karena kita
tak mampu membedakan antara keduanya. Tapi bagi mereka, bagi mereka yang dekat
dengan Tuhan, dua kata itu sama sekali lebur. Mereka tak pernah pergi,
bagaimana mungkin mereka pulang? Mereka tak pernah pergi dari Tuhan, mereka
juga tak pernah kembali kepada-Nya sebab mereka adalah miliknya yang tak bisa
pernah hilang. Cerminan ini ada dalam puisi Chairil Anwar, Doa:
Tuhanku
di pintumu aku mengetuk
aku tidak bisa berpulang
Mereka tak pernah pergi juga tak pernah pulang. Seperti halnya, kita bisa
sedemikian yakin bahwa mereka tetap tinggal di hati kita, tak pernah pergi dari
kita untuk pulang kepada Tuhan. Demikianlah kita, yang belum pulang ini, akan
tak meyakini kata pulang. Pulang hanya milik mereka yang pernah pergi. Kita tak
pernah pergi dari Tuhan, kita pun tak mungkin kembali kepada-Nya. Demikianlah.
Kiai Maimun, Kiai Sahal, Kiai Syafi’, dalam termangu, kami masih
menyebut nama kalian. Biar susah sungguh, mengingat kalian penuh seluruh. Kami,
akhirnya, mau tidak mau harus sadar bahwa: Dari buah, hidup kan kebanyakan
jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia. Dari
kalian, kami belajar untuk tidak menyia-nyiakan hidup. Kalian tetap guru kami,
sampai kapanpun.
Kairo, 2014