Pages

Paradoksal Relasi Tuhan dan Manusia Menurut Ibn Arabi


Genesis

Dalam rangka mengenali tubuhnya sendiri, manusia membutuhkan sebuah cermin. Dengan cermin itu manusia bisa melihat dirinya sendiri secara langsung; menelisik tiap lekuk tubuhnya, meneliti tiap-tiap jengkal bagian tubuhnya, memperhatikan lipatan-lipatan dari tubuhnya.

Manusia tak mampu memungkiri, cerminlah yang terkadang mengenalkan dirinya akan dirinya sendiri. Dengannya ia tahu bagaimana ia musti berdandan dan bersolek demi kebutuhan dan atau tujuan memperindah diri. Dengannya pula, manusia memperbaiki penampilan sekiranya ia merasa tidak merasa nyaman dengan penampilannya sebelumnya. Hidup manusia tak bisa lepas dari cermin dan memang tidak mungkin lepas dari cermin.

Tapi pernahkah sesekali saja, manusia bertanya tentang siapa yang berada dalam cermin itu ketika ia bercermin? Siapakah yang menirukan lenggok dan gestur tubuhnya dalam benda datar itu? Apakah itu ia atau justru bukan ia? Memburu pertanyaan semacam ini ternyata penting dan berdampak besar bagi lahirnya sebuah teori relasi antar Tuhan dan semesta, atau manusia secara khusus.

Ya, Ibn Arabi, seorang sufi terkemuka yang mempunyai magnum opus bertajuk: Futuhat al-Makiyyah. Melalui cermin, sufi yang juga seorang teolog ini, memunculkan sebuah teori yang sebagai titik tolak amsaliah terhadap relasi Tuhan dengan manusia. Teori ini memuat pembahasan yang menempati taraf sangat urgen. Dan dalam taraf yang demikian tersebut, maka dirasa perlu menghadirkan sebuah catatan singkat mengenai Teori Relasi Tuhan dan Manusia dengan bersandar pada pemikiran Ibn Arabi, seorang Muhaqqiq yang begitu daqiq.

Tuhan dan Semesta

Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah harta karun yang tersembunyi. Aku sangat cinta untuk diketahui. Maka aku menciptakan semesta. Barangsiapa telah mengetahui semesta, ia telah mengetahui diriku.”

Hadits ini menunjukkan adanya relasi aktif antara Tuhan dan semesta. Relasi itu bersifat kontingen sejak diciptakannya semesta dan sejak adanya manusia menghuni semesta dengan menempati bumi. Relasi yang demikian bukan dalam sudut pandang bahwa Tuhan adalah penjaga, rabb, semesta dan seisinya, tapi merupakan relasi yang dalam sudut pandang Tuhan sebagai Tuhan yang cinta untuk diketahui dan dipahami. Melalui semesta, Tuhan melumerkan dirinya agar bisa diketahui oleh makhluknya. Ketika Tuhan melihat semesta, ia seperti melihat pantulan dirinya.

Entah antara kaum sufi dengan kaum filsuf muslim semacam ada kesepakatan atau tidak, tetapi ada satu kompensasi yang menunjukkan kedekatan pemikiran antara keduanya mengenai terjadinya semesta ini.

Menurut kaum sufi, Tuhan adalah dzat yang membuat semesta jadi tampak dengan melimpahkan cahayanya. Ketika cahaya Tuhan memancar kepada hakikat yang mungkin adanya, maka Tuhan menampakkan apa-apa yang dikehendakinya untuk ditampakkan. Baik apa-apa itu berupa ruh, mistal ataupun jisim. Teori ini disandarkan kepada Surat An-Nur:35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Dan juga kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim: “Nabi bersabda: Segala puji bagimu. Engkau adalah cahaya langit dan bumi dan apa saja yang berada di dalamnya”.

Sementara menurut kaum filsuf, salah satunya adalah Alfarabi, semesta merupakan hasil dari pancaran atau lumeran Dzat Tuhan yang qadim. Teori semacam ini dinamakan teori emanasi atau dalam bahasa arab dinamakan Nadhariyyat al-Faidh yang telah dikenal luas. Dengan demikian, teori ini sekaligus memberi makna bahwa semesta itu qadim dalam zamannya (taqoddum zamany) bukan zatnya (taqoddum dzaty). Karena ia adalah sesuatu yang melimpah dari yang qadim.

Meski agak berbeda tapi, kedua teori itu bertemu pada titik di mana semesta mengada karena terkena limpahan atau pancaran dari Tuhan. Hanya saja, konsep keduanya berbeda satu dengan yang lain dalam hal apakah teori itu berarti bahwa Tuhan itu menciptakan semesta dari ketiadaan atau menciptakan yang sudah ada. Pembahasan ini berada dalam jangkauan tema yang lain yang lebih rinci jika ditulis dalam satu catatan lain.

Dengan menarik pembahasan mengenai teori penciptaan alam semesta, kita akan mempunyai gambaran tentang relasi antara Tuhan dan Manusia dilihat dari sudut pandang bahwa manusia merupakan bagian dari semesta. Dan semesta adalah sesuatu yang nampak atau wujud karena menerima cahaya Tuhan.

Teori Cermin Ibn Arabi

Jika telah jelas bagaimana semesta itu wujud dan bagaimana cara Tuhan menampakkah wujud semesta itu dengan pancaran nur-Nya? Lantas bagaimana hubungan atau relasi antara Tuhan dan semesta dan manusia (sebagai bagian dari semesta)?

Ibn Arabi memiliki teori cermin untuk menjelaskan relasi antara Tuhan dan semesta. Dalam kitab Futuhat-nya, ia menjelaskan:

“Gambar yang engkau temui ketika engkau melihat dirimu sendiri di dalam cermin adalah bukan dirimu. Lantaran hukum sifat cermin yang berada dalam gambar itu, baik besarnya, kecilnya, panjangnya, maupun pendeknya; adalah bukan dirimu. Dan lantaran hukum gambar cermin yang berada dalam dirimu bukan pula itu dirimu. Bukan pula (yang di dalam cermin itu), adalah selain dirimu; berupa wujud yang serupa denganmu ketika engkau memandang cermin. Gambar itu bukan pula bukan dirimu karena ia adalah hukum sifat dirimu. Sesugguhnya engkau tidak ragu bahwa engkau melihat wajahmu dan melihat semua yang berada di wajahmu. Nyata sudah penglihatanmu di dalam cermin bahwa apa yang engkau lihat adalah dirimu bukan suatu sifat yang baru saja muncul di dalam cermin. Maka, apa yang engkau lihat itu bukan selain dirimu dan bukan pula dirimu.”

Paradoks! Ada paradoks yang menunggangi amsal di atas. Secara tegas memang Ibn Arabi mengatakan adanya paradoks itu. Ketika seseorang melihat dirinya dalam cermin, apa yang ia lihat itu bukanlah dirinya dan bukan pula bukan dirinya. Bukan dirinya karena ia tidak sama dalam bentuk maupun sifat-sifatnya. Bukan bukan dirnya karena apa yang ia lihat nyatanya adalah dirinya bukan orang lain. Di sinilah paradoksnya. Dan begitulah relasi antar Tuhan dan semesta dan manusia. Lebih lanjut Ibn Arabi berkata:

“Begitulah keadaan wujudnya semesta dan Tuhan apabila engkau mengibaratkannya dengan cermin. Yakni dimensi a’yan tsabitah (mengenai a’yan tsabitah bisa dilihat di catatan penulis: Dualisme Konsep Manusia Menurut Ajaran Tasawuf) dan wujud Tuhan. Apabila bagi Tuhan, a’yan tsabitah merupakan kenyataan maka hal itu adalah hukum cermin dalam gambar orang yang melihat. Tuhan adalah alam. Ia disifati dengan hukum cermin. Ia adalah dzat yang nyata dalam kenyataan dengan gambar kenyataan-kenyataan.”

Apabila hal ini disalah-pahami maka akan sampai pada kesimpulan yang tergesa-gesa dan terburu-buru. Kesimpulan itu akan menimbulkan fitnah. Orang akan mengatakan mazhab para sufi adalah mazhab yang sesat sementara ia belum paham dengan betul apa maksud perkataan-perkataan para sufi. Dengan demikian, perkataan Ibn Arabi di atas perlu pengkajian lebih dalam dan lebih jauh. Lebih lanjut lagi Ibn Arabi berkata:

“Atau wujud Tuhan adalah hakikat cermin. Dari wujud Tuhan, a’yan tsabitah melihat apa yang serupa dengannya. Maka a’yan tsabitah melihat gambarnya di dalam cermin. Ia dan gambarnya dalam cermin itu jadi saling melihat satu sama lain. Ia tidak melihat apa yang ia lihat dari segi bahwa ia adalah cermin dari dirinya. Tetapi ia melihat apa yang ia lihat dari segi bahwa ia melihat dirinya sendiri tanpa bertambah dan berkurang sedikitpun. Seperti halnya tiada sangsinya orang yang melihat wajahnya dalam cermin bahwa wajahnya bisa melihat. Maka dari cermin itu diketahui sebuah hukum bahwa wajahnya tidaklah melihat. Begitupun yang lainnya.”

Penjelasan tersebut di atas berhubungan dengan orang yang mengatakan bahwa: Tuhan adalah diriku dan wujudku dan aku adalah dirinya dan wujudnya. Perkataan ini perlu ditakwili agar tidak terjerumus ke dalam paham ittihad dan hulul. Dan jelaslah kiranya apa yang dipaparkan oleh Ibn Arabi mengenai teori cermin bahwa ittihad dan hulul tidaklah mungkin baik secara akal, syara’, maupun teofani. Dengan melihat teori cermin, jelas pula hubungan atau relasi antara Tuhan dan manusia. Tuhan adalah cahaya semesta. Tuhan adalah diriku dan wujudku. Artinya adalah ‘Tuhan’: cahayanya yang memancar kepadaku membuatku nyata ketika aku berada dalam kegelapan ketiadaanku, adalah ‘diriku dan wujudku’.

Dalam kesimpulannya, Ibrahim Al-Kurany mengatakan:

“Orang yang melihat dalam cermin, apabila ia mengatakan kepada gambar yang ia temui di sana: ‘Gambar itu bukanlah gambarku’; artinya, ia seperti halnya gambar yang di luar cermin tanpa adanya keterpautan; maka ia adalah orang yang berkata benar. Sebab gambar yang berada dalam cermin dihukumi atau disifati dengan sifat cermin: baik besarnya, kecilnya, panjangnya, dan pendeknya. Dan gambar itu, dalam kenyataannya bukanlah merupakan sifat dan hakikat dari gambar yang berada dalam cermin.”

“Apabila ia mengatakan: ‘Itu adalah gambarku’ tetapi tidak secara mutlak. Artinya gambar yang berada dalam cermin itu tetap ia disifat dengan cermin dan dalam bentuk yang lain; maka ia adalah orang yang berkata benar pula. Karena gambar itu bukanlah gambar selain dirinya atau  berupa gambar wujud-wujud yang berada di luar cermin. Bahkan tidak diragukan bahwa gambar itu adalah gambar dirinya. Akan tetapi ia menjadi nyata di dalam dimendi nyata berdasarkan kenyataan tersebut melalui berbentuknya ia dengan bentuk yang lain daripada bentuk realitasnya secara keseluruhan.”

Di sini letak paradoksnya teori cermin. Ketika Tuhan melihat semesta, ia seperti melihat pentulan dirinya sendiri. Seperti halnya ketika kita melihat dalam cermin kita seperti melihat diri kita sendiri. Dengan itu, sah dikatakan bahwa alam adalah bukan Tuhan jika melihat pengertian bahwa gambar yang berada dalam cermin bukanlah merupakan gambar yang berada di luar cermin. Sah pula dikatakan bahwa semesta adalah Tuhan tapi dengan qayyid; bahwa wujud semesta tetaplah berada dalam wujudnya. Dan Tuhan tetaplah dengan wujudnya yang tidak diketahui (majhul). Dengan demikian, relasi antara Tuhan dan manusia adalah relasi antara orang yang bercermin dengan gambar atau pantulan yang berada dalam cermin itu.

Penutup

Melalui semesta, manusia bisa menemukan Tuhan. Bukan karena Tuhan adalah semesta itu sendiri. Melainkan karena semesta adalah bekas atau atsar dari Dzat Tuhan yang memancar sehingga semesta jadi mengada dan wujud. Benar apa yang dikatakan dalam hadits qudsi di muka bahwa dengan memahami semesta, manusia bisa memahami Tuhan. Hadits itu dikuatkan dengan hadits: “Barang siapa mengetahui dirinya, maka sesungguhnya ia telah mengetahui Tuhannya.”

Relasi antara Tuhan dan semesta adalah seperti relasi antara orang yang bercermin dengan gambar yang ada dalam cermin. Dengan sudut pandang bahwa gambar yang ada dalam cermin adalah dirinya, maka sah dikatakan sesungguhnya wujud kita adalah wujud dari Tuhan. Tetapi dengan catatan bahwa kita harus menyertakan takwil atau interpretasi yang telah dijelaskan di atas.

Bercerminlah kita kepada semesta. Dengan begitu kita akan menemukan Tuhan. Pahamilah semesta. Dengan begitu kita akan memahami Tuhan. Pamilah pula bahwa cerminlah (dalam hal ini semesta) yang mengenalkan diri kita akan diri kita sendiri. Maka ketika kita telah paham dengan diri kita sendiri lantaran cermin yang kita gunakan itu, kita sesungguhnya telah mengerti hakikat Tuhan, Dzat yang memancarkan nur-Nya kepada semesta raya. Allau A’lam.

*Tulisan ini disari dari kitab Al-Maslak Al-Jaliy fi Hukm Syath Al-Waliy karya Imam Burhanuddin Ibrahim Ibn Hasan Al-Kuraniy Al-Madaniy terbitan Darat Al-Karaz, cet. 1, 2011

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram