Dalam rangka mengenali tubuhnya sendiri, manusia
membutuhkan sebuah cermin. Dengan cermin itu manusia bisa melihat dirinya sendiri
secara langsung; menelisik tiap lekuk tubuhnya, meneliti tiap-tiap jengkal
bagian tubuhnya, memperhatikan lipatan-lipatan dari tubuhnya.
Manusia tak mampu memungkiri, cerminlah yang terkadang
mengenalkan dirinya akan dirinya sendiri. Dengannya ia tahu bagaimana ia musti
berdandan dan bersolek demi kebutuhan dan atau
tujuan memperindah diri. Dengannya pula, manusia memperbaiki penampilan
sekiranya ia merasa tidak merasa nyaman dengan penampilannya sebelumnya. Hidup
manusia tak bisa lepas dari cermin dan memang tidak mungkin lepas dari cermin.
Tapi pernahkah sesekali saja, manusia bertanya tentang
siapa yang berada dalam cermin itu ketika ia bercermin? Siapakah yang menirukan
lenggok dan gestur tubuhnya dalam benda datar itu? Apakah itu ia atau justru
bukan ia? Memburu pertanyaan semacam ini ternyata penting dan berdampak besar
bagi lahirnya sebuah teori relasi antar Tuhan dan semesta, atau manusia
secara khusus.
Ya, Ibn Arabi, seorang sufi terkemuka yang mempunyai magnum
opus bertajuk: Futuhat al-Makiyyah. Melalui cermin, sufi yang juga
seorang teolog ini, memunculkan sebuah teori yang sebagai titik tolak amsaliah
terhadap relasi Tuhan dengan manusia. Teori ini memuat pembahasan yang
menempati taraf sangat urgen. Dan dalam taraf yang demikian tersebut, maka
dirasa perlu menghadirkan sebuah catatan singkat mengenai Teori Relasi Tuhan
dan Manusia dengan bersandar pada pemikiran Ibn Arabi, seorang Muhaqqiq
yang begitu daqiq.
Tuhan dan Semesta
Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: “Aku adalah harta
karun yang tersembunyi. Aku sangat cinta untuk diketahui. Maka aku menciptakan
semesta. Barangsiapa telah mengetahui semesta, ia telah mengetahui diriku.”
Hadits ini menunjukkan adanya relasi aktif antara Tuhan
dan semesta. Relasi itu bersifat kontingen sejak diciptakannya semesta dan
sejak adanya manusia menghuni semesta dengan menempati bumi. Relasi yang
demikian bukan dalam sudut pandang bahwa Tuhan adalah
penjaga, rabb, semesta dan seisinya, tapi merupakan relasi yang dalam sudut pandang Tuhan
sebagai Tuhan yang cinta untuk diketahui dan dipahami. Melalui semesta, Tuhan
melumerkan dirinya agar bisa diketahui oleh makhluknya. Ketika Tuhan melihat
semesta, ia seperti melihat pantulan dirinya.
Entah antara kaum sufi dengan kaum filsuf muslim semacam
ada kesepakatan atau tidak, tetapi ada satu kompensasi yang menunjukkan
kedekatan pemikiran antara keduanya mengenai terjadinya semesta ini.
Menurut kaum sufi, Tuhan adalah dzat yang membuat semesta
jadi tampak dengan melimpahkan cahayanya. Ketika cahaya Tuhan memancar kepada
hakikat yang mungkin adanya, maka Tuhan menampakkan apa-apa yang dikehendakinya
untuk ditampakkan. Baik apa-apa itu berupa ruh, mistal ataupun jisim. Teori ini
disandarkan kepada Surat An-Nur:35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Dan
juga kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim: “Nabi
bersabda: Segala puji bagimu. Engkau adalah cahaya langit dan bumi dan apa saja
yang berada di dalamnya”.
Sementara menurut kaum filsuf, salah satunya adalah
Alfarabi, semesta merupakan hasil dari pancaran atau lumeran Dzat Tuhan yang qadim.
Teori semacam ini dinamakan teori emanasi atau dalam bahasa arab dinamakan Nadhariyyat
al-Faidh yang telah dikenal luas. Dengan demikian, teori ini sekaligus
memberi makna bahwa semesta itu qadim dalam zamannya (taqoddum zamany)
bukan zatnya (taqoddum dzaty). Karena ia adalah sesuatu yang melimpah
dari yang qadim.
Meski agak berbeda tapi, kedua teori itu bertemu pada
titik di mana semesta mengada karena terkena limpahan atau pancaran dari Tuhan.
Hanya saja, konsep keduanya berbeda satu dengan yang lain dalam hal apakah
teori itu berarti bahwa Tuhan itu menciptakan semesta dari ketiadaan atau
menciptakan yang sudah ada. Pembahasan ini berada dalam jangkauan tema yang
lain yang lebih rinci jika ditulis dalam satu catatan lain.
Dengan menarik pembahasan mengenai teori penciptaan alam
semesta, kita akan mempunyai gambaran tentang relasi antara Tuhan dan Manusia dilihat
dari sudut pandang bahwa manusia merupakan bagian dari semesta. Dan semesta
adalah sesuatu yang nampak atau wujud karena menerima cahaya Tuhan.
Teori Cermin Ibn Arabi
Jika telah jelas bagaimana semesta itu wujud dan
bagaimana cara Tuhan menampakkah wujud semesta itu dengan pancaran nur-Nya?
Lantas bagaimana hubungan atau relasi antara Tuhan dan semesta dan manusia (sebagai
bagian dari semesta)?
Ibn Arabi memiliki teori cermin untuk menjelaskan relasi
antara Tuhan dan semesta. Dalam kitab Futuhat-nya, ia menjelaskan:
“Gambar yang engkau temui ketika engkau melihat dirimu
sendiri di dalam cermin adalah bukan dirimu. Lantaran hukum sifat cermin yang
berada dalam gambar itu, baik besarnya, kecilnya, panjangnya, maupun pendeknya;
adalah bukan dirimu. Dan lantaran hukum gambar cermin yang berada dalam dirimu
bukan pula itu dirimu. Bukan pula (yang di dalam cermin itu), adalah selain
dirimu; berupa wujud yang serupa denganmu ketika engkau memandang cermin.
Gambar itu bukan pula bukan dirimu karena ia adalah hukum sifat dirimu.
Sesugguhnya engkau tidak ragu bahwa engkau melihat wajahmu dan melihat semua
yang berada di wajahmu. Nyata sudah penglihatanmu di dalam cermin bahwa apa yang
engkau lihat adalah dirimu bukan suatu sifat yang baru saja muncul di dalam
cermin. Maka, apa yang engkau lihat itu bukan selain dirimu dan bukan pula
dirimu.”
Paradoks! Ada paradoks yang menunggangi amsal di atas.
Secara tegas memang Ibn Arabi mengatakan adanya paradoks itu. Ketika seseorang
melihat dirinya dalam cermin, apa yang ia lihat itu bukanlah dirinya dan bukan
pula bukan dirinya. Bukan dirinya karena ia tidak sama dalam bentuk maupun
sifat-sifatnya. Bukan bukan dirnya karena apa yang ia lihat nyatanya adalah
dirinya bukan orang lain. Di sinilah paradoksnya. Dan begitulah relasi antar
Tuhan dan semesta dan manusia. Lebih lanjut Ibn Arabi berkata:
“Begitulah keadaan wujudnya semesta dan Tuhan apabila
engkau mengibaratkannya dengan cermin. Yakni dimensi a’yan tsabitah
(mengenai a’yan tsabitah bisa dilihat di catatan penulis: Dualisme
Konsep Manusia Menurut Ajaran Tasawuf) dan wujud Tuhan. Apabila bagi Tuhan, a’yan
tsabitah merupakan kenyataan maka hal itu adalah hukum cermin dalam gambar
orang yang melihat. Tuhan adalah alam. Ia disifati dengan hukum cermin. Ia
adalah dzat yang nyata dalam kenyataan dengan gambar kenyataan-kenyataan.”
Apabila hal ini disalah-pahami maka akan sampai pada
kesimpulan yang tergesa-gesa dan terburu-buru. Kesimpulan itu akan menimbulkan
fitnah. Orang akan mengatakan mazhab para sufi adalah mazhab yang sesat
sementara ia belum paham dengan betul apa maksud perkataan-perkataan para sufi.
Dengan demikian, perkataan Ibn Arabi di atas perlu pengkajian lebih dalam dan
lebih jauh. Lebih lanjut lagi Ibn Arabi berkata:
“Atau wujud Tuhan adalah hakikat cermin. Dari wujud
Tuhan, a’yan tsabitah melihat apa yang serupa dengannya. Maka a’yan
tsabitah melihat gambarnya di dalam cermin. Ia dan gambarnya dalam cermin
itu jadi saling melihat satu sama lain. Ia tidak melihat apa yang ia lihat dari
segi bahwa ia adalah cermin dari dirinya. Tetapi ia melihat apa yang ia lihat
dari segi bahwa ia melihat dirinya sendiri tanpa bertambah dan berkurang
sedikitpun. Seperti halnya tiada sangsinya orang yang melihat wajahnya dalam
cermin bahwa wajahnya bisa melihat. Maka dari cermin itu diketahui sebuah hukum
bahwa wajahnya tidaklah melihat. Begitupun yang lainnya.”
Penjelasan tersebut di atas berhubungan dengan orang yang
mengatakan bahwa: Tuhan adalah diriku dan wujudku dan aku adalah dirinya dan
wujudnya. Perkataan ini perlu ditakwili agar tidak terjerumus ke dalam paham ittihad
dan hulul. Dan jelaslah kiranya apa yang dipaparkan oleh Ibn Arabi
mengenai teori cermin bahwa ittihad dan hulul tidaklah mungkin
baik secara akal, syara’, maupun teofani. Dengan melihat teori cermin, jelas
pula hubungan atau relasi antara Tuhan dan manusia. Tuhan adalah cahaya
semesta. Tuhan adalah diriku dan wujudku. Artinya adalah ‘Tuhan’: cahayanya
yang memancar kepadaku membuatku nyata ketika aku berada dalam kegelapan
ketiadaanku, adalah ‘diriku dan wujudku’.
Dalam kesimpulannya, Ibrahim Al-Kurany mengatakan:
“Orang yang melihat dalam cermin, apabila ia mengatakan
kepada gambar yang ia temui di sana: ‘Gambar itu bukanlah gambarku’; artinya,
ia seperti halnya gambar yang di luar cermin tanpa adanya keterpautan; maka ia
adalah orang yang berkata benar. Sebab gambar yang berada dalam cermin dihukumi
atau disifati dengan sifat cermin: baik besarnya, kecilnya, panjangnya, dan
pendeknya. Dan gambar itu, dalam kenyataannya bukanlah merupakan sifat dan
hakikat dari gambar yang berada dalam cermin.”
“Apabila ia mengatakan: ‘Itu adalah gambarku’ tetapi
tidak secara mutlak. Artinya gambar yang berada dalam cermin itu tetap ia
disifat dengan cermin dan dalam bentuk yang lain; maka ia adalah orang yang
berkata benar pula. Karena gambar itu bukanlah gambar selain dirinya atau berupa gambar wujud-wujud yang berada di luar
cermin. Bahkan tidak diragukan bahwa gambar itu adalah gambar dirinya. Akan
tetapi ia menjadi nyata di dalam dimendi nyata berdasarkan kenyataan tersebut
melalui berbentuknya ia dengan bentuk yang lain daripada bentuk realitasnya
secara keseluruhan.”
Di sini letak paradoksnya teori cermin. Ketika Tuhan
melihat semesta, ia seperti melihat pentulan dirinya sendiri. Seperti halnya
ketika kita melihat dalam cermin kita seperti melihat diri kita sendiri. Dengan
itu, sah dikatakan bahwa alam adalah bukan Tuhan jika melihat pengertian bahwa
gambar yang berada dalam cermin bukanlah merupakan gambar yang berada di luar
cermin. Sah pula dikatakan bahwa semesta adalah Tuhan tapi dengan qayyid;
bahwa wujud semesta tetaplah berada dalam wujudnya. Dan Tuhan tetaplah dengan
wujudnya yang tidak diketahui (majhul). Dengan demikian, relasi antara
Tuhan dan manusia adalah relasi antara orang yang bercermin dengan gambar atau
pantulan yang berada dalam cermin itu.
Penutup
Melalui semesta, manusia bisa menemukan Tuhan. Bukan
karena Tuhan adalah semesta itu sendiri. Melainkan karena semesta adalah bekas
atau atsar dari Dzat Tuhan yang memancar sehingga semesta jadi mengada
dan wujud. Benar apa yang dikatakan dalam hadits qudsi di muka bahwa dengan
memahami semesta, manusia bisa memahami Tuhan. Hadits itu dikuatkan dengan hadits:
“Barang siapa mengetahui dirinya, maka sesungguhnya ia telah mengetahui
Tuhannya.”
Relasi antara Tuhan dan semesta adalah seperti relasi
antara orang yang bercermin dengan gambar yang ada dalam cermin. Dengan sudut
pandang bahwa gambar yang ada dalam cermin adalah dirinya, maka sah dikatakan
sesungguhnya wujud kita adalah wujud dari Tuhan. Tetapi dengan catatan bahwa
kita harus menyertakan takwil atau interpretasi yang telah dijelaskan di atas.
Bercerminlah kita kepada semesta. Dengan begitu kita akan
menemukan Tuhan. Pahamilah semesta. Dengan begitu kita akan memahami Tuhan.
Pamilah pula bahwa cerminlah (dalam hal ini semesta) yang mengenalkan diri kita
akan diri kita sendiri. Maka ketika kita telah paham dengan diri kita sendiri
lantaran cermin yang kita gunakan itu, kita sesungguhnya telah mengerti hakikat
Tuhan, Dzat yang memancarkan nur-Nya kepada semesta raya. Allau A’lam.
*Tulisan ini disari dari kitab Al-Maslak Al-Jaliy fi Hukm
Syath Al-Waliy karya Imam Burhanuddin Ibrahim Ibn Hasan Al-Kuraniy Al-Madaniy
terbitan Darat Al-Karaz, cet. 1, 2011
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar