“Agamakah tujuan, atau Tuhan?”
Agama bisa jadi menjadi ancaman sekaligus anugerah bagi manusia. Entah mana yang perlu diamini, tapi jelas bahwa terlalu sering kita menyaksikan agama bertaring srigala. Jika seorang ateis berani dengan lantang mengatakan bahwa agama adalah kumpulan beberapa waham, syak-wasangka, maka kita tak perlu sekeras itu. Kita tetap meletakkan agama di atas segalanya, bahkan sering di atas Tuhan.
Bahwa kita perlu sebuah refleksi, setidaknya sebuah
getaran, untuk membuka beberapa hal yang sengaja kita tutup. Agama, yang kita
bela, yang kita simpuli mati, telah membawa kita kepada pemahaman yang buta.
Segalakah agama itu? Segalanya, bagi mereka yang menganggap agama adalah
tujuan. Bukan segalanya, bagi mereka yang menganggap agama adalah wasilah atau
perantara. Inilah pertanyaan kita bersama, sebagai agamawan. Juga pertanyaan
seorang Kiai nyentrik, Gus Mus.
Gus Mus adalah salah satu dari mereka yang menganggap
bahwa agama bukanlah tujuan. Di sinilah, tepat di sini, orang seringkali
menyalah-pahami apa yang belum mereka pahami. Tentu, Kiai nyentrik itu
menganggap agama adalah perantara. Sebab yang menjadi tujuan adalah Tuhan.
Berarti pernyataan ini memuat sebuah gagasan bahwa agama
selain islam bisa dibenarkan?
Agaknya perlu disimak dulu analogi sederhana dari Gus
Mus: “Jika kita ingin ke Jakarta, misalnya, maka kita bisa memilih beberapa
alternatif transportasi; darat, laut, udara dengan berbagai variannya. Jalur
darat kita bisa menggunakan kereta api. Jalur laut kita bisa menggunakan kapal.
Tapi apa yang terjadi jika kedua jalur itu memiliki gangguan? Darat banjir
total, laut badai besar. Maka, tak ada pilihan lain untuk menuju Jakarta selain
jalur udara. Jalur udara inilah islam. Dan islam, pada fragmen ini, adalah
sebuah wasilah atau perantara”.
Analogi yang cerdas dari Gus Mus ini sebenarnya untuk
membuka mata hati kita, sebagai agamawan, pada umumnya, dan sebagai muslim,
pada khususnya, agar kita tidak mati-matian memperjuangkan perantara dan
melupakan tujuan. Dalam redaksi di muka: meletakkan agama di atas Tuhan.
Sekaligus, dalam pengertian yang umum, pernyataan itu memberi pelajaran agar
kita tidak terlalu fanatik dengan satu keyakinan sehingga mengorbankan hal yang
lebih substansial.
Lantas, apa yang sebenarnya substansial?
Yang substansial adalah apa yang diajarkan oleh islam
mengenai lima hal yang harus dijaga: menjaga jiwa (hufdzun nafs),
menjaga agama (hifdzud din), menjaga harta (hifdzul mal), menjaga
keturunan (hifdzun nasl), dan menjaga akal (hifdzul aql). Lima
inilah yang perlu dijaga, oleh siapapun, dan apapun agamanya.
Menjaga jiwa artinya setiap individu berkewajiban
membiarkan orang lain untuk hidup, untuk mempertahankan nafasnya. Jika karena
suatu perbedaan lantas mengorbankan nyawa manusia, maka fungsi dari kelima
substansi itu jadi mandul. Begitu juga substansi yang lainnya berlaku
sebagaimana mestinya, terutama menjaga agama. Secara redaksi, tidak disebutkan
menjaga islam, tapi lebih umum dari itu, agama; kepercayaan yang bisa jadi dianut
oleh orang lain, juga harus dijaga oleh siapa-siapa yang beragama. Dengan
membiarkan (membiarkan bukan berarti kita berhenti mengajak kepada apa yang
kita yakini benar; islam) orang beragama lain menjaga agamanya, maka kita turut
serta menjalankan salah satu dari lima substansi di atas.
Kita perlu kenyang dengan segala aksi tidak manusiawi
dari mereka yang mengaku manusia. Ambisi lebih menguasai
daripada nurani. Ambisi yang meledak, dalam taraf apapun, dan dari sudut
manapun, tak bisa dibenarkan. Ambisi (dalam bahasa agama, serakah) tentu tak
dianjurkan, atau justeru dilarang. Ambisi, menurut akal, tentu tak mendapat tempat
sebab akan mengacaukan beberapa hal yang tabi’i atau alamiah. Kedua
barometer di atas, berupa (ajaran) agama dan akal, jika digunakan secara
bersamaan dan beriringan akan mendatangkan kemaslahatan yang berdasarkan
kesadaran.
Jika agama menjadi topeng manusia untuk memuluskan ambisi
mereka; ambisi kekuasaan, ambisi keabadian, ambisi keakuan, dan segudang
ambisi-ambisi yang lain; maka dalam hal ini, hak agama mengalami reduksi. Agama
tak ayal jadi sebuah arena memuluskan aksi, bukan menjadi ladang menanam benih
kasih.
Sekali lagi, agama bukanlah segalanya, agama bukan
tujuan, sebab agama seringkali menjadi tameng berbagai kelaliman. Lantas, apakah
dengan begitu agama menjadi tidak penting? Penting! Agama tetap harus ada,
sebagai kontrol sosial; tapi dengan nuktah: agama harus menjadi wasilah untuk
menuju tujuan, Tuhan.
Gus Mus telah membaca itu, telah memberi pelajaran buat
kita. Maka ia lebih suka dipahami daripada disalah-pahami. Bukan seperti ateis
laiknya Nietzche, yang lebih suka disalah-pahami daripada dipahami. []
Bagus, Mas. Layakuntuk dilanjutkan.
BalasHapusOke makasih sudah mampir.
Hapus