Pages

Agama (Bagian I)


Agamakah tujuan, atau Tuhan?”

Agama bisa jadi menjadi ancaman sekaligus anugerah bagi manusia. Entah mana yang perlu diamini, tapi jelas bahwa terlalu sering kita menyaksikan agama bertaring srigala. Jika seorang ateis berani dengan lantang mengatakan bahwa agama adalah kumpulan beberapa waham, syak-wasangka, maka kita tak perlu sekeras itu. Kita tetap meletakkan agama di atas segalanya, bahkan sering di atas Tuhan.

Bahwa kita perlu sebuah refleksi, setidaknya sebuah getaran, untuk membuka beberapa hal yang sengaja kita tutup. Agama, yang kita bela, yang kita simpuli mati, telah membawa kita kepada pemahaman yang buta. Segalakah agama itu? Segalanya, bagi mereka yang menganggap agama adalah tujuan. Bukan segalanya, bagi mereka yang menganggap agama adalah wasilah atau perantara. Inilah pertanyaan kita bersama, sebagai agamawan. Juga pertanyaan seorang Kiai nyentrik, Gus Mus.

Gus Mus adalah salah satu dari mereka yang menganggap bahwa agama bukanlah tujuan. Di sinilah, tepat di sini, orang seringkali menyalah-pahami apa yang belum mereka pahami. Tentu, Kiai nyentrik itu menganggap agama adalah perantara. Sebab yang menjadi tujuan adalah Tuhan.

Berarti pernyataan ini memuat sebuah gagasan bahwa agama selain islam bisa dibenarkan?

Agaknya perlu disimak dulu analogi sederhana dari Gus Mus: “Jika kita ingin ke Jakarta, misalnya, maka kita bisa memilih beberapa alternatif transportasi; darat, laut, udara dengan berbagai variannya. Jalur darat kita bisa menggunakan kereta api. Jalur laut kita bisa menggunakan kapal. Tapi apa yang terjadi jika kedua jalur itu memiliki gangguan? Darat banjir total, laut badai besar. Maka, tak ada pilihan lain untuk menuju Jakarta selain jalur udara. Jalur udara inilah islam. Dan islam, pada fragmen ini, adalah sebuah wasilah atau perantara”.

Analogi yang cerdas dari Gus Mus ini sebenarnya untuk membuka mata hati kita, sebagai agamawan, pada umumnya, dan sebagai muslim, pada khususnya, agar kita tidak mati-matian memperjuangkan perantara dan melupakan tujuan. Dalam redaksi di muka: meletakkan agama di atas Tuhan. Sekaligus, dalam pengertian yang umum, pernyataan itu memberi pelajaran agar kita tidak terlalu fanatik dengan satu keyakinan sehingga mengorbankan hal yang lebih substansial.

Lantas, apa yang sebenarnya substansial?

Yang substansial adalah apa yang diajarkan oleh islam mengenai lima hal yang harus dijaga: menjaga jiwa (hufdzun nafs), menjaga agama (hifdzud din), menjaga harta (hifdzul mal), menjaga keturunan (hifdzun nasl), dan menjaga akal (hifdzul aql). Lima inilah yang perlu dijaga, oleh siapapun, dan apapun agamanya.

Menjaga jiwa artinya setiap individu berkewajiban membiarkan orang lain untuk hidup, untuk mempertahankan nafasnya. Jika karena suatu perbedaan lantas mengorbankan nyawa manusia, maka fungsi dari kelima substansi itu jadi mandul. Begitu juga substansi yang lainnya berlaku sebagaimana mestinya, terutama menjaga agama. Secara redaksi, tidak disebutkan menjaga islam, tapi lebih umum dari itu, agama; kepercayaan yang bisa jadi dianut oleh orang lain, juga harus dijaga oleh siapa-siapa yang beragama. Dengan membiarkan (membiarkan bukan berarti kita berhenti mengajak kepada apa yang kita yakini benar; islam) orang beragama lain menjaga agamanya, maka kita turut serta menjalankan salah satu dari lima substansi di atas.

Kita perlu kenyang dengan segala aksi tidak manusiawi dari mereka yang mengaku manusia. Ambisi lebih menguasai daripada nurani. Ambisi yang meledak, dalam taraf apapun, dan dari sudut manapun, tak bisa dibenarkan. Ambisi (dalam bahasa agama, serakah) tentu tak dianjurkan, atau justeru dilarang. Ambisi, menurut akal, tentu tak mendapat tempat sebab akan mengacaukan beberapa hal yang tabi’i atau alamiah. Kedua barometer di atas, berupa (ajaran) agama dan akal, jika digunakan secara bersamaan dan beriringan akan mendatangkan kemaslahatan yang berdasarkan kesadaran.

Jika agama menjadi topeng manusia untuk memuluskan ambisi mereka; ambisi kekuasaan, ambisi keabadian, ambisi keakuan, dan segudang ambisi-ambisi yang lain; maka dalam hal ini, hak agama mengalami reduksi. Agama tak ayal jadi sebuah arena memuluskan aksi, bukan menjadi ladang menanam benih kasih.

Sekali lagi, agama bukanlah segalanya, agama bukan tujuan, sebab agama seringkali menjadi tameng berbagai kelaliman. Lantas, apakah dengan begitu agama menjadi tidak penting? Penting! Agama tetap harus ada, sebagai kontrol sosial; tapi dengan nuktah: agama harus menjadi wasilah untuk menuju tujuan, Tuhan.

Gus Mus telah membaca itu, telah memberi pelajaran buat kita. Maka ia lebih suka dipahami daripada disalah-pahami. Bukan seperti ateis laiknya Nietzche, yang lebih suka disalah-pahami daripada dipahami. []

Kairo, 2014


Arif

2 komentar:

Instagram