Kau
ingat, sejak kau diciptakan, telah diletakkan di atas nampan hidupmu, tiga hal
yang tidak mungkin kau rubah. Mereka menyebutnya dengan takdir. Tiga hal itu,
belakangan kita ketahui namanya, namun kita selalu muskil bagaimana bentuk dan
surahnya. Jodoh, rizki, mati. Itulah.
Aku tak
begitu yakin kau bisa mengingatnya. Sebagaimana saat kau disumpah oleh Tuhan,
sebagaimana itulah kau tak ingat apa-apa setelah jiwamu terpenjara dalam jasad.
Kau tentu tahu, Filfus Plato pernah mengatakan bahwa sebenarnya, yang
sebenarnya dari dunia adalah dunia ide. Jiwa kita, jiwa kita yang abadi itu,
sanggup mewadahi segala ingatan, namun, agaknya, kita perlu berusaha untuk
menggali ingatan itu paska terjadinya penyatuan antara jiwa dan jasad.
Jika
kau berkenan, mari kuajak kau berkelana ke pasar malam takdir. Di sana, seperti
kataku barusan, kau akan menemui tiga hal yang bukan komedi putar. Tiga hal
itu, tentunya tak akan mendapatkan porsi yang seimbang jika kesemuanya kita
lahap. Kita hanya akan menggali tentang berbagai hal tentang yang pertama: jodoh.
Pernahkah
kau sedikit berpikir liar, tentang bagaimana tuhan menentukan jodoh bagi setiap
yang merangkak di bumi? Aku yakin, sebelumnya, kau begitu saja merasa yakin
bahwa jodoh adalah yang kelak mendampingimu sampai kau tutup umur.
Semudah
itukah kau memaknai jodoh? Lantas bagaimana dengan mereka yang belum, atau
bahkan tidak sempat menikmati takdir jodoh. Seperti pemuda yang mati sebelum
menikah. Seperti orang gila yang tak pernah kenal cinta. Seperti seorang tua
yang sampai di sisa giginya tak menemui yang mereka sebut dengan jodoh
(pendamping hidup). Ah, aku rasa, pikiranmu masih terjebak doktrin dan kata
orang.
Aku tak
hendak pula memaksamu mempercayai yang aku yakini sekarang. Tapi, kurasa, kau
perlu sedikit mendengarkan
kisahku. Kau tahu, sebelumnya, aku juga sama sepertimu dalam memaknai jodoh.
Begini kisahnya:
Suatu
waktu, seorang lelaki tengah duduk di peron stasiun. Ia memperhatiakan tiap
yang lalu lalang di depannya. Orang-orang begitu sibuk menenteng tas-tas besar,
pun tas-tas kecil tak luput mereka bawa. Ia berpikir, stasiun adalah tempat
orang menanam harapan. Berbagai harapan kadang menemui bentuknya di situ.
Tak hanya
orang-orang sibuk yang mendapatkan perhatiannya. Diperhatikannya pula seorang
perempuan tua, dengan rambut yang tak bisa dihitung berapa jumlah ubannya.
Perempuan itu selonjor di pojok stasiun, di dekat tempat sampah yang bau
muntahan orang-orang. Ia pandangi tiap inci tubuhnya. Ia dapati apa yang telah
ia abaikan selama betahun lamanya. Betapa bahkan, dalam semua yang luput dari
perhatian, terdapat apa yang musti dia ketahui; perempuan itu bermata sayu.
Matanya barangkali menyimpan harapan. Harapan? Masihkan perempuan itu punya
harapan? Barangkali masih: harapan bisa makan, harapan bisa tidur nyenyak,
harapan bisa bertemu sesiapa yang ia tunggu.
Pikirannya
terlempar ke betapa kejamnya sebuah takdir. Jika memang perempuan tua itu tak
bisa menikmati takdir rezeki yang memadai, tidakkah ia diijinkan menikmati
takdir yang lain, berupa hidup bersama sesiapa yang ia cintai. Ia menduga-duga,
bahwa perempuan tua itu telah lama ditinggalkan sesiapa yang ia cintai. Mungkin
setengah abad? Mungkin bahkan selama hidupnya? Atau mungkin, di hari
pernikahannya dulu, ia telah kehilangan sesiapa itu, akibat calon mantennya
kecelakaan saat menuju ke rumah mempelai? Kemungkinan itu masih ada dan
berlaku. Dan takdir, sering tak menjawab kemungkinan yang ada.
Tapi
bisakah kita menyalahkan takdir? Tidak. Bukan takdir yang kita salahkan. Kita
yang seharusnya me-redifinisi makna takdir, terutama takdir jodoh!
Sudikah
kau renungi kisah barusan? Kisah sesederhana itu kerap kau temui, bahkan lebih
rutin daripada jadwal sarapanmu. Di jalan, di pasar, di pabrik, di stasiun, di
terminal, di bandara, semua orang merangkak dengan takdir yang disalahpahami.
Bagaimana kau memaknai yang begini? Bagaimana kau mengartikan yang begitu? Rumitkah?
Terlalu rumitkah takdir itu?
Tidak!
Takdir tidak selalu rumit. Takdir tidak serumit yang kau pikirkan. Jodohku,
jodohmu, dan jodoh kita adalah tentang bagaimana kita mengartikan jodoh.
Pernahkah kau mencoba memahami satu hal; bahwa jodoh adalah ketika aku
mencintaimu sampai mati, bukan ketika kita bersama sampai tuntas usia?
Simpel!
Mencintaimu adalah pelaksanaan takdirku. Bergitu sang penyair pernah berkata.
Tak perlu risau menyikapi takdir yang seringnya tak mau kau ajak berdiskusi.
Kau cukup meyakini perihal makna takdir. Begitu. Dan begitulah.
Sampai
pada akhirnya, jika yang pernah kau harapkan tidak menemui khatimah yang purna,
kau sanggup menerimanya dengan hati yang legewa. Kau cukup mencintaiku, meski
kita ditakdirkan tidak selalu dan senantiasa bersama. Itulah jodoh.
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar