/1/
Malam dan
mimpi seperti tak ada guna; tak mampu memadamkan gulita yang melilit otakku
seperti gurita. Hampir. Sangat perlahan, aku hampir tersesat di labirin
kehidupan yang kata mereka sangat absurd dan tak bermakna. Hidupku, kau tahu,
tak lebih dari angka nol yang lupa akan satu. Semalam, ada yang mencoba
menyalakan pekat di dalam otakku, merengkuh segala macam bentuk kepribadian
diri yang aku asuh sejak dulu.
Semestinya,
aku berlabuh ke dermagamu, kekasih. Tapi aku mencoba tegar dan ingin percaya
bahwa aku bisa sendiri menghadapi gulita yang bagai gurita itu. Dengan begitu,
sebetulnya aku malu, yang dengan sok tabah seolah-olah bisa sendiri padahal aku
sama sekali terliku di labirinku yang itu-itu; aku tak pernah beranjak dari otakku
sendiri selama ini.
Berlabuhlah
aku di dermagamu. Haribaanmu masih sama, tak beda. Hanya saja barangkali ada
yang berbeda dariku; selain bahwa tak ada keraguan sedikitpun akan cintaku dan
setiaku padamu; aku lupa caranya menghibur diri dari hidup yang parodi ini. Semalam,
otakku mencoba berkelekar, tapi basi. Basi. Lelucon hidup tak lebih dari
permainan dadu di pasar malam gelap-gelap. Kekasihku, yang aku butuhkan kadang
semakin membuatku asing dan eksil di matamu.
Kau mengenalku
tak cukup lama. Tapi seolah telah mengasuh hidupku selama separuh usiaku. Tak muluk-muluk,
aku mencintaimu semenjak aku lahir. Sebab kekasih, cinta masa lalu tak lebih
dari rencana masa depan sementara aku berencana mencintaimu melebihi usiaku
saat ini. Kau mengenalku, kau tahu aku. Benarkah kekasihmu ini gagal memahami
hidup dan lantas harus putus asa terhadap masa lalu dan takut menatap masa
depan? Kau lebih tahu ketimbang aku, kekasih.
Kekataku
menunjammu; ia tahu harus kemana mendarat. Masalahku tak lebih banyak dibanding
urusan hidup yang hampir saja tak aku pahami. Sama tak pahamnya aku terhadap
kata-kataku sendiri yang kian bijak. Berlagaklah aku membaca tulisan-tulisanku
yang dulu, dan kutemukan begitu optimisnya otakku. Bandingkan dengan otakku
sekarang ini; ia tak lebih dari pakan asu yang ditinggalkan di pinggir jalan
sampai membusuk. Maukah kau ambilkan otakku itu, kekasih?
/2/
Ada seribu
alasan untuk gagal. Ada satu alasan untuk berhasil. Ini anti-mainstreamku,
kekasih. Satu alasan kenapa harus berhasil? Ibu. Kau lagi-lagi menggunakan
senjata ampuhmu; mengingatkanku akan perjuangan ibu yang dulu pernah aku tulis
dalam catatan-catatan yang akhirnya membawamu kepadaku. Kau ingat kekasih? Kau begitu
terharu membaca catatanku itu. Di luar itu, aku tak menyangka kau itu yang
akhirnya akan tetap memelukku.
Bilapun hidupku
masih tak tentu, dengan prestasi akademik yang entah, dengan kondisi ekonomi
yang mentah, dengan otakku yang kau hampir saja tak tahu kemana ia mengarah;
tapi aku masih punya harapan di antara bangunan kata-kataku. Aku masih bisa
menulis kata-kata bijak dan berlagak mewakili orang-orang yang senasib. Sementara
itu, aku bisa tak henti-hentinya mengutuk diriku sendiri karena aku gagal dalam
membuat kata-kata yang mampu mewakili nasibku.
Kekasih,
benarkah ada yang perlu aku yakini di dunia ini?
Jika hanya
kau keyakinanku, bawa aku ke jalan keyakinan akan apa yang telah kauyakini. Kau
tahu musti bagaimana memperjuangkan hidup. Bawa aku kesana. Kau tahu musti
bagaimana memandang kegagalan. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana
memaknai usaha. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana memperjuangkan
keyakinan. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana menjadi diri sendiri. Bawa
aku kesana. Bawa aku kemanapun kau suka.
Kepasrahan
adalah kata-kata yang gagal menyampaikan makna. Aku sepasrah huruf yang
kaulantunkan; sepasrah kata yang aku riwayatkan, sepasrah bibir yang enggan kau
lepaskan. Bila pasrah adalah jalan tebaik untuk menujumu, aku akan lakukan
semampuku. Tentu, kau tahu, tingkat kemampuanku seberapa besar.
Kekasih,
ubahlah cara berpikirku dalam memandang dunia. Aku ingin menjadi keyakinan yang
senantiasa kau perjuangkan. Jika kau keyakinanku, aku harap akulah keyakinanmu.
Dengan demikian, kita akan sama-sama saling memperjuangkan.
Tapi,
kekasih, keyakinan justru lantas hampir redam setelah aku gagal memahami diriku
sendiri dan dengan demikian hampir gagal memahami hidup. Kau tentu akan
menyekalku dan mengatakan: cara berpikir orang berpendidikan dan berpendirian
bukan seperti itu. Tapi mungkin saja kau tak sekeras itu, kekasih. Boleh jadi
kau hanya akan memegang tangaku seraya berkata: aku akan senantiasa bersamamu
sampai jika pun kau gagal percaya akan diriku.
Tuhan memberi
apa yang aku butuhkan. Kau memberi apa yang aku inginkan. Jika tuhan
mengijinkan aku mencintaimu melebihi dirinya, aku akan lakukan. Tapi tentu tuhan
akan tak mengijinkan hal itu. Barangkali aku cukup mencintaimu sedalam apa yang
sanggup dijangkau oleh otakmu. Cukup.
/3/
Ingatkan
aku, kekasih: darahku darah Zuhdi, seorang yang tak pernah menyerah dengan
keadaan. Ia pernah terasingkan, terkucilkan, dan terusir dari tanah kelahiran
menuju tanah rantau di Sumatra. Zaman PKI ia berada di garda paling depan. Tak hanya
itu, masa ninja, ia paling getol melindungi para kiai. Kau tahu, aku sekali
pernah melihat abahku menangis. Dalam keadaan apa? Dalam keadaan mengenang Mbah
Zuhdi. Abahku bilang, ia belum menemukan orang yang seperti Mbah Zuhdi. Mbah Zuhdi,
ceritanya, hampir selalu tahu apa yang dipikirkan anaknya.
Sekali lagi,
ingatkan darah Zuhdi mengalir di darahku. Jika belum ada yang mewarisi
wibawanya, aku akan mewarisinya. Jika belum ada yang mewarisi intelektualnya,
aku akan mewarisinya. Jika belum ada yang mampu mengasuh ribuan santri seperti
dirinya, aku akan mengasuh puluhan ribu santri. Jika belum ada yang mati dalam
keadaan dikenang sepanjang usia, aku akan mati dan dikenang sepanjang waktu.
M.S.
Arifin, jika hanya mengaji kitab kuning, bukankah daramu darah Zuhdi? Jika hanya
soal itikad NU, bukankah daramu darah Zuhdi? Jika hanya soal puasa muteh
dan mbisu, bukankah darahmu darah Zuhdi? Zuhdimu, telah terbaring lebih
dulu, di sana, di tanah yang hampir tenggelam oleh amuk alam. Kau bisa, kau
mampu, kau sanggup. Alasan apalagi yang kau buat killah?
/4/
Ingatkan
aku, kekasih, kepada ibuku yang tiap hari mengayuh sepedanya menuju, kata orang,
ladang rezeki. Ibuku, kau tahu, lebih tak mampu melihat anaknya menangis
daripada harus kehujanan di saat musim hujan dan kepanasan di saat musim
kemarau. Ia lebih tak mau anaknya menanggung keinginan untuk sekolah di luar
negeri daripada memaksakan diri naik haji. Ibuku, kau tahu, kekasih, adalah
wanita yang pernah aku kecewakan.
Untuk itu,
apakah airmata sanggup membayar penyesalan? Tak sanggup, kekasih, airmata hanya
menunda khilaf. Ia lebih butuh melihat anaknya mapan dan tercapai semua
keinginannya daripada melihat anaknya menangis menyesali perbuatannya yang
dulu-dulu. Ibuku, kau tahu, adalah wanita yang meminjam lengan tuhan untuk
membelaiku dengan kenyamanan.
Ingatkan
aku kepada ibuku yang tak tahu soal lain selain jumlah uang yang berhasil ia
kumpulkan di ember hijau di pojok warungnya. Ia sungguh tak mau tahu betapa
gemuruhnya dunia luar. Ia lebih nyaman memandang anaknya lewat layar datar dan
melihat anaknya gemuk. Ia lebih mau melihat anaknya tidur dengan nyenyak di
musim dingin.
Pipiku basah
dan airamataku menjadi sah saat menangisi perempuan tua itu. Aku masih ingat dengan
apa, yang begitu lugunya ibuku khawatirkan, setelah aku tak di rumah: siapa
yang nanti membantu ibu saat pergi ke pasar? Ibuku, ia telah aku ajari membawa
sepeda motor. Dengan begitu, ia tak perlu khawatir lagi kakinya kena pedal
sepeda yang lancip. Ibuku, kau tahu, masih dan akan selalu begitu: menjadi ibu
yang dirindukan anaknya. Maukah kau menjadi ibu seperti ibuku, kekasih?
Ibuku,
kau tahu, adalah alasan kenapa aku harus bangkit dari tidurku. Ingatkan aku akan
dirinya, kekasih, selalu, sepanjang kau ingat aku.
/5/
Ingatkan
aku kepada abahku, kekasih. Lelaki pendiam yang selalu diam-diam menyimpan
wajahku dalam matanya itu sekarang sudah tua. Ia hampir saja kena PHK karena
perusahaan tempat ia bekerja gulung tikar. Ia sekarang di rumah, menggembala
beberapa ekor kambing yang pada lebaran lalu sudah ada beberapa yang ia
korbankan.
Ia diam.
Tapi ia selalu tahu yang terbaik buat anaknya. Ia tahu harus menjemput anaknya
sepulang kuliah. Ia tahu apa yang anaknya butuhkan di perantauan. Kekasih,
bagaimana mungkin aku tak rindu kepadanya? Bagaimana mungkin aku sanggup
menodai perjuangannya? Ingatkan aku akan dirinya. Ingatkan. Kekasihmu ini
adalah kekasih yang sering salah sendiri.
/6/
Kekasih,
bertahanlah aku sebagai orang yang ingin menjadikanmu sebagai yang halal
bagiku. Jika kau bisa yakin denganku, tolong yakinkan aku bahwa aku yang
terbaik buatmu. Maka demikian, aku tak musti sibuk menggigil dalam
ketidak-pastianku. Kau bisa selalu memelukku dan memberiku kenyamanan setelah
aku gagal memahami apapaun dari diriku.
Cinta selalu
berlaku sebagaimana mestinya. Mestinya aku harus memantaskan diriku untukmu dan
kau bisa memulainya dengan meyakinkanku. Seperti sifat sempurna yang gagal
merengkuhmu, setidaknya, dengan retak ini, kekasih, kau akan selalu menganggap
aku manusia; selain sesekali aku akan menjadi malaikat buatmu.
Kau tak
perlu mengingatkaku akan dirimu, kekasih. Kata-kata yang kau hujankan kepadaku
lebih dari sekedar cukup untuk membuatku tenggelam. Aku telah tenggelam dalam
ingatanku. Semoga aku tak mati kehabisan nafas.
Adalah barangkali
aku tak lebih gagal dari luh yang mengganggu matamu. Aku tak lebih gagal dari suara
tangis yang bergetar di bibirmu. Aku tak lebih gagal dari dadamu yang sesak. Aku
tak lebih gagal memahami apa yang kau inginkan dari hidupku.
Meski aku
hampir gagal memahami hidupku, kekasih, tapi aku bisa belajar mulai dari saat
ini dengan memahami matamu yang rembulan dan kepercayaanmu yang cahaya. Aku suka
muluk-muluk dalam mencitaimu. Jika kau inginkan aku sesedarhana apa dalam
memandang hidup, aku bisa belajar lagi dari mencintaimu; belajar mencintaimu
seperti gerabah yang tak mau dibuat dengan gegabah; belajar mencintaimu seperti
perahu yang ditingkap angin hingga goyang; belajar mencintaimu dengan mempercayai
apa yang kau percayai. Kekasih, maukah kau bantu aku? **
Kairo,
2014