Puisi adalah ungkapan hati, begitu kita sering mendengar
orang berkata. Tetapi klisekah perkataan ini? Bisakah kita berpuisi hanya dari
hati tanpa melibatkan sedikit saja sensibilitas kemampuan otak kita, misalnya,
dalam merangkai kalimat dan memilih diksi yang tepat? Saya sering membayangkan
bahwa suatu saat akan ada kritik rasionalitas atas puisi, yang lebih dari
persoalan paradoksal dan ambiguitas, yakni kritik rasio yang sudah lebih dulu
dibangun oleh Immanuel Kant dalam proyek trilogi kritiknya.
Barangkali juga merupakan usaha yang nonsens jika saya
mengulik puisi dari segi akal. Puisi yang akal-akalan, kita tahu, tak lebih
dari puisi rumus, silogis, dan akan jadi kering bila ditinjau dari kritik estetika.
Tetapi itulah tugas tulisan pendek ini; ingin membeberkan kiranya bagian yang
mana dari puisi yang bisa dimasuki kritik rasio tanpa mengabaikan esensi
estetis dari puisi tersebut. Mungkin ada baiknya jika saya mulai dari
penjelasan mengenai pandangan Kant dalam kritik, terutama di buku pertamanya,
rasio murni (pure reason).
Kita mulai dari kategori pemahaman. Kant membagi kategori
pemahaman menjadi empat bagian. Kategori inilah yang tiap orang memiliki daya
bawaan meskipun ia tidak pernah mengenyam bangku sekolah, dengan syarat bahwa
akalnya normal. Pertama, kuantitas. Contohnya, banyak, sedikit, ringan, berat,
dll. Kedua, kualitas. Contohnya, afirmasi, negasi, dll. Ketiga, relasi.
Contohnya, sebab-akibat, substansi dan atribut, dll. Keempat, pengandaian.
Contohnya, mungkin dan tidak mungkin, ada dan tiada, dll. Keempat kategori ini,
seperti yang disinggung sebelumnya, adalah daya bawaan dari tiap individu. Yang
dimaksud dengan daya bawaan berbeda dengan ide bawaan. Daya bawaan artinya
bahwa jika kita menggunakan akal kita dan akal kita tidak bermasalah, maka kita
bisa mengenali atau paling tidak membedakan empat kategori di atas.
Selanjutnya, Kant juga membagi kategori pengetahuan.
Menurutnya, kategori pengetahuan dari segi epistemologi ada dua. Pertama,
apriori, yaitu, pengetahuan yang tidak dirujuk kepada realitas. Kedua,
apesteriori, yakni, pengetahuan yang bergantung kepada pengalaman. Kategori ini
pararel dengan kategori pengetahuan dari segi semantik. Kant membaginya menjadi
dua. Pertama, analitik, yakni, predikat sudah termuat di dalam objek. Kedua,
predikat menambahkan sesuatu kepada objek. Kategori pertama bisa dipahami hanya
dengan menggunakan logika an sich. Tetapi kategori yang kedua
tidak bisa dipahami hanya dengan logika saja, artinya, harus dirukjuk pada
pengalaman dan realitas.
Penjelasan singkat ini penting untuk mengklasifikasi
bentuk-bentuk ungkapan dalam puisi. Boleh jadi, ungkapan dalam puisi merupakan
gabungan dari kategori-kategori di atas. Misalnya, analitik-apriori atau bisa
juga analitik-apesteriori, dan sebagainya. Oleh karenanya saya akan memilih
satu puisi dari seorang penyair yang karya-karyanya selalu masterpiece,
Sapardi. Kita akan mengukur pencapaian apa yang dilakukan oleh Sapardi dalam
puisinya jika dihadapkan dengan kritik rasio Immanuel Kant.
***
Hujan, Jalak, dan Daun Jambu
Hujan turun semalaman. Paginya
jalak berkicau dan daun jambu
bersemi;
mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi
menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa
bahagia. Mereka
tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara,
tapi tahu
kapan harus berbuat sesuatu,
agar kita
merasa tidak sepenuhnya
sia-sia.
Puisi bertahun 1992 ini termuat dalam antologi Hujan
Bulan Juni (cetakan pertama 1994).
Baiklah, kita mulai dengan kalimat pertama. Hujan
turun semalaman. Kalimat ini bukan kebenaran yang apriori, tetapi ia
apesteriori. Kita tahu, apesteriori dirujuk kebenarannya dari realitas. Jika
benar tadi malam hujan, maka ungkapan atau kalimat ini bisa dikatakan benar,
tetapi jika sebaliknya, maka hukumnya pun akan sebaliknya. Selain itu, ia juga
bersifat sintetis. Maka, ini merupakan ungkapan sintetik-apesteriori, yang
kebenarannya tidak cukup dibuktikan dengan akal saja tapi harus merujuk pada
realitas.
Paginya / jalak berkicau dan daun jambu bersemi. Kalimat ini juga merupakan
sintetik-apesteriori, yang harus dirujuk pada kenyataannya. Katakanlah, sang
penyair menulis puisinya di saat pagi hari, tepat ketika ia menemukan jalak
berkicau dan jambu bersemi. Kemudian ia ingat, kenapa jalak berkicau
dan jambu bersemi. Dan ia mendapati bahwa semalam hujan. Ini bisa dikategorikan
sebagai hukum relasi, atau lebih rinci sebab-akibat. Tetapi kalimat ini,
ditinjau dari sebab-akibat juga kurang pas. Pasalnya, bagaimana kita bisa
menghubungkan antara turun hujan dengan jalak berkicau? Apakah jalak yang
berkicau harus menunggu hujan turun? Kalau jambu bersemi, kita masih bisa
menghubungkannya. Bahwa hujan yang turun membuat jambu yang dulunya lesu
kembali bersemi.
Kalimat mereka tidak mengenal gurindam / dan peribahasa, tapi menghayati / adat kita yang purba, lebih dari sekedar bisa
dirujuk dari otak dan akal tetapi ia sudah metafisis. Jalak dan jambu adalah
dua makhluk hidup yang tidak berpikir dan tidak memiliki kesadaran. Ungkapan mereka
tidak mengenal gurindam dan peribahasa, jelas adalah kebenaran analitik. Kalimat
ini bisa dikategorikan sebagai analitik-apesteriori. Yaitu, kalimat yang
kebenarannya tidak perlu dirujuk kepada kenyataan tetapi di saat yang sama juga
minta dibuktikan dalam kenyataan. Ungkapan tapi menghayati adat kita yang
purba juga sama purbanya dalam pemahaman kita. Kalimat ini bahkan lebih
jauh sebagai kalimat sintetik-apriori, di mana kita dituntut untuk membuktikan
bahwa jalak dan jambu sejatinya memang menghayati adat manusia yang purba, di
mana kita juga menghadapi aprioritas ketidak-mungkinan jalak dan jambu
menghayati karena mereka tidak memiliki kesadaran.
Selanjutnya tahu kapan harus berbuat sesuatu / agar kita, manusia, merasa bahagia. Kalimat ini juga merupakan
bagian dari sintetik-apriori. Meskipun demikian, transendentalitas kalimat ini
menuntut kita untuk berpikir jauh tentang sebab-akibat yang jika dirunut akan
sampai kepada Tuhan. Katakanlah bahwa sang penyair merasa bahagia mendengar
jalak berkicau dan melihat daun jambu bersemi. Ia akan menghubungkan
kebahagiaannya dengan kejadian yang ia temui. Kemudian, ia akan mencari sebab
dari kejadian yang ia temui itu, dan seterusnya sampai ketemu satu hal: Tuhan
memiliki banyak cara untuk membikin hambanya bahagia. Kalau dalam metafisika
Aristoteles, Dia dinamakan penyebab awal yang seluruh penyebab berakhir
pada-Nya. Puisi ini, melalui analisa kritik rasio Kant, bisa membuat kita
semakin religius.
Terakhir, Mereka / tidak pernah bisa menguraikan / hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu / kapan harus berbuat sesuatu, agar kita / merasa tidak sepenuhnya sia-sia. Sama dengan sebelumnya,
kalimat ini juga sintetik-apriori yang juga menjadi ciri dari ungkapan-ungkapan
agama. Seperti Tuhan itu esa. Bagaimana cara membuktikan bahwa Tuhan esa?
Membuktikannya juga dengan akal. Jadi, negasi dari kalimat Mereka tidak
pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, sepenuhnya adalah
pengalihan yang paradoksal. Yakni, kalimat yang memuat pemahaman yang
berlawanan. Seperti juga ungkapan, meskipun aku diam, sebenarnya aku bicara.
Jadi, meskipun jalak dan jambu tidak pernah bisa menguraikan kata-kata mutiara,
yang jika didengar oleh manusia maka manusia itu akan merasa bahwa hidupnya
tidak sia-sia, tetapi sejatinya, tanpa berkata-kata mutiara pun, jalak dan
jambu sudah bisa membikin manusia merasa, meskipun sejenak, bahwa hidupnya
tidaklah sia-sia belaka.
Kita melihat antara Sapardi dan Kant berkolaborasi
agar manusia senantiasa menghayati kehidupannya sendiri. Puisi Sapardi ini
sangatlah religius, metafisis, dan mengukurnya dari rasio memang terlihat
memaksakan. Tetapi percobaan ini, meskipun belum sempurna, adalah usaha untuk
mengaktifkan daya nalar dan daya intiusi kita dalam berpuisi maupun menilai puisi.
Bahwa jika puisi hanya berdasarkan pada hati saja, maka ia akan cenderung
cengeng dan biasanya sangat lemah dalam teknik. Begitu juga, jika puisi hanya
bersandar pada nalar saja, maka ia akan kering tanpa ruh, mekipun secara
pemilihan diksi begitu canggih. Puisi Sapardi ini bertemu dengan Kant persis
pada lokus bahwa nalar manusia memiliki batasnya. Dan di luar batas nalar itu,
kita tunduk dan memberi ruang pada keyakinan kita. Seperti kata Kant sendiri:
“... [adakalanya] perlu menolak pengetahuan, agar ada ruang bagi keyakinan.” [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar