Seekor
lalat bisa menyimpan ribuan kuman di kaki mungilnya, seekor lebah bisa
menyimpan sari madu di sarangnya, seekor nyamuk bisa menyimpan darah di
perutnya; bisakah seorang lelaki menyimpan kesedihan di kantongnya?
Di
benteng tempat tiga khilafah pernah berkuasa, ia duduk di tubir pembatas di
depan masjid khalifah terakhir. Hari tak pernah sesiang ini, pikirnya. Seorang
lelaki paruh baya menggebyur tubuhnya dengan air minum yang tinggal separo.
Seorang anak kecil yang digandengan ibunya berteduh di bawah pohon kurma,
memegang botol minuman yang airnya habis. Matahari begitu congkak di atas sana,
dan ia, lelaki kurus itu, masih saja menikmati panas yang sanggup mengeringkan
cucian tak lebih dari satu jam.
“Sebaiknya
kau berteduh ke dalam masjid.” Seorang lelaki yang barangkali kawannya
menyarankan.
Ia menggeleng.
Ia ingin menguji lebih panas mana matahari itu dengan hatinya.
“Kau tak
harus sembahyang meskipun kau di masjid,” kata barangkali-kawannya lagi.
Ia
menimpali:
“Masjid
ini seperti barang pameran, bukan tempat ibadah.”
“Terserah,
aku tak mau berdebat. Siang tak pernah sepanas ini. Aku mau berteduh ke masjid.”
Barangkali-kawannya
itu masuk masjid setelah sebelumnya mencopot sepatu ketsnya. Ia masih di posisi
yang sama, di tubir pembatas yang langsung mengantarkannya ke kuburan jika ia
jatuh ke bawah. Benteng itu dibangun di bukit, menghadap hamparan kota yang
semrawut dan padat. Mungkin dulu kota itu tak sepadat dan sesemrawut itu. Masa
lalu memang selalu lebih indah.
**
Sayangnya
tak ada alat penghapus masa lalu, ia berkata pada dirinya sendiri. Semua
catatan atau tulisan yang pernah dihasilkan oleh tangannya kini bersarang di
sebuah tong yang sudah disiram bensin. Tinggal menunggu percikan api saja dan
semua mimpi yang ia bangun harus mundur teratur satu persatu. Puisi, cerpen,
sedikit makalah dan curhatan tak penting bersarang di tong itu, bergulat dengan
tawa, tangis, kenangan, filsafat, dan apapun yang pernah menjadikan mereka
ditulis dan ada.
Korek
api masih di tangannya, tercekik oleh genggaman geram. Dan sepuluh menit yang
lalu bensin satu liter telah ia siramkan dengan ganas ke palung tong,
melunturkan tinta yang melukis puisi dalam kertas A4. Semua akan berakhir
dengan hanya satu percikan api. Tapi korek api masih dicekik oleh tangan
tuannya. Dan si tuan, tampak ragu untuk menghunuskan lidah api ke dalam tong.
Maka ia
pungut satu lembar kertas yang menyembul paling atas di antara tumpukan
kertas-kertas lain di tong yang siap menjalankan tugasnya. Sebuah puisi, dengan
luntur di beberapa hurufnya akibat bensin.
Aku
mencintaimu
seperti
hujan yang menyerahkan
umurnya
pada laut
Aku mencintaimu
seperti
pohon yang memasrahkan
usianya
pada tanah
Ia
mendesah dan mengumpat seadanya. Diremesnya kertas itu dan dilemparkannya ke
dalam tong, bergabung lagi dengan ratusan puisi cengeng lainnya. Di telinganya
masih terngiang perkataan seorang perempuan yang membikinnya menulis ratusan
puisi.
“Kau
terlalu banyak berkata-kata,” kata perempuan itu.
“Maksudnya?”
Lelaki yang diajak bicara tampak tolol.
“Cinta
itu perbuatan, bukan kata-kata. Cinta itu bukti, bukan ucapan bukti. Cinta itu
perjuangan, bukan narasi tentang perjuangan.”
Lelaki
yang diajak bicara diam, tambah tampak ketololannya.
“Kau
terlalu banyak berkata ‘aku mencintaimu’ sehingga kau lupa membuktikannya.”
“Aku
sudah membuktikannya.”
“Dengan
membuat yang kau cintai terluka?”
“Aku
sudah minta maaf soal itu. Aku tidak bermaksud...”
Suara
lelaki itu tercekat, kata-katanya berhenti sebelum selesai. Dan ia merasa
semakin tolol saja.
“Kau
bahkan terlalu sibuk berkata maaf, sementara apa bukti bahwa kau telah
menyesal?”
Si
lelaki tolol itu diam.
“Puisi?
Tidak semua kesalahan bisa ditebus dengan kata-kata. Tidak setiap kesalahan
harus dimintakan maaf. Adakalanya kau hanya perlu melakukan apa yang ia inginkan,
menghindari apa yang ia benci.”
Si
lelaki tolol masih diam.
“Aku
telah banyak kau garami kata-kata sehingga aku sendiri lupa bahwa kata-kata
tidak menyembuhkan apapun. Kau menulis apapun dan segalanya. Kau belajar dari
ratusan bukumu yang mangkrak dan tercecer di seisi kamar, tapi kau hanya kenal
kata-kata. Kau lupa, kehidupan sesungguhnya ada di luar sana; sebuah kenyataan
yang lebih bisa dipegang dari pendapat siapapun dan buku apapun.”
“Tapi
kata-kata bisa menjaga sebuah cinta.” Akhirnya si lelaki tolol berkata.
“Tapi
juga bisa meruntuhkannya.”
Lelaki
tolol tambah tertunduk diam.
Itu
percakapannya dengan kekasihnya beberapa minggu yang lalu, yang mengubah alur
hidupnya. Tidak, sebulan sebelum percakapan itu, ada sebuah percakapan yang
mengubah jalur percintaannya. Percakapan yang ia kutuk tapi sayangnya tak bisa
ia perbaiki. Percakapan itu bukan puisi atau cerpen, ia sadar, yang bisa ia
edit seenak udelnya. Percakapan itulah kenyataan, terkait masa yang tidak
mungkin kembali. Sekeras apapun ia coba memperbaiki percakapan itu dengan
menjelaskan yang sebenarnya kepada kekasihnya, toh kenyataan tak bisa diedit.
Sebuah kata yang telah meluncur akan selalu berhubungan dengan yang bersangkutan
dan jika sudah demikkian ia telah keluar dari ruang semadi pribadi yang privat
ke ruang publik yang melibatkan banyak perasaan. Ia baru menyadari itu setelah
seminggu percakapan sialan itu terjadi. Memang, penyesalan hanya menunda
kesalahan, tidak menyirnakannya.
Sudah
dua puluh menit, bensin di tong barangkali sudah kering dimakan angin malam.
Tapi korek api masih tergenggam di tangannya. Ia ingin mengambil selembar
lagi mimpi-mimpi yang sudah ia bangun selama ini. Buat kenangan terakhir,
batinnya. Dan ia lagi-lagi mengambil puisi. Ia tentu ingat kapan puisi itu
ditulisnya.
Di luar
bahasa
kecemasan
menghambur
ke dalam
Terpencil
ke sudut paling tepi, sepi
Tak
tersisa segema pun dari
percakapan
yang belum selesai
dan doa
yang tertinggal di ritus
Mungkin
di luar bahasa
aku akan
menemukanmu sendiri
terkuyup
oleh
airmatamu sendiri
Percakapan
memang belum selesai, tapi ia tak bisa mengeditnya lagi. Tak ada gema apapun di
sana dan doa tertinggal di ritus sebagai rutinitas tanpa permenungan. Doa tak
lebih penting dari melaksanakan apa yang bisa membikin kita mencapai apa yang
kita minta kepada Tuhan. Kata-kata memang menjengkelkan, ia bisa membangun
semuanya tapi di saat yang sama menyimpan geranat di tubuhnya, yang kapan saja
siap meledak dan meruntuhkan bangunan. Ia ingin hidup di luar bahasa.
Puisi itu
tak diremasnya dan tak pula dibenamkan ke dalam tong. Puisi itu kini terlipat
rapi dan masuk ke kantong jaketnya bersama beberapa lembar uang. Ia aman di
sana.
Korek
api di genggamannya kegirangan karena tugasnya akan segera terlaksana. Lelaki
itu mengambil salah satu kertas dalam tong, acak saja, dan membakarnya dengan
korek api dan melemparkannya ke palung tong. Bensin yang kering tertiup angin
masih cukup ampuh untuk sekedar membuat ludes kertas-kertas lusuh. Di tong itu,
semua mimpinya gosong. Tak ada kenangan lagi. Kata-kata memilih ajalnya
sendiri-sendiri. Lelaki itu bersumpah tak akan lagi menulis sepatah kata pun.
Ia tak mau membangun rumah. Dengan sinis ia berbisik sendiri: “Sesuatu yang tak
pernah dibangun mustahil akan runtuh.” Ia memilih untuk tak membangun apa-apa
lagi. Ia takut bangunannya runtuh.
Kisah
cinta yang ia bangun bertahun-tahun dengan perempuan yang menjadi penghuni
puisinya pun harus runtuh. Ia menyesal telah merong-rong bangunan rumahnya
sendiri dengan percakapan sialan yang akan ia kutuk sumur hidup. Tak ada mesin
waktu. Rumah yang runtuh kehabisan bahan untuk dibangun lagi. Dan ia dan
kekasihnya sepakat untuk meninggalkan rumah itu, atau reruntuhan rumah itu. Ia
tahu kekasihnya akan membangun rumah lagi dengan orang lain. Tapi ia tak tahu
apakah ia masih memiliki keberanian untuk membangun rumah bersama orang lain,
perempuan yang lain. “Sesuatu yang tak pernah dibangun mustahil akan runtuh.”
Ia mengulangi kalimatnya, seperti merapal mantra. Apakah ia percaya dengan
perkataannya sendiri? Ia masih ragu.
**
Di
benteng itu, dua bulan sesudah ia membakar seluruh mimpinya kecuali secarik
puisi, lelaki itu kini menguji lebih panas mana hatinya dengan matahari. Sampai
pukul dua, di mana matahari semakin ganas dan orang-orang memilih berteduh dari
pada mengambil gambar, ia masih duduk di tubir pembatas. Di tangannya ada
secarik kertas yang berisi satu-satunya puisi yang tersisa. Puisi ini puncak
penyesalanku, kesedihanku, ia berkata, mungkin pada angin.
Sesungguhnya
ia ingin sekali membuang puisi yang membujuknya untuk selalu sedih itu. Tapi ia
berpikir kenapa manusia tidak bisa menyimpan kesedihannya di kantong baju
sementara Kanguru saja bisa menyimpan anak di kantong kulitnya. Ia urung membuang
puisi itu. Ia lesapkan lagi kertas itu ke kantong kemejanya, sembari menghibur
diri bahwa ia telah mengantongi kesedihannya. Seperti apapun di kantong apapun,
ia ingin kesedihannya berlaku demikian: bebas disimpan kapanpun dan diambil
kapanpun. Sebenarnya ia tak tahu lagi caranya bahagia. Itu saja. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar