Pages

Majenun

www.azzawiart.com

Majenun adalah seorang wali. Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengisahkan suatu hari ada orang yang bermimpi bertemu dengan Majenun. Orang itu menanyakan apa yang telah Allah perbuat terhadap Majenun, dan ia menjawab: “Dia telah mengampuniku dan menjadikanku hujjah bagi para pecinta.” Mendengar kisah ini, siapapun yang pernah membaca kisah Laila-Majenun, atau mendengar kisahnya, atau sekedar tahu dari gosipan, akan terheran-heran dan bertanya: “Bagaiamana mungkin seorang gila yang mencintai perempuan dengan membabi buta itu dijadikan Allah sebagai duta para pecinta dan diangkat menjadi wali?”
Pertanyaan sederhana bagi kita yang mempertanyakan hal di atas adalah: apakah mudah menjadi seorang pecinta? Tentu jawabannya positif dan ambisius: mudah! Terminologi pecinta yang seperti apa yang pernah nyantol di pembendaharaan otak kita sehingga kita bisa mengatakan bahwa menjadi pecinta itu mudah? Kita tak memungkiri tiap orang mencintai seseorang, atau memiliki perasaan cinta. Tetapi kita tahu, kisah cinta tiap orang berbeda-beda. Ada orang menjalani cinta dengan kisah cinta yang lempeng seperti rel kereta. Ada yang diuji sedikit-sedikit, dan selebihnya lancar-lancar saja. Ada yang nasibnya tragis seperti majenun.
Kita bisa mulai berteorema. Ada orang yang tidak dianugerahi cinta kepada pasangan hidupnya tapi bisa hidup bersama sampai akhir hayat. Ada orang yang dianugerahi cinta kepada yang dicintainya dan bisa bersama sampai akhir hayat. Ada yang dianugerahi cinta kepada yang dicintainya tetapi tidak bisa bersatu sampai akhir hayat. Lebih rinci lagi. Ada orang yang mencintai orang yang juga mencintainya dan bisa bersatu. Ada orang yang tidak mencintai orang yang mencintainya tapi bisa bersatu. Ada orang yang tidak mencintai orang yang mencintainya dan bisa bersatu. Ada orang yang tidak mencintai orang yang mencintainya dan tidak bisa bersatu. Ada orang tidak saling mencintai tapi bisa bersatu. Dan terakhir, penjelasan yang tak penting: ada orang yang tidak saling mencintai dan memang mestinya tidak bersatu.
Dari kategori serampangan ini, kita bisa menerka di barisan yang mana kita ini. Begitu juga, kita bisa menerka-nerka, kisah macam apa yang dialami Majenun sampai-sampai di awal tulisan ini kita menyangkal kemajenunannya dengan mengatakan bahwa menjadi pecinta yang gila itu mudah. Taruhlah kita bisa meletakkan Si Majenun di posisi: orang yang mencintai orang yang mencintainya tapi keduanya sadar bahwa mereka tidak ditakdirkan bersatu. Jika ada orang yang menyangkal bahwa mencintai orang yang tidak mencintai kita itu lebih berat daripada mencintai orang yang mencintai kita meskipun tidak bersatu, maka mari kita sama-sama teropong lebih derita mana.
Detailnya begini: kita lebih mudah membenci orang yang membenci kita daripada membenci orang yang tidak membenci kita. Baiklah, tidak semua yang “tidak-cinta” berarti benci, tapi katakanlah bahwa “tidak-cinta” dan “benci” bertemu dalam satu konstelasi: keduanya sama-sama tidak membutuhkan kita. Beda ceritanya ketika kita harus merelakan orang yang mencintai kita dan kita mencintainya sementara kita sama-sama sadar tidak di dunia ini kita bisa besatu dengannya. Itulah yang dirasakan oleh Majenun, yang kita sangsikan kemajenunannya.
Majenun mengalami cobaan yang luar biasa dalam hidupnya. Sampai-sampai ia pernah menceritakan, tentu dalam syairnya, suatu hari, di saat rindunya benar-benar meledak, ia lewat di depan rumah Laila dan menciumi tembok rumahnya. “Aku lewat depan rumah Laila. Kuciumi tembok rumahnya. Bukan rumahnya yang aku cintai, tapi orang yang menghuni rumah itu.” Jika kalian tak pernah mencintai orang segila Majenun, jangan pernah mencibirnya sebagai zindiq. Cinta itu pemberian yang legalisirnya berada sepenuhnya di tangan Sang Pecinta. Jika Sang Pecinta menitipkan cintanya kepada seseorang, maka hanya Dia yang bisa mencabut cinta itu.
Maka, tak heran jika seorang penulis dalam bukunya ‘Ruh Al-Ruh’ meriwayatkan bahwa Majenun adalah seorng wali yang disembunyikan oleh kegilaan agar tidak diketahui kewaliannya. Mengalami kisah seperti Majenun bukanlah perkara mudah. Saya berani berhipotesa: kenapa Majenun jadi wali? Karena menjalani cinta yang demikian tapi tidak bunuh diri adalah suatu kemewahan yang tidak tiap orang bisa melakoninya. Biasanya orang akan berpikir lebih baik mati saja daripada tidak bisa kawin sama kekasihnya. Meskipun akhirnya ia tidak berani bunuh diri, toh ia pernah berkeinginan untuk mati. Dan berkeinginan untuk mati sama dengan tidak berani lebih lama mencintai dan tidak berani hidup untuk mencintai. Majenun hidup dari cintanya dan ia mati oleh cintanya juga. Majenun berani mencintai untuk hidup dan mati dan berani hidup untuk mencintai yang telah mati. Bagaimana dengan kita wahai para calon Majenun? [*]

Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram