Pages

Filsafat Tangan Kosong dan “Omong Kosong” Filsafat


tanggapan atas tulisan Risalatul Hukmi dalam lsfcogito.org

Bisakah kita berfilsafat dengan tangan kosong? Pertanyaan ini yang pertama terlintas dalam benak ketika ada sebuah tulisan yang menyalahkan cara orang lain dalam berfilsafat (dalam hal ini, tulisan Risalatul Hukmi berjudul “Sejarah, Agama, dan Ideologi ‘Omong Kosong’ (Tentang Filsafat dan Jalan Memutar) yang mengkritik cara Muhammad Al-Fayyadl berfilsafat menggunakan ‘bahasa langit’). Artinya, apakah benar pertanyaan yang saya ajukan di atas hanya retorika belaka? Sepanjang filsafat dipahami tidak seruwet (ruwet bagi yang tidak paham) sekarang, berfilsafat adalah “bertanya”—apapun itu, dari pertanyaan sesederhana “apa” (yang kemudian jauh melangkah ke ontologi), “bagaimana” (yang kemudian jauh lagi ke epistemologi), dan “untuk apa” (yang tambah jauh ke aksiologi); apakah bisa kita berfilsafat tanpa senjata? Bisa, jika kita berpandangan bahwa filsafat hanya tafsir atas dunia dan dengan demikian harus dan memang absah jika dituliskan dengan bahasa sederhana, dan bukan (filsafat) menciptakan dunianya sendiri.

Nietzsche adalah filsuf yang dijuluki “Filsuf Godam”; ya, ia berfilsafat dengan menghantam. Julukan ini bukan soal teknis bagaimana Nietzsche berfilsafat, tapi lebih mengarah kepada isi dan muatan filsafat Nietzsche yang menghantam semua mitos-mitos filsafat dari awal kemunculannya sampai masa di mana Nietzsche hidup, bahkan mungkin sampai entah kapan. Lalu bagaimana dengan cara Nietzsche berfilsafat? Apakah ia menggunakan bahasa sederhana yang jika orang awam membacanya sambil berak pun langsung paham? Saya rasa tidak sesederhana itu menilai filsafat Nietzsche. Romo Setyo pernah berkata bahwa teks-teks Nietzsche bersifat multi tafsir, menggunakan metafor-metafor yang tidak lazim. Bahkan, teks-teks Nietzsche pernah menjadi legitimasi atas rezim Nazi Jerman. Lantas dengan demikian, apa maksud dari bahasa langit dan bahasa bumi jika kita tahu bahwa setiap ilmu punya terminologinya masing-masing. Kita tidak bisa memaksa Psikologi untuk menggunakan bahasa sehari-hari yang tidak njlimet jika memang bahasa sehari-hari itu tidak mewakili daripada kandungan Psikologi tersebut.

Jika yang dipahami dengan “bahasa sehari-hari” adalah bahasa orang awam (dalam konteks Indonesia kadang kata awam bermakna ambigu), dan oleh sebab itu filsafat harus pula didudukkan oleh bahasa awam, maka jauh lebih dulu kita perlu menggeser sejarah filsafat ke kelas bawah (yang kesehariannya tak pernah bergelut dengan kata “faktisitas, fenomenologi, intensionalitas, dsb). Tapi kemustahilan itu yang kita hadapi: bahwa filsafat lahir di Yunani dan sebagaimana semua ilmu, terminologi yang termuat di dalamnya tak jarang diambil dari bahasa peradaban (dulu Yunani, sekarang Inggris). Dalam konteks ini, Nietzsche jangan-jangan lebih rumit dari para penafsirnya. Kesederhanaan tak pernah bisa dipahami dengan sederhana. Jika pun Nietzsche menggunakan terminologi misalnya “lautan” atau “perempuan” untuk menggambarkan realitas, dari sana kita justru menemui kesederhanaan yang berlabirin. Saya sering mencontohkan kesederhanaan yang rumit ini dengan menghadirkan salah satu puisi Sapardi DD, berjudul “Aku Ingin” dan saya pernah menulis tafsir semi panjang atas puisi ini.

Sejarah dan Kegunaannya

Dalam konteks kesejarahan, legitimasi sikap seorang agamawan memang cenderung dikembalikan kepada sejarah (Islam: hadis nabi dan al-Quran adalah pegangannya) yang, oleh Risalatul Hukmi, perlu dipertanyakan kebenarannya, atau perlu dicari asal-usulnya, geneologinya. Sanad, dalam ilmu hadis, memiliki cara kerjanya sendiri yang ketat dan rigid, dibandingkan dengan cerita-cerita rakyat atau legenda-legenda heroik yang bersliweran di kehidupan kita dan satu-dua boleh jadi ada yang kita percaya. Sepanjang peradaban manapun, tak ada yang pernah menandingi tradisi sanad yang dikembangkan oleh intelektual Islam dalam kaitannya dengan pengisahan sejarah. Pertanyaan yang perlu diajukan—terlepas dari benar tidaknya suatu sanad dan percaya-tidaknya orang yang membaca suatu hadis, apa manfaat dan madarat sejarah bagi kehidupan kita? Saya rasa, ini juga yang dipertanyakan oleh Nietzsche dan bahkan ia menulis sebuah buku yang membahas mengenai ini.

Kita akan menemukan kandil redup dari pertanyaan di atas, terlebih jika kita kaitkan dengan apakah perlu kita mengungkit lagi sejarah berdarah ’65. Hadis, dengan kesejarahannya yang lekat, adalah perkataan, perbuatan, penetapan, yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang menirukan Nabi, tidak bermaksud memahami perilaku itu dari segi historisitas tapi justru lebih kepada apakah perilaku Nabi itu masih relevan (berguna bagi kehidupan sekarang) atau tidak? Fungsi kesejarahan Hadis justru terletak tepat di jantung kekinian—misalnya ada hadis Nabi yang menerangkan bagaimana Nabi memperlakukan tetangganya, kemudian oleh umat Islam hadis ini diikuti dan dengan begitu tanpa sadar kita mengkontekstualkan hadis tersebut sebagai representasi nilai keislaman. Inilah kenapa hadis (terlepas Anda percaya akan kebenarannya atau tidak) berguna bagi kekinian.

Mengorek sejarah ’65 ada benarnya juga Risalatul Hukmi mengembalikannya kepada motif suatu oknum—atau bahasa lainnya, menghadirkan kesubjekan dalam kerangka kesejarahan. Tapi tentu kita tidak bisa melihatnya dari sebelah mata saja dan cukup puas ketika mendengar bahwa, misalnya, orang yang mengungkit peristiwa ’65 murni sakit hati kepada segolongan kecil punggawa Orde Baru. Hadirnya kembali diskusi-diskusi menyangkut kesejarahan ’65 bisa kita kembalikan (dan atau kita arahkan) jauh kepada berguna-tidaknya sejarah itu diungkap. Jika dengan mengungkap gnosida itu maka kita bisa mengambil ibrah dan tidak mengulangi hal serupa, alangkah kesejarahan itu justru tidak mati sebagai monumen yang hanya dikunjungi di momen-momen tertentu, tetapi benar-benar hadir bersama kekinian. Saya kira, Nietzsche juga tidak menafikan kebergunaan sejarah bagi kehidupan kita—meskipun ia mempertanyakan kebenarannya.

Agama, Ideologi, dan Kebenaran

Pembedaan antara agama dan ideologi secara serampangan akan berujung pada klaim. Agama ada kaitannya dengan ideologi: bukankah setiap agama adalah ideologi dan adakalanya sebaliknya? Membedakan keduanya dalam rangka kebutuhan akan legitimasi sedikit bermasalah. Agama sebagai institusional yang memiliki cara berpikir sendiri, membutuhkan legitimasi sejarah karena agama tidak hanya ideologi, tetapi ia juga tindakan. Dalam terminologi Islam, banyak hadis yang mengatakan bahwa “Tidak sempurna iman seseorang jika ...”; yang menuntut suatu sikap atau perilaku yang menunjukkan keislaman seseorang.

Berbeda halnya dengan ideologi. Ia berupa ajaran yang tidak mengharuskan suatu tindakan tertentu. Misalnya, kita tidak bisa dipandang Nietzschean (meskipun Nietzsche sendiri tidak menghendaki dirinya dibakukan) sampai kita melakukan apa yang dilakukan Nietzsche. Di sisi lain, kadang ideologi juga tak lengkap tanpa tindakan, misalnya Marxisme atau Sosialisme. Tapi meskipun agama dan ideologi dapat dipisahkan (baik secara serampangan maupun tidak), keduanya—jika kita kembali pada Nietzsche, kembali pada kebutuhan akan pegangan. Apapun yang dianggap sebagai nilai dan dipercaya, tidak lain, menurut Nietzsche, adalah karena manusia butuh pegangan; sesuatu yang mampu membuatnya menjadi utuh. Nietzsche menyejajarkan orang-orang seperti ini dengan moralitas budak.

Setiap nilai, menurut Nietzsche, memang harus dicurigai, dinegasi, dan dikembalikan pada realitas kehidupan yang sesungguhnya. Orang yang masih butuh nilai, ia sebetulnya takut menghadapi dunia. Syahdan, apakah dengan begitu tidak ada lagi nilai yang bisa kita pegang dan kita akan sampai pada nihilisme? Ya, jawab Nietzsche, tapi kita bisa menjadi nihilis aktif, tidak pasif. Kita harus jadi seperti roh bayi, yang mengatakan “ya” dan “tidak” sekaligus pada kehidupan tanpa pretensi kenaifan. Filsafat Nietzsche tidak bermaksud menjadi ideologi baku yang menghasilkan pentaklid buta, tapi Nietzsche justru menyarankan kepada para pengikutnya untuk menjadi diri sendiri: “Jadilah dirimu sendiri, maka [dengan begitu] kau akan mengikutiku.” Tapi para pengagum Nietzsche (jika enggan dikatakan pengikut), justru menawarkan sebuah nilai baku dari filsafat Nietzsche, misalnya dengan melegitimasi “bahasa sejuta umat” agar digunakan dalam berfilsafat karena menurutnya filsafat hanyalah tafsir terhadap dunia dan bukan lebih dari itu: mengubah dunia seperti yang diinginkan Marx; atau, menyederhanakan Nietzsche dalam satuan inskripsi yang sudah final dan oleh sebab itu bisa dengan enteng berkata bahwa: “Musuh filsafat bukan sejarah, melainkan psikologi.”

Filsafat Tangan Kosong

Saya belum membaca buku terbaru Muhammad Al-Fayyadl, Filsafat Negasi, karena keterbatasan media—saya sedang menempuh pendidikan di Mesir. Tetapi saya adalah pembaca Fayyadl (buku yang sudah sampai di tangan saya adalah “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi), melalui beberapa situs—baik milik pribadi maupun komunal. Tanggapan atas tulisan Risalatul Hukmi ini adalah murni tanggapan terhadap premis-premis dalam tulisannya dan tidak sampai jauh ke topik yang dibahas Fayyadl dalam Filsafat Negasi. Juga, karena Risalatul Hukmi menyinggung Nietzsche dan saya adalah pembaca Nietzsche—meskipun pembaca yang pasif.

Fayyadl tak pernah berfilsafat dengan tangan kosong. Ibarat pendekar, ia mungkin pendekar samurai—ia punya senjata. Dan senjata untuk pendekar, kita tahu, adalah soal pilihan. Dalam berfilsafat, pilihan Fayyadl adalah menggunakan bahasa filsafat—dengan terminologi khasnya. Tapi Fayyadl bukan tidak bisa dipahami. Ia bisa dipahami justru karena orang awam tidak bisa memahaminya—dan oleh karenanya Risalatul Hukmi jadi mahasiswa filsafat di UGM dan oleh karenanya dalam menulis tanggapan terhadap tulisan Fayyadl pun ia tidak bisa lepas dari bahasa filsafat yang tidak dipahami oleh orang awam. Nietzsche pernah berpendapat bahwa seorang filsuf lebih suka disalah-pahami daripada dipahami. Dan jika Nietzsche bisa jadi potret filsafat yang membumi yang dipahami oleh orang awam, tentu kita tidak memerlukan Heidegger, Foucault, dan Derrida—sebab penjual cendol pun akan tahu arah filsafat Nietzche tanpa bantuan penafsir.

Seorang pendekar samurai tidak harus dipahami oleh orang awam kenapa ia menggunakan pedang sementara pegulat di ring menggunakan tangan kosong. Keduanya harus dipahami bahwa keduanya sama-sama petarung. Kita tidak bisa memaksakan si pendekar samurai untuk bertarung menggunakan tangan kosong seperti pegulat, dan sebaliknya. Filsuf satu dengan filsuf yang lain memiliki senjatanya masing-masing. Jika seorang filsuf sulit dipahami karena ia menggunakan senjata tertentu, kita harus belajar menggunakan senjata itu untuk memahaminya—salah satunya dengan belajar filsafat di UGM seperti Risalatul Hukmi. Saya meragukan satu klaim yang mengakatan bahwa disiplin ilmu itu bersifat inklusif. Ilmu, jika sudah menjadi disiplin, ia akan dengan sendirinya esklusif. Istilah-istilah dalam ilmu mantik berbeda maksud dengan ilmu nahwu meskipun menggunakan kosa kata yang sama. Al-Ghazali bisa membantah pemikiran filsuf karena ia belajar kosa kata-kosa kata filsafat—meskipun dalam menyanggah ia menggunakan cara berpikir teologis.

Terakhir, saya kutipkan adagium masyhur dari Pram: “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Dari sini, kita perlu membedakan antara hidup yang kita jalani/alami dan hidup yang kita bahasakan/katakan. Haruskah hidup yang kita bahasakan sesederhana hidup yang kita alami? Atau apakah memang tidak ada kata ‘yang seharusnya’? [*]

Arif

2 komentar:

Instagram