Jangan
heran jika mahasiswa Azhar mendadak alim menjelang imtihan. Meski ada juga yang
tak berubah, atau malah jadi entah. Imtihan adalah semacam momok, setidaknya
bagi mereka yang orientasinya masih saja membentur layar-layar gadget
dan laptop. Imtihan juga sebuah eliminasi, bisa juga sebuah resepsi,
pertunjukan. Di sinilah ruang pertemuan antara dua ekstrimisme: mereka yang
memandang imtihan sebagai momok, dan mereka yang easy going terhadap
imtihan.
Momok.
Sebab masih saja ada yang selalu musti dilakukan selain belajar: mencari
penghidupan, chating dan online dan segudang masalah yang sengaja dibuat
untuk alibi atau memang murni sebuah masalah. Easy going. Sebab mereka
selalu melakukan yang musti dilakukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan:
imtihan dengan prioritas nilai yang memuaskan untuk tujuan minhah atau
beasiswa. Mereka yang begini menganggap imtihan adalah imtihan, yang harus
dijalani, bukan dipikirkan dan menajdi momok.
Saya di
pusaran mereka, di antara jantung dua ekstrimisme. Saya masih chatingan,
masih online, masih membenturkan orientasi di depan layar laptop sambil tak
henti menghitung berapa kali lalai menulis. Tapi saya tak sepenuhnya lalai muqorror,
ia masih di samping saya, di rak buku menunggu untuk dibaca.
Mendadak
alim dan sering itikaf di masjid adalah suatu kewajaran yang mumpuni. Kegiatan
itu tak dikutuk juga tak terlalu disanjung. Biasa. Karena semua yang serba
mendadak akan menyisakan kecurigaan yang diamini. Itulah tabiat. Bagaimanapun
baiknya, sesuatu yang bukan rutunitas atau dalam bahasa agama istiqamah, tak
perlu banyak-banyak ditepuk-tangani. Biasa saja dan wajar.
Tapi
mungkin ada baiknya tak terlalu memperdebatkan itikaf menjelang imtihan karena
memang kadang tak perlu banyak kata untuk melakukan sesuatu. Yang menarik di
sini adalah justru aktualisasi bentuk kewajaran itu ke dalam dunia percintaan. Itikaf
menjelang imtihan berangkat dari sebuah itikad yang kuat untuk mengalahkan
gemerlapnya dunia maya, gemerlapnya main-main menuju sebuah tujuan.
Cinta,
jika disebut sebagai sebuah tujuan, akan sangat layak memakai kode ini. Itikad
dan itikaf. Itikad adalah sebuah kemauan yang kuat untuk melakukan sesuatu
meski cobaan melintang. Dalam percintaan, itikad menjadi bukan hanya alternatif
tapi keniscayaan. Cinta tanpa itikad sama saja bohong. Bagai orang yang mancing
tanpa umpan. Itikad dalam mencintai berarti menafikan sisi negatis berupa tak
cinta. Dalam arti yang sesungguhnya, mencintai berarti berkorespondensi dengan
hati untuk dengan sekuat tenaga menjaga kesetiaan. Hal semacam ini tak akan
telaksana tanpa itikad.
Sebagai
aksiden a priori, itikaf, yakni menetap di masjid dalam bahasa agama,
atau menetap di hati kekasih dalam bahasa cinta dan asmara, menjadi langkah
persuatif dalam kaitannya berdialog dengan kesetiaan janji. Mencintai dalam
arti yang sangat luas adalah berdialog dengan hati. Apa yang menjadi keinginan
kekasih senantiasa bisa tereja oleh pecinta.
Tapi
cinta juga merupakan imtihan, ujian atau tes. Melewati ujian itu, harus
bertahap dan dengan kesulitan yang bervariatif. Jika imtihan Azhar dapat
ditempuh dengan itikad yang kuat untuk menjadi alim dan rajin dengan
sering-sering itikaf di masjid mengaji satu-dua juz al-Qur’an kemudian
diteruskan dengan belajar, maka imtihan cinta bisa juga dilakukan dengan kode
seperti ini.
Saya
pelakunya. Itikad bukan hanya soal menenggak rindu puas-puas tapi juga
bertanggung jawab di depan orang tua kekasih. Cinta ini berupa afirmasi yang
positif. Tak lagi mempertimbangkan sisi baik-buruk atau cantik-jelek atau apa
saja yang berkait dengan itu. Tapi mencoba menciptakan sebuah dimensi baru
dalam mencintai, yakni semacam suatu rumus: “Cinta bukan soal menemukan yang terbaik,
tapi menciptakannya”. Cinta yang demikian ini meneruskan sebuah misi yang tak sempat
tertuliskan dalam catatan saya “Cinta dalam Gelas Afeksi dan Afirmasi” yang pun
sudah saya share di blog ini.
Ujian
Azhar sebulan lagi. Saya rasa saya perlu, bahkan harus, bertikad yang kuat
untuk mengalahkan laptop dan gemerlap dunia maya dengan jalan beritikaf di
masjid dekat rumah. Tapi saya juga tak layak melupakan sebuah janji kepada
kekasih: senantiasa beritikad untuk tetap beritikaf di dalam hatinya. []
Kairo,
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar