-merayakan sebuah kegelisahan
Mari, kasih tanganmu, kawan. Kita bikin sebuah
ikrar: jika nanti ada mimpi yang ingin kau raih, jangan kau letakkan 5 cm di
depan matamu tapi peganglah letakkanlah sejauh-jauhnya yang bisa dijangkau
matamu. Kawan, berikrarlah untuk menjemput mimpi itu. Mimpi yang kau letakkan 5
cm di depan matamu hanya akan membuatmu malas untuk mencapainya. Ia sudah di
depan mata, maka seolah kau tak perlu berlari untuk menggapainya.
Abaikan kenapa kau harus hidup sementara
kadangkala ada alasan kenapa hidup itu harus tak ada. Kawan, di sinilah
tepatnya, kau tahu bagaimana musti memandang hidup sebagai mimpi yang terus kau
ajak bangun. Jika kau tak punya mimpi, maka hiduplah dengan sebuah
ketidak-pastian dan kau bisa memaknai ketidak-pastian itu dengan hanya hidup.
Kita hidup, bernafas satu tahun di negeri yang
jauh hari kita impikan. Kau tahu, kawan. Setiapkali aku ingat kita, aku selalu
ingin tak di sini; atau aku ingin di sini tapi terus meletakkan mimpi jauh dari
jangkauan mata agar aku tak hanya terjebak di antara bau apek kasurku dan gigitan
kepinding yang gatal.
Hanya perlu sedikit bercerita untuk
mengingatkan perjuangan kita satu tahun lalu:
[Awal Desember 2013]
Siapa yang menyangka mimpi benar-benar datang
di saat orang sudah lupa dengan impian itu. Aku lupa impianku ke Kairo. Kuliah
di Semarang barangkali sudah cukup membuat otakku kenyang dengan ilmu-ilmu
baru. Mapan. Semarang aku rasa adalah pilihan, meskipun bukan pilihan yang
utama. Aku kuliah di sana, setahun setengah; bernafas dengan bau kental
pemikiran filsafat dan bahasa.
Kau tiba-tiba saja mengabariku: Mesir
menantimu. Siapkan data kalau kau masih kepingin kesana. Mimpi. Benar. Ada
mimpi yang telah aku kubur. Menggali mimpi itu tak susah. Karena selain aku
menguburnya, aku lupa memasang batu nisan di sana. Aku masih bisa membongkarnya
kapan saja. Tak susah. Tapi yang susah adalah menghidupkan mimpi itu. Aku telah
mapan dengan berbagai prestasi akademik yang aku hasilkan di Semarang kemudian
Mesir datang seenaknya; benar-benar seenaknya.
Kau telah mapan di Pati, kawan, juga dengan
akademik yang mumpuni. Tapi kau mudah melepaskannya. Selain kau belum lama di
sana, kau juga benar-benar belum mengubur mimpimu untuk ke Mesir. Kau agak tak
semalang aku, kawan.
Tapi ada beberapa kawan kita yang musti dituturkan
pula:
Khumed// Aku tak tahu persis
bagaimana ia bisa tertarik ke Mesir. Tapi yang jelas aku tahu adalah ia juga
telah mapan mengaji di Sarang di tangan Kiai Maimun Zubair. Di sana, aku rasa
ia telah mendapatklan apa yang sebenarnya ia inginkan. Kecuali aku salah dalam
menduga itu. Nyatanya, ia ingin ke Mesir. Mengejar entah apa yang ia namakan
mimpi atau tidak. Tapi yang pasti, ia juga telah agak mapan.
Asyrofi// Aku juga tak tahu apakah
Mesir adalah impiannya. Setahuku, Saudi adalah pilihan pertamanya untuk menimba
ilmu. Tapi aku rasa memang bukan soal tempatnya. Ia ingin menimba ilmu di
manapun asalkan itu mengantarkannya kepada Shaleh dan Akrom. Ia
begitu nge-wali. Aku kira, Mesir juga merupakan sebuah mimpi baginya
selain bahwa mimpi utamanya bukan Mesir, tapi ilmu yang ada di sini.
Fatih// Ia juga telah mapan di
pondoknya salah satu guruku di Rembang; menghapal al-Qur’an dan mendalami ilmu
agama. Dulu, aku pernah mendengar ia ingin kuliah di Mesir seperti tokoh Fahri
dalam AAC. Kurasa itu adalah sebuah kelakar karena ia memang tampak melucu. Ia
serius. Ia mengorbankan kemapanannya demi impian itu.
Mamuk// Aku tak begitu mengenalnya
sebelumnya. Juga tak begitu tahu impiannya. Tapi melihat semangatnya dalam
belajar setelah lama di Kairo, aku jadi menyangka bahwa Mesir memang sebuah
mimpi yang terus ia perjuangkan. Tapi mungkin ada yang ia korbankan untuk
kesini demi impian; ia sanggup melampaui semangatku.
[Genesis Keberangkatan]
Genesis keberangkatanku sesungguhnya tak cukup
menarik untuk diceritakan karena mengandung sisi yang klise; masalah ekonomi.
Tapi itulah kenyataannya. Aku hampir mengubur lagi mimpiku itu setelah
mendengar pernyataan dari Abahku bahwa tak mudah mendapatkan uang dengan jumlah
yang banyak hanya dalam beberapa minggu. Aku pasrah. Tapi malaikatku, ibuku,
selalu mengejutkanku; ia tahu persis harus bagaimana demi memperjuangkan impian
anaknya. Ia pinjamkan dulu uang agar aku bisa berangkat, ia korbankan tabungan
hajinya demi mimpiku.
Klise, bukan?
Itu nyatanya. Aku tak mengada-ngada agar
terkesan dramatis. Cukup dengan jujur dan terbuka, aku bisa sedia untuk
menerima pembaca dan membawanya ke dalam aku. Kawanku yang lain tak jauh beda.
Mesalah ekonomi adalah masalah klasik yang selalu up to date.
Restu orang tua sudah di tangan; bertanda biaya
yang tak murah. Kadang, kasih sayang bisa dibuktikan dengan hanya restu, tapi
aku belum bisa hanya dengan itu. Beberapa hari menjelang keberangkatan—waktu
itu tanggal 22 Desemeber, hari ibu—aku lagi-lagi merepotkan ibuku karena pihak
broker minta uang tambahan lagi untuk tiket. Barangkali itulah hadiah dari seorang
anak untuk ibunya di hari ibu.
[Perjalanan]
Kawan, kau masih ingat bagaimana perjalan kita
menuju tanah ini? Hujan lebat turun sepanjang malam. Aku diantar oleh
abah-ibuku. Barangkali diantar pula oleh kenangan, juga kesedihan. Kau tahu,
aku cengeng, kawan. Jika kau ingin melihat orang cengeng berlagak bengis dan
tegar, pergilah ke banyak negara yang menyediakan tampat murah untuk membuang
kenangan seperti negeri ini.
Aku selalu tak tega melihat ibuku menangis.
Jika aku artis sinetron, pasti sudah aku hampiri ibuku dan kupeluk ia erat-erat
di hadapan banyak orang di bandara itu. Tapi aku hanyalah anak desa yang baru
sekali merasakan naik pesawat. Dan ibuku bahkan tak pernah lihat pesawat
menyentuh tanah. Untuk urusan ini, aku tak sebegitu klisenya.
Kawan, kita berlima memang terlihat sangat
kalem waktu itu. Tas koper kita berisi mimpi yang kita bungkus satu persatu ke
dalam plastik untuk nantinya kita buka di negeri impian kita. Waktu itu, dan
mungkin sampai saat ini, kita tak henti-hentinya merayakan kegelisahan kita.
[Negeri Seribu Menara]
Kawan, pernahkah kau menghitung jumlah menara
di negeri ini?
Kita barangkali tak disambut oleh apa-apa waktu
sampai di sini kecuali udara dingin yang mencoba membuat kita gentar. Tapi
setelah itu, kita segera disambut oleh kesangsian; mulai dari perlakuan orang
Mesir yang tak bersabat sampai sampah di sembarang tempat. Mungkin, manuisa
dibentuk untuk takjub kepada hal baru. Kita selalu takjub tapi kita juga ingat
bahwa santri tak boleh gumunan.
Nyata sudah kita memang di sini, berusaha
mengursir atau bahkan menernak ketegangan menjalani hari-hari. Kawan, ada
baiknya kita tetap bergeming menghadapi ibu tiri kita. Tapi juga ada baiknya
kita jadi binal dan bringas melawan ibu tiri kita yang terkadang sekejam nenek
lampir. Aku menyarankanmu untuk mengisi hari dengan menghitung jumlah menara
yang ada di sini, sembari berikhtiar menjalani kesangsian.
Kita masih punya mimpi itu, kawan. Kau imani
atau tidak? Jika kita masih berhasrat mengejar mimpi itu, maka jangan letakkan
ia 5 cm di depan mata kita tapi letakkanlah sejauh mungkin agar kita tetap
berhasrat mengejarnya. Mimpi adalah soal menunda keinginan; keinginan untuk
menunda mimpi.
Sebuah biografi perjalanan memang tak akan
khatam ditulis di sini, karena kita sudah sama-sama maklum bahwa kita memang
sedang bermimpi dan tengah memperjuangkan mimpi itu. Ketika ada satu di antara
kita yang sanggup untuk tidak menegakkan mimpi, buatlah ia percaya bahwa mimpi
bisa membuat kita tetap hidup. (*)
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar