Pages

Fiksi

http://www.annaharkw.com


“Tak syak lagi bahwa merasakan wujud dalam keadaan sakit, misalnya, lebih kuat daripada keadaan mengatahui sakit itu. Pasalnya, yang pertama ada hubungan langsung antara subjek dengan wujud, sedangkan yang kedua, yakni keadaan mengetahui wujud, hubungannya (yaitu antara subjek dengan wujud—MSA) adalah secara tidak langsung.”

Kutipan panjang di atas adalah ungkapan dari Abdurrahman Badawi, seorang filsuf eksistensialis Arab yang pikiran dan pemikirannya, menurut saya, sungguh begitu cemerlang. Dari luasnya cakupan ide-ide eksistensialismenya, saya baru bisa menjangkau sangat sedikit. Kutipan di atas menarik perhatian saya karena sudah sejak lama saya memikirkan hal yang serupa tapi tak punya cukup pijakan (baik filosofis maupun ideologis) untuk bisa membahasakannya.

Langsung saja saya masuk ke inti pembahasannya.

Baru-baru kemaren muncul perdebatan hangat tentang kitab suci itu fiksi. Sesungguhnya saya sudah malas dan lelah untuk mengikuti perdebatan semacam itu di media sosial. Saya sudah bisa menebak ke arah mana kiranya perdebatan itu dibawa dan atas dasar kepentingan apa perdebatan itu menjadi perbincangan sampai beberapa pekan sesudahnya. Saya akan memasukinya melaui hal yang paling dasar, yaitu dari satu pijakan premis: kenyataan adalah apa yang tidak mungkin bisa dituliskan, sedekat apapun tulisan itu menjangkau kenyataan, kenyataan tetaplah apa yang tak tertuliskan. Kenyataan selalu telanjang, sementara tulisan (salah satu usaha untuk membahasakannya) sudah selalu melalui persepsi, atau representasi, jika meminjam Schopenhauer.

Jika kita menggunakan pendekatan eksistensialismenya Abdurrahman Badawi, yang mana ia membagi wujud menjadi tiga bagian: (1) wujud objek, (2) wujud subjek, (3) wujud dalam dirinya sendiri; maka kita akan bisa menilai kenapa wujud yang telanjang selalu adalah apa yang tidak mungkin dibahasakan. Wujud dalam dirinya sendiri (jelas dalam hal ini Badawi meminjam Kant), adalah wujud yang tak bisa diketahui. Perlu dibedakan antara wujud yang tak mungkin dibahasakan dengan wujud yang tak mungkin diketahui. Wujud yang tak mungkin dibahasakan adalah wujud yang mungkin diketahui, sementara wujud yang tak mungkin diketahui adalah wujud, yang karena sifatnya yang un-definitif, tidak bisa dibahasakan. Dua wujud ini ditengahi oleh wujud subjek, atau dzat, atau ego.

Bahasa menjadi mungkin karena ada subjek, dan justru bahasa tercipta dan tersedia karena adanya subjek. Melalui lokus subjeklah kegiatan mengetahui dan membahasakan menemui maknanya. Kenyataan adalah apa yang dialami dan dirasakan oleh subjek. Dan persinggungan antara subjek dengan kenyataan adalah persinggungan privatif antara yang-mengetahui dengan yang-diketahui. Wujud yang dihadapi oleh subjek bisa diketahui secara langsung oleh dirinya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Ketika subjek mendapati kenyataan di depannya, misalnya, Zaid sedang berdiri tegak, maka sesungguhnya subjek sedang merasakan kenyataan itu. Dan itu berbeda taraf, misalnya, dengan adanya subjek yang membaca atau dikabari oleh seseorang bahwa Zaid sedang berdiri tegak. Kegiatan merasakan wujud itu berbeda dengan kegiatan mengetahui wujud itu.

Selama ini kita menganggap apa yang fakta adalah adanya kesesuaian ungkapan dengan kenyataan. Ungkapan Zaid sedang berdiri tegak bisa dinilai benar jika dalam kenyataannya Zaid memang berdiri tegak. Tapi jika kita masuk lebih dalam, ungkapan Zaid sedang berdiri tegak tidak pernah menggambarkan kenyataan sesungguhnya, setelanjang-telanjangnya. Kalaupun itu benar, hanya beberapa persen bagian kebenaran yang bisa dijangkau oleh ungkapan Zaid sedang berdiri tegak. Sementara unsur yang lainnya, misalnya, apakah ia menghadap ke selatan atau utara, apakah ia berdiri dengan telanjang kaki atau bersepatu, apakah ia berdiri sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, dan lain sebagainya, adalah apa yang tidak bisa tertampung oleh bahasa. Bahasa selalu terbatas mengungkap yang-nyata (the real). Oleh karenanya tak pernah ada kesesuaian yang rigid antara bahasa dengan kenyataan. Dalam hal ini, ungkapan kefiktifan kitab suci barangkali akan lebih problematis karena seolah bagian yang satu ini justru mengafirmasi ungkapan (kontroversial) itu dan saya pun tidak mau masuk kesana lebih lanjut.

Oleh karenanya, dalam hal ini, saya sangat suka mengutip perkataan Pramoedya: “Kenyataan lebih bisa dipegang daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan.” Saya suka mengutip kalimat ini karena ketika saya selesai mengutipnya saya justru meragukan kenyataan yang diungkapkan oleh Pram karena ia sendiri justru sedang bependapat tentang kenyataan. Jadi, bahkan ungkapan tentang kenyataan pun tak pernah begitu nyata bagi diri kita, karena alih-alih ungkapan itu akan mengantarkan kita pada kenyataan, justru kita akan sampai pada pendapat orang tentang kenyataan juga pada akhirnya. [*]

Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram