Ternyata
definisi Tuhan belumlah tuntas. Sekali waktu ada yang mendefinisikannya sebagai
penguasa alam semesta, sesekali ada yang mendefinisikannya sebagai penguasa
segalanya. Lebih singkat, tuhan: yang pantas dipuja. Tentu dengan perspektif
masing-masing. Seperti tahun yang berganti ini, abad yang berlari ini. Sepotong
tuhan juga dipuja seorang penyair.
Tuhan
diciptakan dalam otak mereka. Kemudian dipuja, dan di letakkan di atas
segalanya. Bagi orang kaya yang serakah, tuhan mewujud di dalam harta benda. Maka
mereka memujanya, tak mau kehilangan sedikitpun dari hartanya seperti sufi yang
tak mau kehilangan sedikitpun perhatian dari tuhannya. Bagi pecinta yang buta,
cinta semacam jadi mazhab baru atau bahkan agama baru. Tuhannya? Perasaan
mereka yang mereka puja. Bagi penyair yang fanatik terhadap kata-kata dan
puisi, tuhan mewujud melalui kalimat indah dan menganggap apa yang indah itu
tuhan, bukan sebaliknya.
Tahun
dan tuhan diciptakan sedemikian rupa oleh otak manusia. Seperti paradigma zaman
jalili ketika menciptakan patung dengan dalih untuk mendekatkan diri pada
Allah. Mereka sebenarnya menyembah hawa nafsu mereka, menyembah hayalan mereka
mengenai tuhan yang terlampau suci. Tuhan harus diwakili dengan benda?
Barangkali inilah yang terjadi di zaman jahili modern. Betapa tuhan-tuhan
menjelma benda yang dipuja manusia: tekhnologi mulai jadi sebuah agama.
Tapi
tahun membuka sayapnya dan tuhan belum turun. Tahun dengan angka di almanak
barangkali akan usai namun tahun-tahun dengan angka yang berbeda akan berlanjut.
Tuhan-tujan dalam wujud benda satu persatu mungkin akan sirna, tapi tuhan dalam
bentuk yang lain akan segera datang dan menyerang manusia. Manusia punya dua
pilihan:
Pertama,
gagal percaya bahwa seringkali benda yang mereka puja adalah tuhan yang tak
diakui. Mereka yang begini memang masih menyembah Tuhan dalam agamanya, tapi
mereka tak sadar bahwa ada yang mereka sembah dan lebih mereka perjuangkan
ketimbang tuhan yang ada dalam agamanya. Ini lebih berbahaya dari pilihan yang kedua.
Kedua,
berhasil percaya bahwa terkadang ada tuhan lain, sekalipun itu dalam diri
manusia, yang mereka puja melebihi tuhan dalam agamanya. Mereka yang begini
meletakkan kesadaran di atas realitas. Mereka bisa jadi kan segera paham akan
masalahnya, tapi lebih dari itu: mereka kadang tak mau merubah pandangannya
mengenai kesadarannya akan realitas.
Tahun
mempermainkan kepercayaan manusia. Tekhnologi berkembang seolah dunia semakin
mudah tapi sekaligus sulit. Dunia semakin mudah mempermainkan manusia sementara
manusia semakin sulit menemukan dirinya. Dunia semakin mudah membuat manusia
bimbang sementara manusia semakin sulit untuk iman. Dunia semakin mudah membuat
manusia binasa sementara manusia dngan berlagak tegar melawan ketidak-mampuan
mereka menghadapi mereka sendiri.
Tuhan
memang telah terpotong-potong bagai puzle. Tapi ia tak disusun sehingga menjadi
utuh. Tuhan-tuhan dikumpulkan dalam diri manusia tapi menolak jadi utuh, satu.
Tuhan mereka tetap adalah tuhan yang haus untuk dipuja.
Di
pamungkas tahun ini, tuhan-tuhan masih tetap dipermainkan sekaligus
dipermalukan. Mereka mengeja dogma dengan menyertakan keyakinan yang buntu.
Tahun-tahun dan tuhan-tuhan memang akan tetap berlalu. Tetapi penyair punya
cara sendiri untuk tidak kehilangan tuhannya: ia pandai sekali mempermainkan
kata-kata.
Kairo,
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar