“Terbuat dari apakah kenangan?” – Seno Gumira Adjidarma
Ibuku bercerita; dulu, waktu aku kecil, aku pernah dua
kali hampir kehilangan nyawa. Katanya,
waktu aku masih sangat kecil, balita mungkin, saat aku dihinggapi penyakit
batuk yang sangat parah. “Malam-malam entah pukul berapa,” ibu bercerita dengan
mata menerawang jauh, seolah-olah ia berusaha hanyut ke dalam ceritanya, “Ibu
dan abahmu mengendarai sepeda motor
Honda 800 untuk memeriksakanmu karena batukmu waktu itu sangat parah. Setiap
kau terbatuk, seolah ada yang mengganjal di tenggorokanmu dan hendak kau
keluarkan.”
Aku menyimak cerita itu dengan seksama, mencoba pula
untuk hanyut-larut ke dalam kronologi kisah. Ia melanjutkan: “Nahas, ditengah
jalan, sebelum sampai di rumah tempat praktek sang dokter, ibu dan abahmu harus
menelan pahitnya kehabisan bensin di larutnya malam. Abahmu menuntun motor
untuk mencari penjual bensin yang masih buka. Sekian warung bensin sudah
diketuk, tapi tak ada jawaban dari sang pemilik. Malam memang sudah larut, barangkali
mereka takut membukakan pintu. Barangkali mereka sudah terinfeksi virus kota:
individualitas dan kehilangan belas.”
Ibuku berhenti sejenak, menghela nafas. “Tapi dugaan ibu
salah, ada salah satu warung yang berbaik hati membukakan pintu dan menanyai
ibu ingin apa. Dan ibu menjelaskan kalau kehabisan bensin dan anak ibu (baca:
aku) sakit parah dan harus segera dibawa ke dokter. Pemilik warung itu bergegas
mengambil satu liter bensin. Ibu dan abahmu berterima-kasih yang tak terkira
kepadanya sebelum melanjutkan perjalanan.”
Terus saja aku menyimak, cerita kian menarik. “Sampai di
rumah sang dokter, kau diperiksa. Tapi, nak, kau tahu, dokter itu mengatakan
bahwa kau tak bisa sembuh. Ibumu, ibumu yang mengandungmu sembilan bulan
lamanya, tak bisa menahan sakit di ulu hati ini. Keluar dari rumah sang dokter
itu, ibu buang saja obat yang dikasihnya ke semak-semak. Tak ada gunanya
percaya kepada orang yang putus asa. Setelah itu, di sepanjang perjalanan
pulang, tak habis-habisnya ibu menangisimu dan mendekapmu yang mungil dan lucu.
Kau tak seharusnya sakit separah itu di usiamu yang sedini itu. Rasa-rasanya,
ibumu ingin menggantikan sakitmu.”
Syahdan, aku sudah dewasa, tiap kali aku batuk (entah
karena asap rokok atau kebanyakan minum es) yang pertama aku ingat adalah
ibuku. Kau tahu, aku adalah anak, dan ibuku adalah ibu. Misalkan, ibuku sakit
dan terbaring di dipan, aku tak yakin mau menggantikan sakitnya itu. Itulah
kenapa, aku sangat sependapat dengan Mahmoud Darwish dalam Sajaknya: “Aku sangat
rindu kepada usiaku. Sebab ketika aku mati, aku malu dengan airmata ibuku!” (*)
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar