Pages

Nostalgia#3


“Terbuat dari apakah kenangan?” – Seno Gumira Adjidarma

Ibuku bercerita; dulu, waktu aku kecil, aku pernah dua kali hampir kehilangan nyawa. Katanya, waktu aku masih sangat kecil, balita mungkin, saat aku dihinggapi penyakit batuk yang sangat parah. “Malam-malam entah pukul berapa,” ibu bercerita dengan mata menerawang jauh, seolah-olah ia berusaha hanyut ke dalam ceritanya, “Ibu dan abahmu  mengendarai sepeda motor Honda 800 untuk memeriksakanmu karena batukmu waktu itu sangat parah. Setiap kau terbatuk, seolah ada yang mengganjal di tenggorokanmu dan hendak kau keluarkan.”

Aku menyimak cerita itu dengan seksama, mencoba pula untuk hanyut-larut ke dalam kronologi kisah. Ia melanjutkan: “Nahas, ditengah jalan, sebelum sampai di rumah tempat praktek sang dokter, ibu dan abahmu harus menelan pahitnya kehabisan bensin di larutnya malam. Abahmu menuntun motor untuk mencari penjual bensin yang masih buka. Sekian warung bensin sudah diketuk, tapi tak ada jawaban dari sang pemilik. Malam memang sudah larut, barangkali mereka takut membukakan pintu. Barangkali mereka sudah terinfeksi virus kota: individualitas dan kehilangan belas.”

Ibuku berhenti sejenak, menghela nafas. “Tapi dugaan ibu salah, ada salah satu warung yang berbaik hati membukakan pintu dan menanyai ibu ingin apa. Dan ibu menjelaskan kalau kehabisan bensin dan anak ibu (baca: aku) sakit parah dan harus segera dibawa ke dokter. Pemilik warung itu bergegas mengambil satu liter bensin. Ibu dan abahmu berterima-kasih yang tak terkira kepadanya sebelum melanjutkan perjalanan.”

Terus saja aku menyimak, cerita kian menarik. “Sampai di rumah sang dokter, kau diperiksa. Tapi, nak, kau tahu, dokter itu mengatakan bahwa kau tak bisa sembuh. Ibumu, ibumu yang mengandungmu sembilan bulan lamanya, tak bisa menahan sakit di ulu hati ini. Keluar dari rumah sang dokter itu, ibu buang saja obat yang dikasihnya ke semak-semak. Tak ada gunanya percaya kepada orang yang putus asa. Setelah itu, di sepanjang perjalanan pulang, tak habis-habisnya ibu menangisimu dan mendekapmu yang mungil dan lucu. Kau tak seharusnya sakit separah itu di usiamu yang sedini itu. Rasa-rasanya, ibumu ingin menggantikan sakitmu.”

Syahdan, aku sudah dewasa, tiap kali aku batuk (entah karena asap rokok atau kebanyakan minum es) yang pertama aku ingat adalah ibuku. Kau tahu, aku adalah anak, dan ibuku adalah ibu. Misalkan, ibuku sakit dan terbaring di dipan, aku tak yakin mau menggantikan sakitnya itu. Itulah kenapa, aku sangat sependapat dengan Mahmoud Darwish dalam Sajaknya: “Aku sangat rindu kepada usiaku. Sebab ketika aku mati, aku malu dengan airmata ibuku!” (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram