Pages

Kekasih


Musim dingin. Dalam kamar; leptop masih menyala dan youtube memutar lagu-lagu mendayu; printer yang bobrok di sisi meja belajar; lampu yang semakin lelah memberi cahaya; seorang pelamun yang tangannya tiada bisa lepas dari keyboard yang bergemeretak seperti gigi anak kecil saat dimandikan ibunya pagi-pagi.

Puisi-puisi tercampakkan di rak buku, tercibir dan asing. Pemiliknya memilih minggat dari kata-kata dan bercerai dengan huruf-huruf. Ia rindu desis lirih dari kekasihnya yang tengah merawat abjad, merangkainya dalam ingatan. Ia ingin, sesekali saja, tidak melakukan apapun demi apapun. Ia ingin lepas dari paham apapun tentang alfabeta: kegaduhan surga-neraka.

Tapi kata memang tercipta dan nyata. Huruf-huruf membentuk sesuatu-sesuatu. Membentuk pula suatu keadaan dan nilai, juga definisi dan situasi. Kekasihnya biarlah merawat kata-kata. Ia tetap ingin tercampakkan dari dunianya. Ia ingin, meski sedetik, menjadi entah siapa yang tak peduli rumus serta aturan. Namun bisakah yang demikian terjadi? Ia ingin, dan seperti jutaan keinginan lainnya, maka sah untuk tidak terjadi dan terkabulkan. Kata-kata telah membentuk dirinya yang entah.

**

Masih dingin. Selimut tipis berusaha memberi api, memberi hangat. Angin mengelus jendela kamar. Seperti menggedor-gedor. Suaranya yang hampir tak terkatakan itu melulu hanyut ke dalam hati pemilik jendela yang tengah terjebak di tidak adanya pilihan.

Ia tak mau apapun selain kekasihnya bersedia merawat taman bebunga yang ia tanam di hatinya. Ia ingin kekasihnya tak berkata apapun ketika matanya dan mata kekasihnya ingin berkata lebih banyak daripada huruf. Ia mau mengabdikan dirinya hanya untuk kebahagiaan kekasihnya. Selebihnya, jika ada bahagia yang berhasil ia dapatkan, tak lain pasti bersifat semu belaka.

Kekasihnya merawat kata-kata di dalam buku-bukunya yang tertata rapi di samping tempat tidur. Bangun tidur adalah soal mimpi yang ia bawa dari kata-kata. Selain tak ada alasan kenapa kata-kata jadi mimpi, tak ada alasan pula kenapa ia tak kunjung bertemu kekasihnya. Ia merasakan rindu yang asing, rindu yang ambigu.

**

Tetap dingin. Sirine ambulan meraung dari jauh dan memberi sedikit nada pada keyboard-nya yang tak beraturan menimbulkan nada. Ia memang tengah dan selalu terjebak di antara tombol-tombol yang perlahan-lahan ia hapal letak-letaknya. Ia ingin sesekali lepas dari bagian hidupnya itu. Tapi ia justeru tak ingin sekalipun lepas dari bagian hidupnya yang lain: kekasihnya, yang tengah merawat kata-kata dan melantunkan abjad-abjad.

Tiba-tiba keyboard-nya berhenti. Kata-kata mampat di dalam otaknya, dan enggan untuk dituliskan. Ia memang tengah labil dan penuh hasrat dan emosi. Ia ingin menawarkan kepastian di tiap tulisannya, tapi ia gagal. Ia selalu membawa tulisannya ke dalam labirin dan goa yang jauh. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa tulisannya membuat pembaca yakin. Ia tak berhasil. Ia telah lama mencampakkan ilmu logika dan filsafat.

Lagu-lagu mendayu dari youtube ia pause. Ia tak bisa menulis dengan ditemani sekecil apapun suara. Ia ingin menulis ketenangan yang purna, ia ingin kedamaiaan yang ajaib. Ia telah lama tak jadi penyair yang gandrung sepi. Ia bukan lagi sahabat sunyi. Kekasihnya tengah berdamai dengan kata-kata. Sementara ia mencoba untuk bercerai dari kegaduhan kata-kata.

**

Selalu dingin. Ia ingin menjebak mimpinya ke dalam dunia nyata. Ini parodik sekali. Ia tengah menghayal dan tak tahu caranya menyadari kenyataan. Hidup begitu menawarkan kepahitan. Kata-kata motivasi dari jejaring sosial seperti kode butut lotre. Ia harap-harap cemas dengan keberuntungan di dalamnya.

Kata-kata membentuk ingatan. Hanya kata-kata. Sebab ia tak pernah mencoba berdialog dengan mata, dengan sentuhan, dengan belaian. Ia sama sekali piatu dari semua itu. Hayalan, pada akhirnya menjangkitinya dan membuatnya sakit parah. Ia telah diambil-alih oleh hayalan. Ia tak terkesima lagi dengan kenyataan. Barangkali ia tak menganggap nyata apa yang ia temui kecuali kekasihnya yang tengah merawat kata-kata.

Ia tertunduk penuh lesu. Hayalan jadi sintal dan molek di matanya. Ia butuh kenyataan yang mampu dirubah dengan hayal, atau kata-kata. Tapi ia sedang bertengkar dengan kata-kata. Maka ia butuh kekasih, yang masih sudi merawat kata-kata meski hari semakin larut. Lagu dari youtube ia putar lagi, meraungkan nada yang mendayu-dayu. Ini memang sudah saatnya lelap. (*)

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram