Orang-orang tidak tahu kenapa ketidak-tahuan dianggaap
bodoh. Aku mengenal seorang perempuan, yang dengen ketidak-tahuannya,
menjadikannya sangat cemerlang di mataku: ibuku. Ia tak tahu rumus-rumus
matematika, juga tata hitung dalam statistika. Tapi ia tidak bodoh, ia cukup
tidak tahu tentang itu. Cukup tidak tahu. Dan selesai.
Tidak tahu sama pentingnya dengan tahu. Keduanya kadang
salip-menyalip. Kita sering menganggap ‘tahu’ adalah urusan yang telah selesai.
Padahal di luar itu, masih ada banyak lagi persepsi yang musti kita benahi:
seberapa penting apa yang kita ketahui itu?
Amsal yang paling dekat adalah ibuku, sekali lagi. Ia
cukup tidak tahu apa itu negeri Mesir. Ia cukup tidak tahu kenapa satu-satunya
anak lelakinya kepingin kesana untuk, katanya, mencari ilmu. Ia memang sudah
cukup untuk tidak tahu, termasuk keadaan anaknya di negeri tiri itu saat
pertama mencium bau pasir yang pesing dan bau apek sampah-sampah perkotaan. Sampai
saat ini, ibuku memang cukup untuk tidak tahu. Dan selesai.
Tapi selesai justru adalah awal mula dari epilogi yang
belum jeda. Ibuku telah selesai dengan ketidak-tahuannya. Dan asal-muasal dari ketidak-tahuannya
itulah yang sebagai genealogi objek personal dalam studi ilmu pengetahuan. Biarpun
aku tahu sedkit tentang rumus, aku tidak setahu ibuku tentang ketidak-tahuannya
sendiri. Misalnya, ibuku tidak tahu kalau ia musti tidak tahu dengan keadaan
anaknya di negeri orang ini. Ia cerdik secara niscaya dan a priori. Dengan
begitu, kadang ibuku tak butuh tahu untuk membedakan.
Filosofi terbesar yang bisa timbul dari ibuku adalah
ketidak-selesaian realitas dalam membaca dunia. Di dunia ini, ada yang jika
kita mengetahui akan berbahaya. Di dunia ini, ada yang jika kita tidak mengetahui
jadi selamat. Mengetahui memang bentuk yang paling dilematis soal dunia. Mungkin
itu sebabnya dalam ranah metafisis, alla adriyah, ketidak-tahuan,
menjadi urgen. Kita cukup tahu dunia ini dari satu bentuk, dan kita tak perlu
(atau tak bisa?) tahu bentuk macam yang lain. Dunia yang cermin ini, membiaskan
diri kita yang asali: kosmos atau chaos?
Ibuku cukup berkata: hati-hati, nak... dan pernyataan
tersedak di tenggorokan dan selesai. Minimal dalam pengertian yang tidak kita
ketahui sebelumnya, atau dalam chaos-nya realitas dunia, apa yang
menjadi jeda dari kata-kata adalah ‘tidak tahu’ itu. Hati-hati semacam jadi
intra-leksikal yang berkulit kata-kata sedang kata-kata berupa tidak tahu dalam
maknanya yang derivatif. Ibuku adalah cerminan orang yang tidak muluk-muluk,
dan aku bahagia punya ibu sepertinya.
Dalam salah satu nasehat Prof. Dr. Quraish Shihab,
ketidak-tahuan tidak perlu dipertentangkan dengan tahu atau mengerti. Ia mungkin
ingin memaksudkan bahwa ketidak-tahuan juga merupakan tahu. Ketidak-tahuan menggiring
kita kepada pengertian tentang al-‘ajzu dari manusia dan segera kita
mampu menyadari bahwa yang maha tahu bukan kita tapi Tuhan.
Manusia perlu tidak tahu. Dan selesai.
Saat malam tadi aku muhasabah dan mengingat ibuku, sehabis
pulang kerja dengan badan dan otak yang pegal-pegal, aku baru tahu bahwa usahaku
dalam mencari sesuap nasi belumlah apa-apa dibanding dengan ibuku yang telah
menyumbang daging dan tulang sedari aku kecil sampai aku tahu rasanya menghidupi
daging dan tulangku sendiri di negeri ini. Dan dalam taraf itu, ibuku memang
harus tidak tahu keadaanku di sini.
Maka ketika, misalnya, di akhirat nanti ibuku ditanya malaikat
tentang anaknya yang malah mencari uang sendiri demi studinya, aku bisa hadir
menengahi malaikat dan ibuku dan aku akan berkata: aku yang seharusnya
disalahkan perihal ketidak-tahuan ibuku soal keadaanku di negeri orang waktu di
dunia dulu. Wahai malaikat, apa kau harus tahu kenapa Tuhan mengutusmu untuk
menanyai ibuku? Jika malaikat tidak sanggup menjawab, aku rasa urusan telah
selesai.
Memang ini soal ibuku dan ketidak-tahuannya. Aku tak bisa
mengatakan ibuku bodoh. Karena aku sendiri tidak tahu kenapa orang yang bodoh
harus didefinisikan demikian. Aku rasa urusan memang harus selesai. Dan selesai.
[]
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar