Tabik, Neptun.
Gagasan anak muda seperti aku memang masih labil, begitu
suka yang muluk-muluk dan tak mau berangkat dari hal yang sepele. Semestinya
sesuatu memang harus berangkat dari hal kecil. Seperti meniti tangga, maka harus
dimulai dari satu langkah untuk sampai ke puncak.
Di sini, di Mesir ini, aku mengikuti kajian. Di dalamnya,
dipenuhi dengan anak muda dengan gagasan-gagasan yang luar biasa (bila enggan
dikatakan muluk-muluk). Kajian filsafat, tafsir, teologi, dan berbagai keilmuan
islam mendapatkan porsi yang tidak biasa. Seolah semua harus bermula dari big-bang
kemudian meledak dalam khazanah intelektual menjadi serpih yang mandiri.
Tak ayal aku ikut terbawa ke dalam pusaran mereka,
Neptun. Gagasan-gagasanku menjadi liar, tak terkendali dan sangsi. Aku mulai meragukan
sesuatu, meragukan diriku ada. Eksistensi vertikal memang ada, tapi eksistensi
horizontalku melengkung jauh entah kemana. Sebagai permisalan, akan aku bawa
kau kepada gagasan-gagasanku yang telah aku sampaikan di kajian beberapa hari
yang lalu ketika membahas mengenai nalar rasionalitas Ibn Rusyd.
Pertama, aku ingin meredifinisi pemahaman para kaum teolog dan
filsuf mengenai teori mereka tentang Tuhan. Bahwa Tuhan yang mereka teorikan
bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang mereka artikan justru mereduksi
Tuhan. Aku bertolak dari pendapat Ibn Arabi mengenai Tuhan serta kritiknya terhadap
teologi posistif kaum teolog. Tuhan yang mereka yakini adakalanya adalah:
“Tuhan Kepercayaan”, “Tuhan yang Dipercaya”, “Tuhan dalam Kepercayaan”, “Tuhan
yang Dipercaya”, “Tuhan yang dalam Kepercayaan” dan “Tuhan yang Diciptakan
dalam Kepercayaan”. Menurut Ibn Arabi, Tuhan yang semacam ini adalah bukan
Tuhan yang sesungguhnya, yang absolut dan metafisis.
Jika kaum teolog ingin menunjukan adanya Tuhan dengan
bertolak dari alam, maka kaun sufi berkeyakinan sebaliknya. Adanya Tuhan justru
menunjukan adanya alam. Mereka, kaum sufi, telah menganggap yang selain Tuhan
adalah fana dan tiada. Maka yang nampak di mata batinnya hanyalah sinaran
Tuhan. Alam adalah bias dari Tuhan yang melumerkan cahayanya sehingga seluruh
alam semesta menjadi nyata dan ada.
Jika kaum filsuf menunjukkan adanya Tuhan dengan
menggunakan logika formal Aristoteles, maka kaum sufi menggunakan
pengandaian-pengandaian dan metafor-metafor. Cara ini dinilai lebih mengena
daripada menggunakan logika. Hal ini tak lepas dari pembagian ilmu menurut Ibn
Arabi. Ibn Arabi membagi ilmu menjadi tiga bagian: Pertama, ilmu akal. Kedua,
ilmu ahwal (keadaan). Ketiga, ilmu asrar (rahasia). Tuhan
tidak bisa dijangkau dengan ilmu akal. Akal, menurut Syathibi diciptakan untuk
menemukan sesuatu yang bisa dijangkau olehnya dan tidak bisa melewati
batas-batas jangkauannya.
Kaum teolog berpendapat bahwa akal adalah salah satu
sarana untuk menemukan pengetahuan tentang Tuhan selain wahyu. Tapi akal juga
menemui kelemahannya. Ibn Arabi berkata: “Akal itu tidak menemukan makrifat
tapi menerimanya”. Dengan berkata demikian, Ibn Arabi ingin memaksudkan bahwa
akal tidak mampu menjangkau pengetahuan tentang Tuhan secara menyeluruh dan
hakiki.
Maka titik pijak untuk mempertemukan kedua ekstrim di
atas adalah dengan menggabungkan makrifat filsuf dengan makrifat sufi.
Suhrawardi menjawabnya. Filsuf ini telah menjawab perdebatan di atas dengan
filsafat iluminasinya. Tongkat estafetnya diteruskan oleh Mulla Sadra, meski
dengan corak filsafat yang berbeda. Kedua tokoh di atas telah merintis jalan
menuju filsafat islam yang khas dan tidak mengekor pada filsafat Yunani yang masih
diamini sampai di tangan Ibn Rusyd, Guru kedua setelah Aristoteles.
Kedua, aku ingin
mempertanyakan kenapa filsafat islam tidak jauh-jauh dari masalah metafisika?
Seolah setiap sendi filsafat harus ditautkan dengan masalah Tuhan sementara
manusia masih membutuhkan gagasan-gagasan mengenai dirinya sendiri. Manusia
dikesampingkan secara brutal dalam filsafat islam. Sehingga kemajuan ilmu
pengetahuan, sebagai cabang ilmu dari filsafat, menjadi terkesampingkan.
Filsafat kemanusiaan jatuh di tangan Barat, dan mereka maju secara fisik,
sejahtera secara kasat.
Setidaknya, menurut pengamatan, ada tiga hal yang
menjadikan filsafat islam menjadi identik dengan metafisika: Pertama,
filsafat islam berlandaskan agama dan tidak lepas daripadanya. Kedua,
filsafat islam ditujukan untuk membela kepentingan agama. Ketiga,
ketidak-beranian para filsuf untuk membawa filsafatnya secara radikal ke arah
antroposentris.
Barat telah mencapai puncak peradaban. Tampuk kematangan
berpikir manusia mengenai manusia dikembangkan secara pesat di sana. Metafisika
menjadi bagian, bukan landasan filsafat. Filsafat Sartre menggiring pemahaman
tentang meng-iya-kan Manusia dan menidak Tuhan. Secara membabi buta, Tuhan
dibunuh di Barat. Sendi-sendi kehidupan digantikan oleh manusia yang sadar dengan
kemampuan mereka untuk mencapai progres. Di tangan Nietzche, Tuhan digantikan
dengan Manusia yang Melampaui, Ubermensch. Manusia membiarkan dirinya mengatur
dirinya sendiri. Tuhan telah ditiadakan dalam kehidupkan mereka.
Tentu kita dihadapkan dengan pesoalan yang dilematis di
satu sisi, dan persoalan yang mustahil di sisi yang lain. Timur tak pernah
seradikal itu. Timur masih peduli dengan etika dan masih memperhitungkan
sendi-sendi ketuhanan. Tuhan tidak dilenyapkan di Timur tapi masih dipeluk, baik
dengan pemahaman dogmatis maupun kritis. Peradaban Timur memang belumlah
puncak. Negara-negara di bagian ini masih mundur secara fisik dan belum
sejahtera secara kasat. Kebanyakan negaranya adalah negara ketiga.
Agaknya kita memang dalam masalah yang serius. Berada di
puncak peradaban memang tidak semudah membuang ludah. Perjalanan islam masih
panjang dan berliku. Ia harus masih melewati batas-batas idealismenya dengan
mengajari pemeluknya tentang makna kehidupan. Sejahtera fisik niscaya penting,
tapi ada yang lebih penting dari itu: sejahtera mental dan spiritual.
Neptun, aku begitu bernafsu menggagas ide yang raksasa
dan muluk-muluk sementara aku masih terjebak di dalam kamarku di bawah selimut
tebal demi meningkahi dinginnya udara. Aku masih harus banyak belajar lagi. []
Agenmu,
M.S. Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar