Pages

Surat Neptunus (7)



Tabik, Neptun.

Gagasan anak muda seperti aku memang masih labil, begitu suka yang muluk-muluk dan tak mau berangkat dari hal yang sepele. Semestinya sesuatu memang harus berangkat dari hal kecil. Seperti meniti tangga, maka harus dimulai dari satu langkah untuk sampai ke puncak.

Di sini, di Mesir ini, aku mengikuti kajian. Di dalamnya, dipenuhi dengan anak muda dengan gagasan-gagasan yang luar biasa (bila enggan dikatakan muluk-muluk). Kajian filsafat, tafsir, teologi, dan berbagai keilmuan islam mendapatkan porsi yang tidak biasa. Seolah semua harus bermula dari big-bang kemudian meledak dalam khazanah intelektual menjadi serpih yang mandiri.

Tak ayal aku ikut terbawa ke dalam pusaran mereka, Neptun. Gagasan-gagasanku menjadi liar, tak terkendali dan sangsi. Aku mulai meragukan sesuatu, meragukan diriku ada. Eksistensi vertikal memang ada, tapi eksistensi horizontalku melengkung jauh entah kemana. Sebagai permisalan, akan aku bawa kau kepada gagasan-gagasanku yang telah aku sampaikan di kajian beberapa hari yang lalu ketika membahas mengenai nalar rasionalitas Ibn Rusyd.

Pertama, aku ingin meredifinisi pemahaman para kaum teolog dan filsuf mengenai teori mereka tentang Tuhan. Bahwa Tuhan yang mereka teorikan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang mereka artikan justru mereduksi Tuhan. Aku bertolak dari pendapat Ibn Arabi mengenai Tuhan serta kritiknya terhadap teologi posistif kaum teolog. Tuhan yang mereka yakini adakalanya adalah: “Tuhan Kepercayaan”, “Tuhan yang Dipercaya”, “Tuhan dalam Kepercayaan”, “Tuhan yang Dipercaya”, “Tuhan yang dalam Kepercayaan” dan “Tuhan yang Diciptakan dalam Kepercayaan”. Menurut Ibn Arabi, Tuhan yang semacam ini adalah bukan Tuhan yang sesungguhnya, yang absolut dan metafisis.

Jika kaum teolog ingin menunjukan adanya Tuhan dengan bertolak dari alam, maka kaun sufi berkeyakinan sebaliknya. Adanya Tuhan justru menunjukan adanya alam. Mereka, kaum sufi, telah menganggap yang selain Tuhan adalah fana dan tiada. Maka yang nampak di mata batinnya hanyalah sinaran Tuhan. Alam adalah bias dari Tuhan yang melumerkan cahayanya sehingga seluruh alam semesta menjadi nyata dan ada.

Jika kaum filsuf menunjukkan adanya Tuhan dengan menggunakan logika formal Aristoteles, maka kaum sufi menggunakan pengandaian-pengandaian dan metafor-metafor. Cara ini dinilai lebih mengena daripada menggunakan logika. Hal ini tak lepas dari pembagian ilmu menurut Ibn Arabi. Ibn Arabi membagi ilmu menjadi tiga bagian: Pertama, ilmu akal. Kedua, ilmu ahwal (keadaan). Ketiga, ilmu asrar (rahasia). Tuhan tidak bisa dijangkau dengan ilmu akal. Akal, menurut Syathibi diciptakan untuk menemukan sesuatu yang bisa dijangkau olehnya dan tidak bisa melewati batas-batas jangkauannya.

Kaum teolog berpendapat bahwa akal adalah salah satu sarana untuk menemukan pengetahuan tentang Tuhan selain wahyu. Tapi akal juga menemui kelemahannya. Ibn Arabi berkata: “Akal itu tidak menemukan makrifat tapi menerimanya”. Dengan berkata demikian, Ibn Arabi ingin memaksudkan bahwa akal tidak mampu menjangkau pengetahuan tentang Tuhan secara menyeluruh dan hakiki.

Maka titik pijak untuk mempertemukan kedua ekstrim di atas adalah dengan menggabungkan makrifat filsuf dengan makrifat sufi. Suhrawardi menjawabnya. Filsuf ini telah menjawab perdebatan di atas dengan filsafat iluminasinya. Tongkat estafetnya diteruskan oleh Mulla Sadra, meski dengan corak filsafat yang berbeda. Kedua tokoh di atas telah merintis jalan menuju filsafat islam yang khas dan tidak mengekor pada filsafat Yunani yang masih diamini sampai di tangan Ibn Rusyd, Guru kedua setelah Aristoteles.

Kedua, aku ingin mempertanyakan kenapa filsafat islam tidak jauh-jauh dari masalah metafisika? Seolah setiap sendi filsafat harus ditautkan dengan masalah Tuhan sementara manusia masih membutuhkan gagasan-gagasan mengenai dirinya sendiri. Manusia dikesampingkan secara brutal dalam filsafat islam. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan, sebagai cabang ilmu dari filsafat, menjadi terkesampingkan. Filsafat kemanusiaan jatuh di tangan Barat, dan mereka maju secara fisik, sejahtera secara kasat.

Setidaknya, menurut pengamatan, ada tiga hal yang menjadikan filsafat islam menjadi identik dengan metafisika: Pertama, filsafat islam berlandaskan agama dan tidak lepas daripadanya. Kedua, filsafat islam ditujukan untuk membela kepentingan agama. Ketiga, ketidak-beranian para filsuf untuk membawa filsafatnya secara radikal ke arah antroposentris.

Barat telah mencapai puncak peradaban. Tampuk kematangan berpikir manusia mengenai manusia dikembangkan secara pesat di sana. Metafisika menjadi bagian, bukan landasan filsafat. Filsafat Sartre menggiring pemahaman tentang meng-iya-kan Manusia dan menidak Tuhan. Secara membabi buta, Tuhan dibunuh di Barat. Sendi-sendi kehidupan digantikan oleh manusia yang sadar dengan kemampuan mereka untuk mencapai progres. Di tangan Nietzche, Tuhan digantikan dengan Manusia yang Melampaui, Ubermensch. Manusia membiarkan dirinya mengatur dirinya sendiri. Tuhan telah ditiadakan dalam kehidupkan mereka.

Tentu kita dihadapkan dengan pesoalan yang dilematis di satu sisi, dan persoalan yang mustahil di sisi yang lain. Timur tak pernah seradikal itu. Timur masih peduli dengan etika dan masih memperhitungkan sendi-sendi ketuhanan. Tuhan tidak dilenyapkan di Timur tapi masih dipeluk, baik dengan pemahaman dogmatis maupun kritis. Peradaban Timur memang belumlah puncak. Negara-negara di bagian ini masih mundur secara fisik dan belum sejahtera secara kasat. Kebanyakan negaranya adalah negara ketiga.

Agaknya kita memang dalam masalah yang serius. Berada di puncak peradaban memang tidak semudah membuang ludah. Perjalanan islam masih panjang dan berliku. Ia harus masih melewati batas-batas idealismenya dengan mengajari pemeluknya tentang makna kehidupan. Sejahtera fisik niscaya penting, tapi ada yang lebih penting dari itu: sejahtera mental dan spiritual.

Neptun, aku begitu bernafsu menggagas ide yang raksasa dan muluk-muluk sementara aku masih terjebak di dalam kamarku di bawah selimut tebal demi meningkahi dinginnya udara. Aku masih harus banyak belajar lagi. []

Agenmu,
M.S. Arifin


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram