Fayoum:
2014. Euforia mendapatkan waktunya. Semua bisa sedemikian rapi di lajur waktu,
seperti sejarah yang bahkan kian rapi di lelembar kertas; mencoba menjawab
pertanyaan orang akan peristiwa-peristiwa di suatu masa.
Fayoum
abad 21. Barangkali tak pernah terlintas di benak kita bagaimana kincir air
Yousuf itu masih berputar meski agak sedikit malas. Di tengah-tengah kota
politan, di pinggir desa-desa hijau, sejarah kembali disusun rapi. Tapi, selalu
ada yang luput ia catat. Kenangan! Nostalgia tak mendapat tempat dilingkup
sejarah. Peristiwa penting? Ya, memang. Peristiwa pentinglah yang pantas
diabadikan sejarah. Tapi bukankah kenangan bisa sangat menjadi penting,
setidaknya untuk tak mendustai ke-manusia-an kita?
Kincir
air itu merupakan nostalgia sporadis. Ia tak semena-mena bisa ditemui di
lingkup kenang. Ia justru banyak ditemui di lembaran sejarah. Konon, Yousuf
hanya butuh waktu seratus hari untuk membangunnya. Konon, seharusnya kincir air
itu dibangun dalam seribu hari (konon,
asal nama fayoum adalah dari sini: alfu yaum: seribu hari).
Saya
rihlah ke sana hanya sekali. Di sana, bisa saya temui menggeliatnya peradaban
yang kadang semakin memprihatinkan. Orang-orang menganggap kincir itu hanya
perlambang, bahwa dulu, pernah ada suatu peradaban yang indah dan maju. Sejarah
mencatat. Sejarah membatasi imaji kita.
Tapi
setidaknya masih ada yang tersisa di situ.
Kincir
air itu tak hendak membelokkan indra kita ke sebuah masa antah berantah yang
tidak ingin kita ketahui. Pun jika purna sebuah istilah: Jangan lupakan
sejarah!, toh masih bisa kita hargai
kenangan kita; yang barangkali lebih indah dibanding sejarah. Sejarah merekam
apa yang bersifat konklusif sementara kenangan hadir untuk menerjemahkan
situasi. Keduanya berbeda, meski lahir dari sumber yang sama; ingatan.
Kita tak
bisa menampik bahwa terkadang sejarah bisa tak begitu saja bisa kita percaya
meski itu terlampir di berlembar-lembar buku. Kita justru begitu saja yakin
dengan apa yang kita rasakan yang kemudian akan menjadi kenangan dalam diri
kita. Tapi, apa yang saya rasakan ketika berkunjung dan melihat kincir air itu,
akankah menjadi indikator terselesaikannya sejarah yang nostalgis?
Lantas,
bisakah bangkai masa lalu itu bertutur?
Bisa.
Bertuturlah ia sebagai kenangan yang berderit di setiap memori orang-orang. Saya
dan beberapa teman yang ikut rihlah memiliki kesan yang menjerit. Masing-masing
dari kami pulang dengan membawa cendramata; kenangan.
Saya
membayangkan, jika tiada yang tahu dan mencatat sejarah di sana, tentang siapa
yang membangun kincir air itu, dan pada masa apa kincir itu dibuat. Bisa
dipastikan kita akan dengan bebas melambungkan imaji kita. Kita menjadi sah-sah
saja menebak bahwa kincir air itu adalah bikinan para petani di suatu masa yang
ribuan tahun lalu. Saya kira, hal ini lebih tak memprihatinkan ketimbang apa
yang saya lihat sekarang. Kincir air itu berakhir sebagai objek wisata.
Fungsinya menjadi terseduksi. Ia berakhir sebagai benda utopis yang
dibanggakan.
Hal ini
berlaku di semua benda atau menumen peninggalan zaman dahulu. Benda dan monumen
memperkenalkan kita kepada zaman yang remuk redam di dalam kenangan. Ia tak
mungkin abadi ditelan sejarah yang bersifat zamani. Yang abadi adalah kita,
yang dengan rapih menyimpan kenangan. Inilah pekik Sapardi dalam sajaknya: Yang Fana Adalah Waktu.
…..
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Fayoum,
dengan kincir airnya, merupakan produk kenangan. Ia eksis di dalam memori
orang-orang, bukan di lembar sejarah yang usang dimakan rayap. Kenangan merayap
di setiap bilik rumah milik penduduknya. Menjalar dan mewarna di tiap tanahnya
yang subur. Fayoum abad ini, ia tak mungkin ada tanpa kenangan. Yang abadi
adalah kita. Dengan kata lain: kitalah yang dapat mengabadikan peristiwa dan
kejadian-kejadian. Bukan sejarah!
Tapi pada
akhirnya, kami usai juga dari rihlah yang melelahkan itu. Dalam benak saya,
kenangan masih lancar berputar, seperti kincir air yang konon dibuat Yousuf itu.
Kairo,
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar