—sebuah refleksi hari pahlawan
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Chairil Anwar, Persetujuan dengan Bung Karno
Sebermulanya memang tak mudah secara terang-terangan,
juga gamblang berkata: Penyair itu seorang pahlawan! Tapi juga susah berkata
sebaliknya. Sebab selalu, yang definisi memakan yang belum atau tak menerima
definisi. Jika definisi pahlawan menurut apa yang ada di otak kita waktu masih
di bangku SD adalah ia yang mengangkat senjata memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dan mengusir penjajah, lantas bagaimana dengan ia yang berjuang
dengan pena?
Dari sini timbul semisal pemaksaan makna, pemaksaan
definisi. Kadang kita memang tak buruh mendefinisikan sesuatu jika sesuatu itu
sudah barang tentu dimengerti meski tanpa definisi. Definisi seringkali
mereduksi makna yang universal, dan memojokkan serta memarjinalkan makna-makna
alternatif, juga berbagai kemungkinan tafsir.
Pahlawan tak butuh definisi. Ia hanya butuh deteksi. Kerna
kita tak membicarakan nubuat, yang turun dari langit menjadi utusan tuhan dan
lantas, secara niscaya, menjadi pahlawan bagi bangsa dan umatnya. Kita bicara
perjuangan, kita bicara senjata. Pahlawankah ia yang berjuang dengan pena?
Saya tak tahu, sepanjang yang pernah saya baca dari
Chairil Anwar, apakah ia benar-benar merapat di sisi Bung Karno memperjuangkan
kemerdekaan dengan nyawa sebagai taruhannya, atau ia hanya membual, atau paling
masuk akal, puisi Chairil hanya majas hiperbola? Entah. Tapi jelas bahwa kita
perlu sedikit lebih tahu mengenai perjuangan berserta indikasi-indikasinya.
Mempahlawankan Penyair. Barangkali tak terlalu hiperbolis
(bahasa sekarang lebay) hipotesa itu. Atau boleh jadi penyair adalah
pahlawan yang tak diakui? Boleh jadi. Sebab kita selama dulu dan sampai
sekarang sering berbuat lalim terhadap kata-kata, termasuk kata pahlawan. Terbesitkah
di benak kita bahwa penyair juga pahlwan? Barangkali tak pernah, atau belum.
Benar, kita bicara pahlawan dalam konteks
ke-Indonesia-an. Dengan begitu kita harus mengarahkan tema kita ke mata
Indonesia, sebelum merdeka. Pahlawan dalam konteks Indonesia adalah ia yang
berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa dan ia yang senantiasa memperjuangkan
kebebasan tiap-tiap individu. Pahlawan, kalau kita mau ikut dengan KBBI, adalah
ia yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya membela kebenaran.
Tapi lebih dari itu, di luar definisi paten, kita patut
berbaik sangka dan berlajar lagi membaca sejarah, bahwa penyair, dalam konteks
Indonesia pun, berperan banyak dalam membela bangsa. Kata-katanya adalah
senjata yang ampuh dan peluru yang mematikan. Kata-katanya membakar semangat,
kata-katanya bagai kilat!
......
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
.....
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Chairil Anwar, Diponegoro
Penyair ini tak mengangkat senjata layaknya Dipenegoro,
tapi senjatanya justru terletak pada kata-katanya yang membakar semangat. Dengan
begitu, ia layak dan sangat layak dikatakan pahlawan (dalam definisi yang tidak
kita sepakati di atas). Pun jika kita tak menyematkan tanda pahlawan kepadanya,
ia tak pernah menuntut lebih. Barangkali ia lebih ingin dikenang dan diberi
arti daripada dianggap pahlawan. Kami sekarang mayat/ Berikan kami arti/
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.
Selamat hari pahlawan, wahai para penyair!
Kairo, 2014
*Diskusi mengenai “Mempahlawankan Penyair” akan lebih
intensif dibahas dalam forum yang diadakan oleh Rumah Budaya Akar Kairo pada
tanggal 10 November 2014. Silakan hadir dan ramaikan demi mengenang perjuangan
para pahlawan dan para penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar