Bagaimana jejaring ini hendak menyumbat keraguan?
Entah di zaman yang bagaimana kita hidup. Semua serba
mendadak dan membutuhkan pemahaman yang mendadak pula. Semua tak bisa pelan,
satu sama lain saling menyalip, menyikut, menundung dan akhirnya menjatuhkan.
Ada kesegeraan yang kita tuai di tiap kita membuka
jejaring sosial. Di sana, manusia menjadi alat spontanitas maya. Pada
gilirannya, kita, manusia, sering
menjadi setengah hidup. Nafas kita tersengal di antara kata-kata yang setiap
detik menuding-nuding hidung kita, mencari dan menjagal kaki kita.
Tak mengherankan jika banyak sekali kelalaian yang kita
dapatkan di sana. Dalam proses yang sedemikian rupa, entah, kelalaian yang
akhirnya disengaja seringkali menunjukkan taring-taringnya di sela-sela gambar,
kata-kata, curhatan, dan ratapan. Semua memburu untuk segera dimengerti. Kini,
manusia dalam bingkai kesegeraan.
Padahal ada yang membuntu dari sublim emansipasi manusia
di sana. Manusia rekah dari batu-batu niscaya yang tak dapat didefinisikan
dengan mudah. Tapi di jejaring sosial, semuanya berubah. Manusia menjadi sangat
mudah diterjemahkan dan menerjemahkan. Di sana, ada dunia legalitas yang
menamai dirinya dengan maya; yang menyumbang kepedihan sesaat, kebahagiaan
sesaat, dan kenikmatan sesaat. Yang serba sesaat mencari syahwat keabadian, memburu
makna yang justru membuntutinya.
Facebook, adalah puncak hasrat manusia yang tak bisa
dibendung. Ia adalah tempat di mana aku-internal melihat aku-eksternal. Jika
pada mulanya tak ada peristilahan aku-internal maupun aku-eksternal, maka di
facebook, hal itu berlaku dengan niscaya. Aku-internal sebenarnya tak pernah
berjarak dengan aku-eksternal, mereka satu. Namun, di sana, kita membentangkan
jarak antara keduanya. Semacam ada sekat yang diselimuti dusta paling menawan.
Tampak ada yang diam-diam mencuri diri kita dari kita
sendiri. Dimensi privatif menuai berbagai rintangan, jalan membentang jauh
menuju popularitas yang seringkali membuat kita tak nyaman. Di sana, tempat
orang membuang dirinya. Membuang keyakinannya yang penuh keraguan. Dalam hal
ini, manusia dalam titik yang riskan, sekaligus mengesankan. Ia mulai memeluk
yang jauh dan menyepak yang dekat.
Dalam facebook, kerap kita temui berbagai kesungguhan
yang tak benar-benar sungguh. Facebook menamai dirinya ‘pedagang kata-kata’.
Tentunya, akan ada yang laku dan yang tidak. Yang laku menandai dirinya dengan
ribuan jempol, yang tidak, memungkinkan dirinya untuk membeli dirinya sendiri,
juga dengan jempol. Pada taraf yang membingungkan, facebook merapuhkan
kayakinan yang elementer pada diri kita; berupa hasrat untuk meragukan
segalanya dan meyakini keraguan itu.
Setiap detik, ada aku-eksternal yang lahir, lainnya
berkembang biak. Tapi tak pernah ada yang mati, seringkali hanya tidur,
terpejam. Ada saat di mana kita membayangkan akan ada yang mati di jejaring
itu, tapi bukankah mati adalah soal lain yang tak berhubungan dengan maya?
Entahlah. Yang jelas, aku-eksternal akan terus lahir, dan yang lain berkembang
biak.
Pada suatu waktu, facebook, bisa berlaku sebagai gudang
memori. Setiap kenangan mendapatkan tempatnya di situ. Tapi tak semuanya
berhasil dielaborasi. Selalu ada semacam kepanitiaan penyelenggara keraguan
yang seringkali mematikan fungsi ingatan. Dan jadilah semua serba nisbi. Kita
menemui diri kita sendiri melalui jejaring yang memberikan jarak, bukan melalui
muhasabah, dan atau intropeksi.
Barangkali inilah yang digelisahkan oleh Afrizal Malna
dalam puisinya: Abad yang Berlari. Ada kegelisahan yang mencuat di
setiap ketukan katanya:
.....
Dunia berlari
Seribu manusia dipacu tak habis mengejar.
Kita memang sering tak menyadari bahwa kita telah ngos-ngosan
mengejar dunia, nyata, apalagi maya. Ada keraguan yang kita yakini, lagi. Dan
kita mengekalkan diri dalam keraguan yang ditawarkan di jejaring sosial,
facebook. Tak ada yang sanggup kita lakukan kecuali meredifinisi makna
keraguan. Bahwa ia adalah keyakinan yang kita tunda. Sebab dengan begitu, kita
bisa sedikit merasa lega dan tak lagi was-was menghadapi bahkan diri kita
sendiri yang sama sekali tak mampu dibiaskan oleh cermin jejaring sosial.
Di dalam facebook semua serba kemungkinan. Kata-kata
mendapatkan tempatnya, tapi diliputi dusta yang manawan. Gambar-gambar
menampakkan dirinya dengan malu-malu, sekaligus bringas dan ganas. Setiap yang
berjalan di facebook, menamatkan riwayatnya sendiri-sendiri. Kita berjalan di
situ, mencoba mengatasi keraguan dan menyumbatnya.
Kairo,
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar