Saya tengah hidup di negeri yang menganggap lupa adalah dosa terbesar
setelah zina dan membunuh. Setengah
percaya, saya kemudian mencari titik riskan yang bisa disentuh dari negeri ini.
Mesir. Ruang kejutan raksasa ini memang menganggap lupa adalah dosa, setidaknya
bagi mereka yang tak ingat kapan revolusi di negeri ini pernah terjadi. Ingatan
tentang revolusi merembet ke dalam ingatan sekian tahun dan kemudian redam
sesaat setelah mengerti bahwa hidup bukanlah soal mengingat saja, atau
melupakan saja tapi kedua-duanya secara bersamaan.
Di sini sejarah boleh diingat dalam rangka guyonan, dalam rangka
sarkasme. Hanya dalam itu, selebihnya kau akan tahu bagaimana rasanya dipukuli
negeri ini sampai babak belur. Kau harus ingat setiap jengkal kehidupan di
negeri ini bila ingin selamat, pun jika kau ingin tidak selamat. Sebab, hanya
lewat ingatan orang bisa membela yang mereka anggap benar. Di pokok semu
kesangsian tentang ingatan, ada yang musti dilupakan. Tapi lupa adalah dosa.
Lupa adalah dosa, dosa setelah ingat. Revolusi mental berlangsung
semenjak ingatan jadi duri, dan lupa adalah kelopak bunga mawar yang ranum.
Kita menyentuh duri mawar demi menilik kelopaknya lebih detail, lebih intens.
Kita merubah sikap demi menjadi ingatan mereka yang menganggap negeri ini masih
ibu tiri. Revolusi hidup kita, para pencari ini, adalah soal mengingat.
Bagaimana kita mengingat abjad? Hidup kita dipertaruhkan di sana, di antara
puing-puing huruf.
Saya secara perlahan lupa bagaimana cara mengingat dengan sempurna dan menyeluruh.
Maka hanya mozaik-mozaik yang bisa saya ingat dan saya tuliskan. Tapi mustikah
saya mengingat sekaligus melupakan? Jika demikian, artinya saya melupakan
dengan mengingat ingatan saya. Ambigu macam apa lagi ini? Ejakulasi seperti apa
lagi ini?
Ajari saya mengingat jika lupa adalah dosa terbesar setelah zina dan
membunuh.
Lebih dosa lagi adalah ketika saya tak pernah mengingat apapun kemudian
dituduh lupa. Itu seperti menuduh orang onani di dalam kamar yang tak kau
temukan bekas onani. Seperti juga orang yang disuruh meminum gelas kosong. Saya
tak ingat (atau tak tahu) kapan persisnya sejarah revolusi negeri ini dimulai,
dan lebih mengena, kapan revolusi mental di negeri ini jadi perbincangan yang
tabu. Degan begitu, saya membela diri dengan mengatakan saya tak pernah ingat
dan dengan begitu pula kau tak bisa memaksakan yang belum pernah diingat.
Barangkali memang tentang menolak lupa seperti apa yang diilhamkan oleh
masyarakat Indonesia. Ketika lupa adalah dendam dan ingat jadi bahan tertawaan,
kapan kita akan menilai lupa adalah anugerah? Mungkin takkan pernah. Lupa
tetaplah dosa yang dikutuk, atau khuldi yang tak diinginkan. Kita ada karena
moyang kita lupa bahwa khuldi tak boleh didekati apalagi dimakan. Dengan
begitu, dosa pertama yang dilakukan manusia adalah lupa. Setelah itu, ingat.
Demikian hidup harus berjalan. Demikian hidup harus berlaku.
Kita masih ingat (atau sudah lupa?) sesungguhnya orang tua kita telah
menasehati kita soal lupa dan ingat. Tetap ingat nasehat-nasehatnya. Begitu cara
kita melawan dosa. Setidaknya itu cara sederhana kita melawan dosa, melawan
lupa. Di negeri ini, kau tak boleh lupa; lupa Indonesia, lupa negeri kandung
dan lupa tanah air.
Tapi bagaimana jika yang kita lupakan adalah soal yang pantas dilupakan?
Kita hendak melupakan dosa orang lain bukan mengingatnya. Menjelang Pilpres
lalu, berbagai dosa tiba-tiba diingat lagi, dosa para calon dan simpatisannya.
Seolah mereka hendak menelanjangi kenaifan pejabat. Seolah mereka hendak
menyematkan predikat nabi kepada mereka sehingga, seperti nabi, mereka tidak
pantas melakukan dosa, sekecil apapun itu. Kenapa musti dosa orang lain yang
kita ingat?
Sejak kita SD, kita telah diajari mengingat: sejarah, agama,
rumus-rumus. Agaknya sampai kita dewasa, kita semakin lihai saja mengingat.
Tapi seribu sayang, kita semakin lihai mengingat dosa orang lain dan lupa
rumus-rumus kehidupan bahwa sesungguhnya mencari orang yang tak punya dosa
seperti halnya mencari jarum di tengah samudera.
Kini saya memang tengah hidup di negeri yang menganggap lupa adalah
dosa. Sekarang, sekarang ini, saya baru belajar mengingat alifbata yang saya
lupakan bertahun-tahun yang lalu. **
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar