Jika ada yang ganjil dengan lagu koplo, oplosan
menjawabnya dengan tegas: “koplo memberi sugesti kepada kaum buruh dan urban
untuk merayakan hidup dengan melupakan kepenatan”. Hidup memang selayaknya
dirayakan, meski terkadang perayaan itu berupa simbolisasi psikis.
Kaum buruh butuh euforia untuk memberi arti pada hidup
mereka. Keseharian mereka tak jauh dari bentakan mandor dan waktu lembur yang terkadang
tak bisa diprediksi. Seminggu sekali mereka libur. Liburan tak membuat mereka
bisa bernafas tanpa bau uang. Liburan hanyalah rehat dari tertibnya hidup dan
ajegnya rutinitas.
Psikologi kaum buruh sebenarnya terganggu. Mereka tak
punya cukup uang untuk pergi ke psikolog. Pada akhirnya hanya hiburan murah
yang mereka cari. Dangdut koplo menjawabnya. Dan mereka bisa sejenak merasakan
nikmatnya hidup dengan lagu koplo.
Bermodal keinginan saja, mereka bisa menikmati koplo.
Mereka bisa membeli CD bajakan, paling santer seharga sepuluh ribu. Atau mereka
bisa datang ke pedangdut jalanan, bergoyang bersama kawan-kawan dengan sedikit mengeluarkan
uang untuk saweran.
Musik adalah bagian dari kehidupan manusia yang amat urgen.
Seorang psikolog bernama Jane Collingwood menegaskan
bahwa musik bisa memberikan dampak relaksasi pada tubuh dan pikiran. Kaum
buruh, dengan koplo yang meliuk-liuk, jiwa mereka menjadi rileks dan hilanglah
stres yang mendera mereka. Hal serupa juga pernah ditegaskan oleh Sokrates: “when the soul hears music,
it drops its' best guard”.
Namun citra koplo, sebagai salah satu
genre musik, telah mendapatkan suatu predikat. Mindstream masyarakat mengenai
koplo telah terkotakkan. Doktrin agama salah satu faktornya, selain faktor
etika.
Doktrin agama? Saya anggap permasalahan
di atas telah selesai di dapur agamis dan kepala koplo telah terpenggal oleh
pisau dominasi kuasa agama.
Lalu mengenai etika? Etika ketimuran mengajak pada
kesopanan. Di sana nilai estetik dipertaruhkan. Estetika dipandang sebagai
nilai yang obyektif, kebenaran umum—dalam pandangan Sokrates. Alhasil,
kebenaran umum menjamin tingkat etika dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini
muncul banyak polemik, salah satunya adalah tentang ekspresi diri dan nilai
kebebasan individu.
Koplo hadir dengan wajah gentle, ia hadir dengan lagu
yang mengajak taat norma, namun tetap dengan kemasan koplo, goyang dan
liuk-liuk.
Tutupen botolmu
Tutupen oplosanmu
Emaning nyawamu
Ojo mbok terus-teruske
Mergane ora ono gunane
Ada nilai yang ditransformasikan dan diinformasikan di
sana. Koplo mendapat sedikit pencerahan. Namun hal itu tidak cukup memberi
ukuran dalam pencitraan. Koplo tetaplah koplo, barangkali inilah pandangan
masyarakat kita.
Permasalahan baru muncul. Para penikmat musik koplo, yang
menggandrungi lagu oplosan, tidak bisa mengaktualkan nilai itu dalam
keseharian. Nilai estetika dalam lagu itu begitu menyentuh, dan ini diakui,
namun nilai yang lebih penting dari itu, yakni nilai etika, justru tidak
tersampaikan. Di sini epistemologi berbicara lantang, namun aksiologi bungkam
dan terkapar.
Lagu hanya lagu. Lirik lagu bukan ukuran kesuksesan dalam
mensugesti orang. Koplo lovers tetap bergoyang dan berdendang tanpa
menyerap nilai etika dalam lagu oplosan. Dan barangkali oplosan, sebagai
stimulus, berakhir sebagai euforia lambang semata.
Lagu oplosan terus menghentak. Di gardu, tempat nongkrong
para pemuda, lagu itu melengking memecah malam. Di sana suasana begitu riuh.
Lima pemuda menenggak miras oplosan sambil bernyanyi lagu oplosan. Mereka
terlihat bahagia.
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar