Barangkali terlalu naif jika kami mengatakan bahwa kami
bukanlah seseorang yang selalu mencari ‘sesuatu’, apapun itu, dan di manapun
itu. Seperti halnya terlalu naif jika kami memberikan jawaban pada mereka yang
tidak bertanya.
Bukan sedari awal kami menyadari bahwa hidup adalah
tentang mencari ‘sesuatu’. Kami terlalu terlambat menyadari akan hal itu, tapi
tak terlampau tua untuk memahaminya. Beruntunglah kami, jika kami menemukan
arti terdalam dari hidup secara terlambat, daripada tidak sama sekali.
Hidup kami sebenarnya bertumpu pada satu hal;
“kepercayaan”. Kepercayaan adalah kaki, tangan, mata, hidung, mulut, jantung,
hati, dan semua anasir yang menangkup jiwa. Menyadari arti hidup takkan berarti
tanpa sebuah kepercayaan yang
menyertainya. Di sini tumbuh dua batang dari satu akar.
Kami akan dengan sigap berteriak jika kepercyaan melolos
dari setiap rusuk tulang kami. Betapa kami tak mampu membayangkan jika kami akan
berjalan dengan kaki tanpa ditumpu oleh tulang kaki. Itulah kiranya apa yang
akan terjadi seandainya kepercayaan digrogoti osteoporosis.
“Who will belive my verse in time to come
If it were filled with your most hight deserts
Though yet heaven knows it is but as a tomb
Which hides your life and shows not half your part”
—The Sonets, William Shakespeare
Kami pernah berteriak seperti ketika penyair romance
itu berteriak di setiap sendi London yang tak mau tidur. Kami membajak
setidaknya cara ia berteriak—memperbudak lirik dan menyuruhnya untuk bersuara
lantang!
Kami hidup, dan nyatanya memang hidup. Melalui
kepercayaan, kami mempunyai dua nyawa. Pertama, saat kami mati, kami
akan hidup untuk kedua kalinya dari mantra kepercayaan. Kedua, ketika
kami mati, pusara kami tidak berani menyembunyikan hidup kami.
Kepercayaan telah melampaui usia kami. Meski seringkali,
usia tak mau diajak berdialog. Ia seringkali pula membocorkan rahasia kami,
seperti ketika ia berkata: “Puisi ini bohong!”. Ia memang kadang-kadang kurang
ajar, terlalu jujur. Dan itu menjengkelkan!
Kami tahu bagaimana menyampaikan sebuah retorika untuk
menghadirkan kepercayaan. Tapi kami masgul bagaimana cara menjadikannya
baju guna melindungi kami dari kematian yang dingin. Kami ingin percaya bahwa
kepercayaan akan membuat kami hidup, seperti halnya kami ingin percaya bahwa
kami ingin hidup dalam setiap rimba sajak: ‘you should live twice, in it and
in my rhyme’.
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar