Apakah arti kebebasan?
Bias! Bagai cermin yang bahkan bisa saja membohongi kita
saat kita melihat diri kita sendiri lantas bertanya, sudah rapikah aku hari ini? Ia, yang di
dalam sana, tak akan mampu menjawab. Ia hanya mampu menirukan kita: ucapan, tindakan, dan raut muka.
Itulah barangkali apa yang dirasakan oleh tahanan tua, Brooks Hatlen dalam film garapan
sutradara Frank
Darabont, The
Shawshank Redemption, yang diadaptasi dari novel karya Stephen King, Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Film yang
liris tahun 1994 itu, merupakan kesaksian yang begitu bengis tentang penjara,
rumah yang selalu merupakan bayangan hitam.
Brooks Hatlen, tahanan tua yang menjadi pustakawan di
penjara itu, telah menelan batu ketidak-bebasan sebagai manusia selama lima
puluh tahun. Orang tua itu, bahkan bisa dikatakan, hanya beberapa tahun
menghirup harumnya udara luar penjara. Ia telah begitu akrab dan bahkan
menikmati tiap hidup yang diatur, dikendalikan, dan dipaksa. Hidupnya adalah
merupakan rutinitas yang ajeg, begitu-begitu saja. Tapi, ia terlanjur menyadari
betapa kebebasan tiada beda dengan antonimnya.
Pasalnya, setelah lima puluh tahun mendekam di rumah
penuh bayangan hitam itu, ia dibebaskan dengan bersyarat. Di hari ketika ia
menginjakkan kakinya di batu luar penjara, ketika itulah ia merasa begitu tak
mengerti apa arti kebebasan. Baginya, hidup bebas bahkan bisa jadi lebih
penjara dari penjara yang mendekapnya selama setengah abad.
Di saat ia berjalan menuju rumah yang telah disediakan
untuk para tahanan bersyarat, ia melihat dunia yang sesungguhnya: mobil-mobil
yang berkeliaran, mode baju anak muda yang asing, dan bau aspal jalan raya;
kesemuanya semakin mempertebal kesangsiannya tentang dunia kebebasan yang
semakin tergesa-gesa dan cepat; kesemuanya itu tidak ia alami dan rasakan
setengah abad yang lalu, saat ia begitu muda dan gempal.
Kita juga memiliki tokoh yang, dengan berbagai
perbedaannya, hampir serupa dengan Brooks, ialah Pram. Pramoedya Ananta Toer.
Seorang pengarang yang terkenal, pemikir yang soliter, penggumam yang
berbahaya. Ia pernah mencicipi jatah makan penjara, di pulau buru, pun sebelumnya
di penjara-penjara lain. Tapi ia tak sama dengan Brooks. Jika pada akhirnya
Brooks terlambat menyadari arti kebebasan dengan gantung diri, tidak begitu
adanya dengan Pram. Ia bertahan, melawan, menyadari kembali, dan pada
gilirannya, memekik lantang.
Manusia harus bebas. Itulah tabiat yang tidak boleh
direnggut. Manusia harus diberi kesempatan untuk menentukan hidupnya sendiri,
bukan diatur, didekte, dan dikendalikan oleh otoritas manapun. Bahkan oleh
kebebasan itu sendiri!
Pram, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, menguak apa
yang dianggapnya biadab dan tak manusiawi. Buku yang sebenarnya berasal dari
surat-surat pribadinya itu, justru merupakan rekaman ampuh untuk menghantam
orba: kebengisan para penguasa, kesewenangan diktator, dan kelaliman pihak
berwajib. Pram menyadari arti kebebasan sedari dini dan akan bertahan sampai ia
mati. Itulah sebabnya, ketika ia berhasil keluar dari penjara buru—pun dengan
kebebasan bersyarat, ia memanfaatkan kebebasan itu untuk menelanjangi
ketidak-bebasan.
Apa yang bisa dikatakan jika kebebasan berpikir pun
direnggut? Teriaknya. Dan suaranya itu kini masih nyaring di telinga kita.
Menghentak dan menghenyak sanubari mereka, yang mengaku manusia. Ia telah akrab
dengan makna hidup yang naik-turun, sedih-senang, pahit-manis, baik-jahat, dan semua
kata yang punya antonim (dalam bahasa Derrida disebut herarki oposisi biner).
Baginya, kehendak alam memang begitu adanya. Namun kita
juga mengetahui, tidak hanya alam yang punya kehendak. Manusia pun bisa
memiliki kehendak. Dan tak lain, pilihan berkehendak ada di tangan manusia itu sendiri. Pram, memilih
berkehendak untuk menjadi manusia bebas yang menyadari kebebasannya.
Tapi tidak dengan Brooks. Ia telah melipat keinginannya
untuk bebas tersebab ketidak-tahuannya (atau kesalah-pahamannya) mengenai arti
kebebasan. Di luar penjara adalah dunia yang barangkali lebih penjara dari
penjara, pikirnya.
Pram dan Brooks adalah dua tokoh kita yang berbeda dalam
memandang kebebsan. Tetapi, agaknya ada titik temu yang membuat kita menganggap
mereka sama
(sekurang-kurangnya, serupa): mereka sama-sama manusia yang senantiasa mencari arti
kebebasan. Begitupun kita.
Kairo, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar