Editor: M. Imam
Aziz
Penerbit: PPKMF
Cetakan: I, Mei
2014
Tebal: 373 Halaman
ISBN:
978-602-951-888-7
Dan kita mendengar
nyanyian kabung: Di muka pintu masih/ bergantung tanda kabung/ Seakan ia tak
akan kembali/ Memang ia tak kembali/ tapi ada yang mereka tak/ mengerti -
mengapa ia tinggal diam/ waktu berpisah...
Sajak dari Subagio
Sastrowardojo yang berjudul ‘Dan Kematian Makin Akrab’ ini, membawa kita kepada
labirin pemahaman tentang kematian yang seolah tiada ujung dan tepi. Kalimat mengapa
ia tinggal diam memanggul makna bahwa orang mati seringkali tinggal diam di
lubuk hati orang-orang. Ia tak hendak disembunyikan oleh pusara yang
menimbun hidupnya (Dipinjam dari ungkapan William Shakespeare,
Sonnet 17).
Agar bisa termasuk
ke dalam mereka yang tinggal diam, setidaknya ada yang musti kita ketahui
tentang ilmu yang bermanfaat. Waktu kita belajar agama, penekanan terhadap
pentingnya ilmu yang bermanfaat membikin kita paham satu hal penting: orang
yang berilmu tidak akan mati. Dan dalam kasus ini, Kiai Sahal patut menjadi
teladan dan panutan.
Kiai Sahal wafat
pada 24 Januari yang lalu. Tapi layaknya orang berilmu lainnya, Kiai Sahal
masih ada dan hidup. Demikian apa yang dikatakan oleh Sahabat Ali R.a. dalam
sebuah syair indah: ... Maka jadilah pemenang lantaran ilmu; dengannya kau
akan hidup selama-lamanya/ Manusia-manusia mati dan ahli ilmu tetap hidup abadi.
Bagaimana cara orang berilmu itu hidup? Mereka hidup dalam karyanya, ilmunya,
dedikasinya, perjuangannya, dan segala apa yang telah ia sumbangkan untuk
masyarakat yang melingkupinya.
Kiai Sahal adalah
sekian dari tak banyak ulama Indonesia yang mampu mendukakan seluruh elemen
masyarakat; rakyat jelata, santri, cendikiawan, pejabat tinggi, di hari
wafatnya (bahkan sebagian orang meyakini bahwa bencana yang melanda Negeri kita
di hari wafatnya beliau adalah merupakan tanda alam pun berduka). Demikian ini
didasari oleh beberapa hal. Dan beberapa hal ini dapat kita temui dalam buku
‘Belajar dari Kiai Sahal’ yang terbit pada bulan Mei
2014. Buku yang dikatakan bagaikan Menyusun
Mozaik (lihat: sambutan tim redaksi) ini mampu untuk setidaknya membantu
memberi gambaran kepada pembaca tentang sosok Kiai Sahal dari sudut pandang
yang beragam dan atau bervariatif.
Beberapa hal itu,
yang disusun bagai mozaik itu, sejenak mengentaskan kesedihan kita dengan semaian
pelajaran berharga melalui kesan-kesan dari seseorang yang pernah berinteraksi
dengan beliau. Atau seseorang yang mengenal beliau. Atau seseorang yang
bersimpati terhadap pribadi maupun pemikiran beliau. Seperti apa yang
diungkapkan oleh K.H. A. Mustofa Bisri:
Beliau termasuk
segelintir orang yang menguasai fikih di zaman sekarang. Apalagi ditambah
mengkontekstualisasikan fikih ke dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang
memaksakan untuk menerapkan fikih sebagaimana yang dipelajari. Ada pula yang
sama sekali tidak menggunakannya. Kiai Sahal tidak seperti itu. Jadi beliau
masih menghendaki fikih dengan pemahaman-pemahaman yang baik yang sesuai dengan
konteks zaman sekarang. Itulah kelebihan beliau. (Halaman 10).
Kesan ini
rangkul-merangkul dengan berbagai cerita menarik yang mengharukan,
menyenangkan, menggugah, menginspirasi, merasuki, dari potongan-potongan mozaik
dalam buku ini. Tak hanya itu, peletakkan beliau sebagai objek material memungkinkan adanya alternatif sudut pandang (dalam bahasa lain disebut objek formal) dari si pencerita
atau penulis. Buku ini memuat 46 tulisan dari penulis yang jumlahnya sama. Sebanyak
jumlah itu pulalah pembaca akan menemukan sudut pandang.
Seperti apa yang
dikisahkan oleh salah satu murid Kiai Sahal, Wakhrodi. Ia mengambil sudut
pandang dari apa yang tidak dilakukan oleh Kiai Sahal. Menurutnya, apa yang
tidak dilakukan Kiai Sahal barangkali pengaruhnya sama besar atau bahkan lebih
besar dari apa yang dilakukan beliau. Misalnya, ketika Kiai Sahal tidak
mengundang tokoh besar pada acara haul Ayahhanda beliau, Kiai Mahfudz. Atau
ketika beliau memilih lewat pintu belakang usai menghadiri pertemuan
lembaga-lembaga yang beliau geluti demi tidak disorot oleh media. Atau ketika
beliau berniat untuk tidak menghadiri undangan partai Golkar (pada poin ini ada
cerita menarik) yang waktu itu dihadiri oleh Presiden Soeharto. Atau ketika
beliau menolak uang fee dari pimpinan proyek pembangunan gedung MUI Jawa
Tengah. Bahkan sampai apa yang beliau lakukan berupa tidak tergoda oleh politik
praktis pasca era reformasi. (Halaman 46-51).
Seorang Kiai Sahal
dirangkum dan diterjemahkan sedemikian mengesankan dalam buku ini. Kiai Sahal
adalah kiai alifbata: istilah untuk menyebut seorang kiai yang meskipun telah
menjadi seorang fakih, tapi masih mau mengajari anak kecil dan mengajarkan
hal-hal yang ‘dianggap’ kecil. Laiknya cerita yang diungkap oleh Tutik Nurul
Jannah, ibu dari kedua cucu beliau. (Halaman 18-23).
Begitu juga, Kiai
Sahal adalah ulama Mancanegara. Kitab beliau yang bertajuk Thariqat Al-Hushul
‘ala Ghayat Al-Wushul, sebuah hasiyah (komentar) atas kitab karya
Imam Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, mendapat sambutan yang tidak
sembarangan dari ulama Timur Tengah. Sampai-sampai, dalam satu kisah, salah
satu Syaikh Universitas Al-Azhar pernah menggunakan kitab itu sebagai rujukan
dalam menyusun muqorror (diktat untuk mahasiswa). Beliau juga merupakan penggagas
fikih sosial; kajian fikih yang dekat dengan masyarakat dan begitu lentur serta
bersifat kontekstual (meskipun tidak melepaskan diri dari tekstual, warisan
ulama klasik).
Dalam buku ini
pula, pembahasan mengenai kiprah dan pemikiran beliau mendapatkan posri yang
cukup dan berimbang. Penulis seperti Sumanto Al Qurtuby, M. Imam Aziz, Hilmi
Ali Yafie, Ahmad Suaedy, dll, menyoroti kiprah beliau di gelanggang Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama (NU). Sementara penulis seperti Husein Muhammad, Akhmad Sahal,
Aziz Anwar Fachruddin, dll, menyoal tentang gagasan fikih sosial dan
kontektualisasi fikih klasik.
Maka, alangkah
tidak merupakan suatu hal yang berlebihan, jika pada hari wafatnya beliau, rasa
kehilangan nampak di hampir semua lapisan masyarakat, terutama warga NU.
Demikian besar kedukaan yang melanda hingga serasa enggan ia membiarkan kita
sejenak bernafas tanpa aroma berkabung. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda:
“Sungguh, kematian sebuah qabilah (suatu kelompok) niscaya lebih ringan
ketimbang matinya seorang alim”. Dalam konteks Kiai Sahal, sabda agung ini
sangat relevan.
Kita boleh kenyang
meratapi kesedihan akibat kehilangan Kiai bersahaja ini. Tapi, kita tak boleh
kenyang mengambil pelajaran dan mau’idhoh hasanah dari karya,
kisah, pesan, dan ajaran beliau. Dan buku ini, meski belum merangkum kesemua
tentang beliau, tapi cukup untuk menjadi pelajaran bagi yang pernah maupun yang
belum pernah belajar langsung dari beliau. Buku ini adalah pecahan Mozaik yang
dirangkum dan disusun demi mengekalkan ia yang tinggal diam di
dalam lubuk hati kita semua.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar