Pages

Gentar

www.indiatoday.in


Dalam kitabnya ‘Asrar-e Khudi’, Muhammad Iqbal menuliskan:

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,
Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu
Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,
Kuhasilkan taman, sawah dan kebun

Di sini tampak begitu optimisnya manusia-Iqbal. Filsafat Iqbal sering diberi isim sebagai filsafat ego, atau subjek, atau Dzat. Jangkar yang dilemparkan untuk menambatkan prinsip-prinsip hidup agar tidak terombang-ambing adalah manusia itu sendiri. Tetapi bukan berarti Tuhan itu telah mati (Gott ist tot). Tuhan punya ranahnya sendiri, manusia punya ranahnya sendiri. Tuhan menciptakan sejarah, manusia yang menuliskannya dengan dawat. Tuhan menciptakan alam, manusia merumuskan hukum fisika. Pendek kata: tuhan adalah pelaku, kita juga pelaku.

Jika menyinggung perihal siapa pelaku siapa tidak, kita akan merujuk pada disiplin tasawuf yang mengatakan bahwa pelaku yang hakiki adalah Tuhan. Penyematan kata ‘pelaku’ (al-fail) untuk manusia hanya bermaknya majazi. Entah bermakna majazi atau tidak, bagi Iqbal tidak terlalu penting. Yang jelas-jelas kita lihat, kita dengar, kita raba, adalah segala sesuatu di dunia ini yang hadir hanyalah manusia. Di dunia Islam, optimisme terhadap kolerat manusia semacam ini harganya mahal.

Dalam capingnya ‘Se (l – k) uler’, GM menafsiri bait sajak di muka sebagai pemisahan antara ranah Tuhan dengan ranah manusia, atau yang lumrah kita kenal sebagai sekuler. Saya tidak sepenuhnya setuju. Sajak Iqbal di atas lebih mengarah pada antitesis ciptaan Tuhan dan betapa otonomnya manusia menghadapi alam semesta yang begitu ganas. Ketika Tuhan menciptakan malam yang gelap, mencekam, dan asing, manusia mulai menciptakan kandil, kemudian lilin, kemudian lampu, kemudian kita mendadak merasakan siang dan malam tak ada beda. Siang bukan lagi satu-satunya waktu untuk  mencari rezeki (Q.S. An-Naba’: 11), malam menggantikan aktifitas siang hari.

Menurut saya, sajak Iqbal di atas lebih tampak sebagai optimisme sekaligus kepasrahan, dua hal yang sejatinya saling bertentangan secara zahir. Di satu waktu, Iqbal mengakui betapa dahsyatnya Tuhan menciptakan alam, tapi di waktu yang lain, manuisa mendapati ciptaan Tuhan itu berbahaya, oleh karenanya harus dikendalikan (bukankah ini satu jenis optimisme?), meskipun kadang kekuatan alam lebih ilahiah dibanding kemampuan manusia. Tuhan menciptakan tanah lempung, manusia menciptakan (dari lempung itu) cupu, gerabah, keramik, dan alat-alat peradaban lainnya. Di sinilah tanah ditakhlukkan untuk kepentingan manusia.

Tuhan juga menciptakan gurun, hutan dan gunung, tapi manusia menyadari bahwa ketiganya tak mudah ditakhlukkan (entah bagaimana di masa depan: bukankah sekarang kita menyaksikan hutan dibabat dan dijadikan komoditi?). Oleh sebab itu manusia menciptakan taman, sawah dan kebun; tiga hal yang menunjang dan bahkan menopang kehidupan. Manusia akhirnya membangun peradaban. Satu persatu kegananasan alam mulai ditakhlukkan. Manusia tidak lagi hidup nomaden hanya untuk bertahan hidup. Mereka menyadari peradaban tidak mungkin dibangun tanpa tanah air, tempat segala hasil akal budi yang zahir (teknologi, arsitektur) dan batin (gagasan, filsafat) ditancapkan.

Ketegangan antara optimisme dan kegentaran di hadapan kehendak Tuhan inilah sikap yang seharusnya diambil manusia. Memang ada pemisahan wilayah (seperti pendapat GM di atas) antara Tuhan dengan manusia; yang makna primordialnya termaktub lewat pembedaan antara penciptaan alam (yang hanya dilakukan oleh Tuhan) dengan penakhlukkan alam (yang hanya dilakukan oleh manusia). Dengan kata lain: Tuhan menciptakan, manusia merawatnya—atau jangan-jangan menghancurkannya? [*]

Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram