Pages

Celana Dalam Revolusi


Aku mencari perbedaan
Antara Revolusi dan Perang
Ketika selongsong peluru
Melewati tubuhku

Ghayath Almadhoun dalam Celebration (Alhaflah, Perayaan). Penyair Syiria itu barangkali bukan bertanya, tapi menohok. Atau mencoba mencekoki kita dengan beribu kesangsian tentang sejarah revolusi dan perang. Tak ada sejarah revolusi yang tanpa perang! Begitukah?

Kita telah disibukkan oleh perang. Kita telah disibukkan oleh desing peluru, bau mesiu, deru tank, gelegar bom, dan pekik jerit dan tangis. Perang? Apakah dan mengapakan perang ada? Ghayath Almadhoun mencoba bertanya, atau menyangsikannya. Ia telah menyaksikan reruntuhan Berlin, kota yang direkonstruksi ulang dan pernah papa selama bertahun-tahun. Perang, mimpikah ia? Tak penting! Jelas, perang adalah sembilu yang mengajarkan pilu. Tapi bisakah kita sedikit berlapang dada memaknai perang dengan tidak hanya soal nyawa manusia yang mati sia-sia?

Benar. Perang adalah soal nyawa manusia yang melayang sia-sia. Tapi bukankah tak ada yang sia-sia dari kematian? Sejarah tak pernah mencatat kebangkitan suatu peradaban tanpa ada nyawa yang melayang. Mungkin pengorbanan, atau tumbal dari sebuah peradaban masa mendatang adalah nyawa manusia. Mungkin. Benar. Perang adalah perihal keyakinan yang terkikis ketika melihat anak kecil dijadikan mainan peluru, hingga tercecer darah di aspal kemerdekaan. Tapi pernahkah kita bertanya, bahwa apakah masalah dari sebuah perang adalah pada yang mati?

Tahun 2014. Atau mungkin puluhan tahun sebelum itu. Palestina hampir tak pernah memiliki kesempatan untuk bernafas tanpa aroma bedil dan darah. Mimpikah rakyat palestina? Mereka bermimpi. Tapi bukan perang; kemerdekaan yang hakiki. Ribuan nyawa mati. Dan yang mati, tak boleh menyibukkan kehidupan yang hidup.

Masalah perang bukan terletak
Pada mereka yang telah mati
Masalahnya terletak pada
Mereka yang masih hidup

Perang dunia kedua. Hirosima dan Nagasaki, dua kota yang porak poranda akibat nuklir. Jutaan orang mati, tapi, apakah yang mati masih menyibukkan yang tetap hidup? Tidak. Yang hiduplah yang masih menyibukkan dan menjadi jantung masalah bagi kehidupan. Perang telah menyelesaikan sebagian masalah, dan menumbuhkan ribuan masalah. Perang telah membunuh jutaan nyawa dan melahirkan ribuan nyawa lainnya.

Tak semua perang menghadirkan revolusi, tapi barangkali, semua revolusi harus menghadirkan perang; hakiki atau majazi. Revolusi Indonesia dibangun dengan tulang-tulang para pahlawan yang gugur membela tanah air mereka. Mereka berperang. Mereka memperjuangkan hak dan martabat bangsa. Revolusi industri di Eropa didirikan dengan perang argumen dan perang ideologi. Banyak argumentasi yang tumbang, banyak ideologi yang tergusur. Itulah revolusi.

Revolusi telah dibungkus oleh perang. Ia bagaikan celana dalam yang tak ditampakkan meski sebagus apapun bentuk, corak dan modelnya. Barangkali ini tamsil yang lunak. Tapi mungkin juga sangat keras dan kaku. Kita tak tahu, atau mungkin belum tahu, semuakah yang berbau perang itu adalah baik sekaligus buruk? Hanya pertanyaan lanjutan yang kita tuai. Semuakah yang berbau revolusi itu adalah perang antara yang baik dan yang buruk?

Revolusi adalah sebuah perayaan yang ganjil. Juga perang. Revolusi berarti merayakan kebebasan dan perang berarti merayakan belenggu. Ambigu! Ya ambigu! Kita mengamini revolusi tapi tak mengamini perang. Mimpi apakah kita semalam? Bagi sebagian kita, atau mungkin kebanyakan dari kita, revolusi dan perang adalah bagai uang logam yang satu sisi dengan sisi lainnya tak bisa dipisahkan. Revolusi menghadirkan perang. Perang menuntun sebuah revolusi.

Tapi kelihatannya kita masih berputar pada hal tersebut di atas. Dan sebenarnya kita berpura-pura melupakan pertanyaan dari Ghayath Almadhoun di muka: “Apakah perbedaan antara Revolusi dan Perang?”

Kairo, 2014


Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram