Pages

Agama (Bagian II)

en.wikipedia.org

Agama pada mulanya dimulai dari hening, sunyi, senyap (GM). Kesunyian senantiasa membujuk orang untuk iman dan percaya pada pencarian dan permenungan. Musa ke puncak gunung untuk berdialog dengan Tuhannya. Budha mencari kesunyian untuk menemukan siapa pencipta alam ini. Muhammad berkhalwat di gua yang maha sunyi untuk menjawab panggilan Tuhannya. Agama—sebelum benar-benar jadi Agama dengan “A” kapital, adalah kesunyian itu sendiri.

Sebelum jadi “A” besar, agama melampaui keterpautan, nir-relasi. Ia murni sebagai keintiman antara Tuhan dengan hamba. Ia murni sebagai jalan menuju yang maha sunyi. Tapi setelah itu, ketika agama berelasi dengan banyak hal, ia mendadak ramai. Ketika ia dikaitkan dengan negara, memunculkan banyak perdebatan. Ketika ia dikaitkan dengan ilmu dan filsafat, memunculkan banyak klaim. Ketika ia dikaitkan dengan kebebasan, memunculkan lebih banyak kegaduhan. Agama jadi pasar malam, di mana di sana ada komedi putar, tong setan, dan bahkan judi temaram.

Di tengah keramaian itu, tentu ada yang masih mengais-ngais kesempatan untuk bisa tetap sunyi bersama Tuhan; untuk menenangkan diri dari pertikaian dan klaim kebenaran. Merekalah yang ingin beragama sekaligus bertuhan. Mereka menghindari keberagamaan kaum ramai yang lepas dari Tuhan; yang kuasa agama sekarang telah di tangan mereka karena kitab suci ‘seolah’ terus membenarkan perkataan mereka. Di tengah keramaian itu, masih ada orang-orang awam yang tak tahu apa-apa selain shalat tahajud di tengah malam dan subuh-subuh pergi ke masjid. Mereka tetap sunyi bersama Tuhan dengan cara mereka sendiri.

Di desa-desa, masih banyak orang yang tak tahu ramainya agama. Mereka cukup tahu bahwa empat Khalifah pengganti nabi adalah orang-orang hebat yang perlu dan patut dihormati. Tanpa mereka harus tahu bahwa dari keempat khalifah itu, yang meninggal dengan wajar hanya satu orang. Sedangkan yang lainnya, bersimbah darah baik oleh perang maupun pembunuhan. Dalam hal ini, saya teringat satu ujaran: “Kadang, pengetahuanmu akan sesuatu bisa membahayakanmu.”

Tak terhitung banyaknya, seorang cendikiawan yang ilmunya selangit, yang mengetahui seluk-beluk dan cabang-cabang ilmu keislaman—yang pengetahuannya malah menuntunnya pada keraguan pada Tuhan. Ia diam-diam pasrah dengan serbuan Sartre: “Jika Tuhan masih ada, manusia niscaya tidak bebas.” Pengetahuan keislamannya terbentur-bentur oleh pemikiran yang mewah—filsafat eksistensialisme. Ia melupakan alifbata yang pernah diajarkan kepadanya waktu kecil dan bagaimana caranya shalat. Baginya, agama jadi soal perdebatan Mu’tazilah vs Asy’ariah. Doa lirihnya hilang ditelan dirkursus.

Sampai sini, saya termenung sambil mengingat lagi masa kecil saya sebagai orang desa.

Sebelum agama identik dengan banyak hal, sebelum di kampung saya (sekarang) idul fitri identik dengan kembang api besar-besar, saya teringat, dulu saya dan kawan-kawan selalu menghabiskan malam idul fitri dengan takbiran sambil terbangan di surau kampung kami sampai larut malam. Saya tak tahu apakah kebagaiaan orang di tiap zaman berbeda, atau hanya caranya saja yang berganti. Yang saya tahu, saya ingin kembali mengaji alifbata dan menghapal waktu shalat lima waktu. Saya ingin kembali mempersunyi pikiran saya. [*]

Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram