Pages

Di Luar Bahasa

craizyrainbow.deviantart.com
Dengan ini, mungkin, kita tengah menegasi Derrida yang berujar: “Tak ada yang di luar bahasa.”—benarkah tak ada yang di luar bahasa atau benarkah bahasa adalah segalanya yang menentukan ada dan tidaknya entitas? Sebelum itu, kita musti paham apa itu “tak ada” (nothing) atau ketiadaan (nothingness). Bagi subjek cartesian, apa yang tak ada adalah apa yang tidak kita ketahui. Misalnya, di dunia ini ada planet yang kembar dengan bumi, tapi tak seorang pun dari subjek yang pernah mengetahinya, maka planet itu sama saja tidak ada. Sesuatu yang ditemukan, menurut mereka, kemudian menjadi ada, akan menerima bahasa, secara otomatis.

Tapi berbeda dengan yang di seberang: sesuatu mungkin ada, entitas mungkin eksis, bahkan jika pun tak kita ketahui keberadaannya. Planet yang serupa dengan bumi mungkin ada, meskipun tak ada satu pun dari kita yang pernah menjumpainya. Menurut pandangan yang kedua ini, berarti, ada sesuatu yang di luar bahasa; sesuatu yang eksis tanpa harus ditunjuk dan tanpa persepsi siapapun (subjek). Tapi problem kita: adakah sesuatu, di dalam kehidupan nyata kita, yang melenggang dari jangkauan bahasa yang bahkan diam pun menyimpan bahasa diam dan gerak pun menyimpan bahasa gerak? Dari sini, agaknya kita perlu belajar lagi dari Derrida.

Bahasa sesederhana yang dipahami adalah simbol. Ia alat untuk komunikasi, sebagai alat untuk mentransfer data dari subjek satu ke subjek yang lain. Simbol ini bisa berupa apa saja. Diamnya perempuan boleh jadi merupakan bahasa tertentu yang memuat simbol. Biasanya, diamnya perempuan diartikan “ya”, sebuah afirmasi. Dengan begitu, bahasa bukan hanya kata-kata; tersusun dari suara, rentetan huruf, atau rangkaian bunyi. Dengan begitu pula, mungkin saja kita berkata: ada sesuatu di luar kata-kata, seperti yang tergambar dari sajak Acep Zamzam Noor berjudul “Di Luar Kata”:

Dunia di luar kata-kataku, Zlata
Dan nyanyianku tak menyuarakan apapun
Tapi airmataku terus mengalir padamu
Menjenguk puing-puing serta kuburan baru

Penggalan puisi di atas memang tak semudah kata-katanya. Maknanya lebih terjal daripada jalan yang ditempuh oleh kata-kata di dalamnya. Di luar kata, ada sesuatu yang tak menerima ungkapan, tapi bisa jadi ia masih sanggup dibahasakan, dengan cara lain, alternatif entah apa. Kita sering mendengar bahwa pengalaman sufistik tak bisa dibahasakan, atau lebih tepatnya, diungkapkan. Mengatakan pengalaman itu sama saja mereduksi makna terdalam yang ada dan menjadikan pengalaman itu sesuatu yang bisa dipahami dengan mudah. Oleh karenanya, alternatif  yang lebih kompleks adalah dengan bahasa syair. Melalui syair, seorang sufi mampu menghadirkan simbol yang multi-tafsir, sehingga dari sana, pengalaman yang tak terkatakan dengan mudah, dengan sendirinya tak akan pula terpahami dengan gampang.

Barangkali itu yang terjadi dengan Acep, “nyanyian yang tak menyuarakan apapun” menguar bersama kegelisahan atas bahasa yang tak ia temui lewat pengalaman [batin] di dunia antah-berantah. Dunia manusia, ah, dunia yang maha rapuh ini, tak ada di luar makna. Segalanya adalah soal bagaimana kita mengungkapkannya, meskipun lagi-lagi, kata-kata tak mungkin menyaru setiap kemungkinan dari semua makna. Maka, bahasa kesedihan pun, dalam puisi Acep, hanya mampu terwakili oleh airmata, yang “terus mengalir padamu” sambil “menjenguk puing-puing serta kuburan baru”. Kuburan yang baru: kematian kata-kata dihadapan semua makna. Kerapuhan bahasa untuk menjangkau setiap arti.

Tapi toh kita masih punya pertanyaan, yang belum terjawab bahkan oleh puisi Acep. Adakah sesuatu di luar bahasa? Barangkali puisi ini sedikit banyak bisa membantu jawaban, berjudul “Di Luar Bahasa”—M.S. Arifin:

Di luar bahasa
kecemasan menghambur
ke dalam
Terpencil ke sudut paling tepi, sepi

Tak ada sesisa pun gema dari
percakapan yang belum selesai
dan doa yang tertinggal di ritus

Di luar bahasa, kita pun masih menemukan kecemasan yang menghambur ke dalam. Inti dari subjek bukan sama sekali absen, tak ada, sebab, tak ada kecemasan tanpa orang yang cemas. Hanya saja, kecemasan itu terpencil ke sudut paling tepi, sepi—dari bahasa apapun, dari perangai makna apapun. Alhasil, bukan pula suara, apalagi gema yang akhirnya sanggup kita dengar, tetapi gema pun tak bersisa dari percakapan yang belum selesai. Apa itu percakapan yang belum selesai? Kelemahan manusia mengungkap setiap makna dengan bahasa (artinya bukan hanya kata-kata). Dan doa, sebagai rutinitas bahasa paling kabul, hanya tertinggal di ritus—ya, ia hanya mengulang kebiasaan tanpa tahu apakah makna bisa dijangkau tanpa bahasa dan atau apakah bahasa sanggup menghindari makna.

Namun, berkelindan dari sana, kita tetap menjumpai ngarai dengan duri-duri tajam. Bagaimana kita hendak menegasi bahasa dengan bahasa? Bagaimana kita sampai ke luar bahasa sementara kita tak pernah beranjak dari sana? Penegasian atas bahasa, yang juga menegasi Derrida, pungkasnya memang bersifat ambigu. Tak ada yang berada di luar bahasa. Kecuali bahwa firman Tuhan “kun!” tidak saja dimengerti dari huruf-hurufnya, tapi dari ke-maha-annya yang entah. “Mungkin di luar bahasa/ aku akan menemukanmu sendiri/ terkuyup/ oleh airmatamu sendiri.” Di luar bahasa, adalah kesendirian—kesendirian Tuhan. [*]

Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram